Pastikan Perbaikan UU Cipta Kerja Praktikkan Partisipasi Bermakna
Pengaturan mengenai pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan peraturan menjadi salah satu poin dalam revisi UU PPP yang disepakati menjadi RUU inisiatif DPR, Selasa (8/2/2022).
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan mengenai pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan peraturan menjadi salah satu poin dalam perubahan kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang disetujui menjadi inisiatif DPR, Selasa (8/2/2022). Pengaturan itu harus benar-benar dipraktikkan dalam membahas perbaikan UU Cipta Kerja.
DPR menyetujui revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR menjadi RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/2/2022), di Jakarta. Dari sembilan fraksi, delapan fraksi menyatakan persetujuannya, dan menyerahkan dokumen pendapat fraksi mereka tanpa membacakannya langsung di podium. Adapun satu fraksi yang menolak pengambilan keputusan DPR itu, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS juga menjadi satu-satunya fraksi yang membacakan catatan dan pendapat fraksi secara langsung.
Juru bicara Fraksi PKS, Bukhori, mengatakan, metode apa pun yang akan digunakan dalam menyusun rancangan peraturan perundang-undangan haruslah diterapkan dengan menjamin draf peraturan itu dapat diakses oleh publik.
Kedua, PKS juga mengusulkan adanya sejumlah prasyarat suatu pembahasan peraturan perundang-undangan dapat dibentuk dengan metode omnibus. Salah satunya ialah dengan mengatur agar metode ini hanya digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan tentang satu topik tertentu, atau fokus pada satu tema spesifik. Selain itu, pembentukan dengan metode omnibus ini agar dicantumkan di dalam dokumen perencanaan UU yang disepakati oleh DPR, DPD, dan pemerintah.
PKS juga keberatan dengan ketentuan yang mengatur agar kesalahan tik RUU yang telah disetujui bersama dan telah diserahkan kepada pemerintah dapat dilakukan oleh Sekretariat Negara.
”Karena ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik. Sekalipun di Pasal 72 disebutkan perubahan hanya meliputi kesalahan teknis penulisan, yang perubahannya dilakukan oleh pimpinan Baleg dan kementerian terkait, ketentuan ini rawan disalahgunakan, di mana mungkin saja terdapat perubahan materi atau susbtansial setelah persetujuan antara DPR dan Presiden,” katanya.
Karena ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik. Sekalipun di Pasal 72 disebutkan perubahan hanya meliputi kesalahan teknis penulisan, yang perubahannya dilakukan oleh pimpinan Baleg dan kementerian terkait, ketentuan ini rawan disalahgunakan, di mana mungkin saja terdapat perubahan materi atau susbtansial setelah persetujuan antara DPR dan Presiden.
Bukhori mengatakan, pengalaman perbaikan kesalahan tik pada UU Cipta Kerja
menjadi catatan bagi fraksinya. Sebab, pada kenyataannya, Pasal 151 dan Pasal 152 yang ada di UU No 22/2011 tentang Minyak Bumi dan Gas, yang telah diubah ke dalam Pasal 46 UU Cipta Kerja, ternyata tidak lagi dicantumkan di dalam UU Cipta Kerja setelah dilakukan perubahan ”kesalahan tik” yang dinilai sebagai revisi teknis semata. ”Padahal, itu berubah secara substansial,” katanya.
PKS juga meminta agar dalam pembahasan setiap peraturan perundang-undangan dilakukan dengan melibatkan publik, baik yang pro maupun kontra secara seimbang, dan masyarakat umum secara keseluruhan. PKS menolak pengambilan keputusan dilakukan di dalam rapat paripurna, Selasa, karena pembahasan RUU PPP itu dinilai belum mendalam, baru tiga kali rapat, dan belum ada perbaikan-perbaikan terkait dengan catatan yang disampaikan PKS.
Poin krusial
Sebelumnya, di dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU PPP, sejumlah poin krusial diatur. Selain memasukkan definisi mengenai metode omnibus, RUU PPP juga mengatur soal perubahan UU dengan mekanisme omnibus yang hanya dapat dilakukan pada UU tersebut, bukan UU sektoralnya. RUU PPP juga memberikan kewenangan Setneg untuk melakukan koreksi atas kesalahan penulisan suatu RUU yang telash diserahkan dari DPR kepada Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan.
RUU PPP pun mengatur soal partisipasi bermakna (meaningful participation) sesuai dengan putusan MK. Tiga prasyarat partisipasi bermakna, yakni hak publik untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberikan penjelasan atas pendapatnya, dijabarkan di dalam RUU PPP.
RUU PPP mengatur pula penambahan ketentuan mengenai kegiatan pemantauan dan peninjauan UU yang dilakukan oleh DPD dan pemerintah.
Terkait dengan draf revisi UU PPP ini, Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin mengatakan, pihaknya menyambut baik perbaikan tersebut. Apalagi ada klausul yang mengatur agar ada pemantauan dan peninjauan RUU yang dilakukan oleh DPD dan pemerintah.
”Sudah saatnya proses legislasi nasional diatur secara proporsional dalam circle politik kebijakan yang harmoni dan seimbang oleh lembaga legislatif DPR dan DPD RI beserta pemerintah. Dengan harapan agar setiap UU yang disahkan mampu menjawab harapan masyarakat dan semua pihak terkait,” katanya.
Perhatikan partisipasi
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Umbu Rauta, mengatakan, prasyarat dalam penerapan metode omnibus tidak perlu diatur di dalam RUU, karena itu merupakan kebijakan politik pembentuk UU. Metode itu pun pada dasarnya sudah sering diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Demikian pula mengenai pemantauan dan peninjauan UU, memang sudah seharusnya dilakukan oleh tiga lembaga negara pembentuk UU, yakni DPR, DPD, dan pemerintah.
Keseriusan harus ditunjukkan pembentuk UU dalam menerapkan partisipasi bermakna, sebab kini hal itu telah diperjelas di dalam draf revisi UU PPP. Seandainya norma revisi UU PPP itu telah ditetapkan, maka harus pula berlaku dalam pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja.
Hal lainnya yang perlu dirinci oleh pembentuk UU di dalam perbaikan UU PPP ialah tentang teknis perbaikan pasal-pasal di dalam UU yang dibentuk dengan mekanisme omnibus. Sebab, pasal-pasal di dalam omnibus law sudah merupakan perubahan dari pasal-pasal di UU aslinya. ”Bila dilakukan perubahan terhadap pasal-pasal di UU yang dibentuk dengan metode omnibus law itu nanti bagaimana bentuknya, karena pasal-pasal itu kan sudah merupakan perubahan terhadap UU lain,” katanya.