Tangkal Radikalisme, Santri Direkrut Jadi Prajurit TNI AD
Sejak dilantik sebagai Kepala Staf TNI AD, Jenderal Dudung Abdurachman memberikan perhatian khusus pada pencegahan paham radikal.
Oleh
SUTTA DHARMASAPUTRA, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman memerintahkan prajurit untuk mencegah penyebaran paham radikal di tengah masyarakat. Hal ini dinilai penting untuk menghadapi perkembangan gerakan yang menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, TNI AD diingatkan agar aktivitasnya tetap pada koridor tugas pokok dan fungsi militer serta tidak menyebabkan tumpang tindih dengan lembaga lain yang bertanggung jawab atas pencegahan dan penyebaran paham radikal.
Dudung dalam forum pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Senin (7/2/2022), kembali mengatakan penyebaran paham radikal di Indonesia telah meluas ke seluruh kalangan. Berdasarkan hasil rapat pimpinan di Kementerian Pertahanan, pertengahan Januari 2022, didapatkan informasi bahwa 23 persen dari total masyarakat yang teradikalisasi adalah mahasiswa. Sebagian di antaranya sudah tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara.
”Hasil analisis intelijen TNI (juga) melaporkan bahwa memang ada beberapa wilayah yang kita waspadai sudah terpapar radikalisme,” kata Dudung.
Ia melanjutkan, hal itu berdampak pada tumbuhnya perilaku eksklusif dan intoleran di tengah masyarakat. Contohnya di salah satu daerah di Poso, Sulawesi Tengah, ada kelompok yang enggan menerima kunjungan tokoh agama tertentu. Di wilayah itu, Dudung menugaskan prajurit yang memiliki latar belakang pendidikan agama untuk mendekati masyarakat. Mereka diminta untuk memberikan pemahaman agama yang toleran.
Di samping itu, ia juga merekrut kalangan santri menjadi prajurit TNI AD.
”Nanti mereka bisa masuk ke kelompok-kelompok itu (radikal) untuk menyampaikan ajaran agama yang tepat sehingga tidak ada yang percaya kepada pihak-pihak tertentu yang mencoba mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Dudung.
Hal serupa juga pernah ia sampaikan dalam apel gelar pasukan TNI AD di Lapangan Monas, Jakarta, akhir Januari lalu. Dalam apel yang dihadiri lebih dari 2.000 personel pasukan dari berbagai satuan di Jabodetabek, Dudung menyampaikan, peran TNI AD sangat strategis dalam mencegah penyebaran paham radikal. Karena itu, ia meminta para bintara pembina desa (babinsa) untuk mengamati perkembangan setiap gerakan radikal di kelompok masyarakat. Lokasi setiap kegiatan mereka pun harus diketahui secara detail. Informasi yang terhimpun dikoordinasikan dengan kepolisian untuk menentukan langkah penegakan hukum yang diperlukan.
Dudung menyadari, perhatiannya terhadap penyebaran paham radikal dan intoleransi menjadi sorotan banyak pihak. Tidak jarang hal itu juga menimbulkan permasalahan. Salah satunya laporan dari warga ke Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad) pada akhir Januari lalu terhadap dirinya atas tuduhan penodaan agama karena menyebut Tuhan tak berasal dari salah satu negara. Pelaporan itu pun dikonfirmasi oleh Komandan Puspomad Letnan Jenderal Chandra W Sukotjo.
Namun, ia tak mempermasalahkan laporan tersebut. Dudung berkomitmen untuk terus melaksanakan berbagai tugas sebagai KSAD. Ia pun berharap, media massa juga berkomitmen untuk memberitakan hal-hal yang dapat memperkokoh rasa kebangsaan. ”Ancaman tidak serta-merta berbentuk fisik, tetapi juga nonfisik. Melalui media, mari kita perangi itu,” katanya.
Dalam pertemuan tersebut, Dudung juga berjanji untuk menyejahterakan prajurit. Penegakan hukum atas pelanggaran akan terus dilakukan tanpa pandang bulu.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, sepakat, peran TNI dibutuhkan untuk memberantas radikalisme. Serupa dengan Polri, TNI juga memiliki struktur hingga ke tingkat perdesaan. Fungsi intelijen TNI bisa dioptimalkan dalam mengawasi dan memantau pergerakan gerakan radikal dari level masyarakat paling bawah.
Hanya, TNI tidak memiliki kewenangan untuk menindak gerakan radikal. ”Memang harus bekerja sama dengan kepolisian. Bilamana sudah ada tindakan pidana, harus kepolisian yang menelusuri,” katanya.
Dave menambahkan, prajurit yang bertugas di lapangan juga harus bisa menyesuaikan pendekatan dan komunikasi dengan warga. Hal itu diperlukan agar pemantauan gerakan radikal tetap berlangsung dalam kerangka pembinaan masyarakat. ”Tugas TNI juga termasuk di situ, operasi militer selain perang (OMSP), yang lebih kepada pendekatan masyarakat dalam menangkal segala ancaman sesuai sumpah sapta marga mereka,” ujarnya.
Dipertanyakan
Merujuk Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, selain operasi militer untuk perang, TNI juga memiliki tugas pokok OMSP. OMSP terdiri atas 14 bentuk, di antaranya mengatasi aksi terorisme.
Sementara dalam Pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari OMSP. Hal itu harus dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran TNI tersebut diatur melalui peraturan presiden (perpres). Akan tetapi, hingga saat ini perpres terkait belum terbit.
Direktur Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, perhatian Dudung pada persoalan radikalisme dan terorisme perlu diapresiasi. Akan tetapi, sesuai tugas pokok dan fungsi KSAD sebagai pembina kekuatan dan kesiapan operasional matra darat, ada hal-hal lain yang perlu menjadi prioritasnya, mulai dari pemeliharaan, peningkatan, hingga pengayaan kemampuan prajurit serta sarana prasarana. Hal itu penting untuk mengantisipasi ancaman masa depan di kawasan rawan konflik yang terkait dengan kedaulatan dan keutuhan negara.
Berkaca dari kondisi kekinian, pencegahan dan penindakan gerakan radikalisme dan terorisme masih bisa dilakukan dengan baik oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Polri. Dalam UU No 5/2018, peran TNI mengatasi terorisme bersifat perbantuan. Namun, payung hukum untuk menjalankannya belum ada.
Selain itu, kata Khairul, OMSP yang disebutkan dalam UU TNI dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Penggunaan kekuatan untuk setiap operasi militer pun dilakukan oleh Panglima TNI. Karena itu, ia mempertanyakan keberadaan perintah khusus Panglima TNI terkait pengerahan babinsa untuk memantau dinamika gerakan radikal.
”Jangan sampai KSAD melampaui ruang lingkup kewenangan dan tumpang tindih dengan apa yang menjadi kewenangan lembaga lain sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya.