Saatnya Menakar Potensi Problem di ”Metaverse”
Selain menjanjikan secara ekonomi, metaverse juga menyimpan sejumlah problem hukum yang perlu mendapat perhatian
Nina Jane Patel (43), perempuan asal London, Inggris, mengisahkan mimpi buruknya saat mencoba masuk ke dunia virtual Horizon Venues buatan Meta (Facebook). Ia dilecehkan secara verbal ataupun mendapat serangan secara seksual oleh tiga atau empat avatar dengan suara laki-laki. Ia mengaku diperkosa avatar-avatar itu.
Peristiwa itu terjadi cepat, sekitar 60 detik, saat memasuki metaverse sehingga ia belum mengaktifkan safety barrier atau model aman Meta yang memungkinkan pengguna memblokade interaksi dengan avatar lain.
”Pelecehan seksual di metaverse merupakan masalah serius dalam industri yang perlu diatasi bersama dengan menempatkan kontrol keamanan yang tepat dan terukur,” ungkap Patel seperti dikutip dari laman daring New York Post (1/2/2022).
Selain Patel, ada korban pelecehan lain yang pernah terjadi di metaverse. Pada Desember 2021, seorang beta tester mengklaim diraba-raba secara virtual di Horizon World. Meta mengungkapkan insiden itu pada 1 Desember dan menuturkan peristiwa itu terjadi pada 26 November.
Meski tidak terjadi dalam dunia nyata, respons psikologis korban sama beratnya dengan jika peristiwa pemerkosaan itu sungguhan. Sebab, menurut Patel yang juga peneliti di Kabuni, realitas virtual memang didesain secara esensial agar tubuh dan pikiran tidak dapat membedakan pengalaman virtual dengan kenyataan.
Baca juga: Metaverse dan Masa Depan Nasionalisme
Barangkali banyak orang masih sulit untuk membayangkan seperti apa dunia metaverse. Metaverse, seperti diungkapkan Mark Zuckerberg dalam wawancara dengan Casey Newton di theverge.com, sebagai internet yang mewujud, ketika pengguna benar-benar ada di dalamnya, bukan hanya melihat konten seperti saat ini.
Jika hal itu belum terbayang, film garapan sutradara kenamaan Steven Spielberg berjudul Ready Player One dapat menjadi ilustrasi. Film fiksi ilmiah yang diluncurkan pada 2018 itu mengisahkan petualangan Wade Watts, pria kelahiran tahun 2027 yang hidup di tahun 2045, di mana ketika itu setiap orang sangat mengakrabi dunia virtual bernama the OASIS. Bahkan, dapat dikatakan masyarakat menjalani dua kehidupan, yaitu dunia nyata dan dunia virtual.
Risiko dan potensi tindak pidana di metaverse pada dasarnya sama saja dengan isu-isu yang selama ini mengemuka di internet. Hanya saja, persoalan-persoalan itu jauh lebih besar di metaverse dibandingkan dengan yang terjadi di internet saat ini.
Untuk memasuki Oasis, seseorang tinggal memakai virtual reality headset, kemudian terbukalah dunia di mana batas kenyataannya adalah imajinasi dari orang-orang itu sendiri. Tanpa berpindah tempat secara fisik, setiap orang dapat melakukan apa pun, pergi ke mana pun, termasuk ke Hawaii untuk berselancar di ombak setinggi 15 meter. Atau sesuatu yang lebih absurd, bermain ski di atas piramida, mendaki Gunung Everest. Menikah atau bercerai.
Perlindungan
Hal yang menjadi pertanyaan, apakah realitas virtual itu menawarkan kehidupan yang benar-benar ideal, adil, sejahtera, minus kriminalitas? Soal itu, banyak ahli mengatakan tidak. Sebagian mengatakan, persoalan hukum yang potensial muncul di metaverse sebenarnya tak jauh dari persoalan yang dihadapi di dunia nyata. Bahkan, mungkin hadir dengan kadar lebih intens.
Guru besar bidang kecerdasan buatan dan komputasi spasial Liverpool Hope University, David Reid, dalam wawancara dengan BBC Science Focus Magazine yang dimuat di sciencefocus.com, 14 Januari 2022, mengungkapkan, risiko dan potensi tindak pidana di metaverse pada dasarnya sama saja dengan isu-isu yang selama ini mengemuka di internet. Hanya saja, persoalan-persoalan itu jauh lebih besar di metaverse dibandingkan dengan yang terjadi di internet saat ini.
Contoh tindak pidana yang mungkin terjadi di metaverse di antaranya pencucian uang, mengingat metaverse kemungkinan akan didanai dengan non-fungible tokens (NFT). Pencucian uang lebih gampang dilakukan. Begitu pula dengan pencurian data pribadi, kekerasan, pornografi, perundungan daring, dan lainnya.
Salah satu yang dikhawatirkan Reid adalah masalah perlindungan data. Di metaverse, kasus-kasus kebocoran data, menurut dia, berpotensi lebih jelek dibandingkan saat ini. Apalagi, jumlah data yang dihasilkan saat pengguna bergerak melalui metaverse akan lebih besar daripada data yang dapat diperoleh di internet.
Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Sinta Dewi Rosadi menyebut ada empat aspek hukum yang perlu diperhatikan dalam metaverse. Pertama, masalah perlindungan data. Saat memasuki dunia virtual, face recognition menjadi salah satu hal lumrah. Pengguna metaverse akan menggunakan figur animasi atau avatar dengan wajah yang menampilkan wajahnya.
”Ada face recognition di sana. Padahal, dalam data pribadi, face recognition menjadi data pribadi yang paling sensitif, sama halnya dengan retina mata dan sidik jari. Nanti permasalahan hukumnya tetap mengikuti,” katanya.
Baca juga: Setengah Hati Melindungi Data Pribadi
Kedua, aturan mengenai bagaimana para pengguna berinteraksi. Ketiga, masalah hak atas kekayaan intelektual, hak paten, hak cipta, dan sejenisnya. Keempat, masalah keamanan. Meski di dalam hal ini ada dukungan dari teknologi blockchain yang aman, menurut Sinta, di dunia digital tidak ada satu sistem keamanan yang benar-benar aman. ”Selalu bisa diterobos. Memang sistem keamanan ini rentan, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia seperti itu,” ujarnya.
Perlu terlibat sejak awal
Reid memberikan gambaran mengenai dampak keamanan yang sangat besar. Konsekuensinya tak hanya seperti kehilangan kata sandi di internet, tetapi juga pencurian data biometrik yang jauh lebih besar. Perusahaan-perusahaan besar menyadari hal ini, tetapi, lanjutnya, mereka belum benar-benar mengatasinya.
Untuk itu, ujar Reid, organisasi pemerintah dan penegak hukum perlu terlibat sejak awal metaverse dibangun untuk melihat apa yang terjadi di sana dan menyadari problem-problem yang berpotensi muncul. Hal itu perlu dilakukan sehingga pemerintah dan penegak hukum tak terlambat.
Salah satu problem yang masih belum terpecahkan karena belum ada kesepakatan ialah yurisdiksi. Belum ada kesepakatan di antara negara-negara mengenai yurisdiksi yang digunakan. Sebab, di dunia siber, yurisdiksi teritorial tidak dapat diterapkan. Ini disebabkan adanya perbedaan delik hukum di antara negara-negara.
Organisasi pemerintah dan penegak hukum perlu terlibat sejak awal metaverse dibangun untuk melihat apa yang terjadi di sana dan menyadari problem-problem yang berpotensi muncul. Hal itu perlu dilakukan sehingga pemerintah dan penegak hukum tak terlambat.
”Yang paling ideal digunakan adalah yurisdiksi universal, seperti yang digunakan di kasus pembajakan pesawat. Misalnya, sebuah pesawat Amerika dibajak di (wilayah) Turki, kemudian mendarat di Amerika. Pengadilan AS bisa mengadili penjahatnya meski pembajakan dilakukan di wilayah negara lain,” ujarnya.
Akan tetapi, yurisdiksi universal ini juga belum disepakati negara-negara mengingat delik hukum di tiap negara berbeda-beda. Misalnya untuk kasus pornografi. Di Indonesia, kasus pornografi dapat dijerat pidana, tetapi di negara lain seperti Amerika Serikat, hal itu bukan delik pidana jika tak melibatkan anak-anak. Atau perjudian, ada yang melegalkan dan ada pula yang mengaturnya sebagai hal yang ilegal.
”Dengan demikian, masalah yurisdiksi ini masih belum selesai. Kita tetap menggunakan yurisdiksi teritorial atau setidaknya ekstrateritorial, tetapi perlu negosiasi antara penegak hukum,” kata Sinta.
Dampak psikologis
Salah satu hal yang dikhawatirkan David Reid ataupun Sinta ialah problem psikologis. Reid mengungkapkan, keberadaan internet saja telah membuat sebagian orang kecanduan. Apalagi metaverse yang bahkan lebih seductif dari internet. Masyarakat dapat menggunakan waktunya berhari-hari di metaverse. Hal itu akan menimbulkan implikasi psikologis. Reid melihat kecanduan metaverse menjadi hal nyata yang akan datang dengan sangat cepat.
Persoalan kesehatan mental juga menjadi perhatian Sinta. Hal itu harus diantisipasi. Problem mental ini terjadi karena saat masuk ke dunia virtual, platform itu menawarkan berbagai hal indah yang mungkin diinginkan dan dapat digapai para warganet. Namun, warganet tetap harus kembali ke realitas mereka.
”Itu tidak sama sehingga itu akan memengaruhi pikiran. Kita menjadi delusional. Itu, kan, sebenarnya menjual halusinasi. Menjual halu. Di Amerika, orang dengan delusional itu dibebaskan dari segala hukuman. Karena artinya dia sudah mendekati gila. Selain itu, orang akan menjadi susah tidur, depresi, paranoid, akhirnya mental illness,” kata Sinta.
Sinta menegaskan, ia bukan tidak mendukung teknologi yang berkembang demikian pesat. Namun, sikap hati-hati harus tetap dikedepankan karena pada dasarnya warganet adalah pasar perusahaan-perusahaan teknologi seperti Facebook yang kini berganti wajah menjadi Meta, Google, Microsoft, ataupun Roblox.
Kembali ke film Ready Player One, setelah pembuat Oasis yang bernama James Halliday meninggal, the High Five, pengelola OASIS yang baru, akhirnya membuat kebijakan tak populer, yakni menutup OASIS pada Selasa dan Kamis. Hal itu dilakukan untuk memaksa penggunanya kembali hidup ke dunia nyata. Seperti disampaikan di penutup film Ready Player One, dunia nyata adalah satu-satunya yang nyata.