Citra Partai Politik Setelah Koruptor Kembali Diberi Panggung
Indonesia tak kekurangan orang berkapasitas dan berintegritas jika dibutuhkan oleh partai politik. Namun, sejumlah partai justru kembali memberi panggung bagi kader mereka yang pernah korupsi.
Sejumlah koruptor terlihat kembali ke panggung politik. Bahkan, partai politik tak segan menggandeng mereka kembali. Citra partai politik terancam karena bisa jadi partai dianggap permisif terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Kehadiran bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy atau kerap disapa Romy di peringatan Hari Lahir Ke-49 PPP dan Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PPP di Yogyakarta, pekan lalu, mengejutkan sebagian kalangan.
Romy pernah ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama pada 2019. Pengadilan lantas memvonisnya bersalah sehingga ia harus mendekam di penjara. Sejak bebas pada akhir April 2020, ia tak terdengar kabarnya. Tiba-tiba pekan lalu ia hadir di acara penting PPP di Yogyakarta.
PPP pun terlihat menempatkannya sebagai figur penting. Romy terlihat menyambut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diundang hadir di acara tersebut. Naik andong di sisi Anies. Saat acara berlangsung, Romy kembali berada di sisi Anies. Romy bahkan sempat berpidato soal langkah strategis PPP untuk meraih kemenangan di pemilihan umum selanjutnya.
Tak hanya Romy, pada Maret 2021, publik juga dikejutkan dengan kehadiran bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. Nazaruddin sebelumnya terseret kasus korupsi Wisma Atlet. Ia keluar dari tahanan pada 14 Agustus 2020.
Bekas terpidana korupsi lain yang kembali muncul di panggung perpolitikan nasional adalah Andi Mallarangeng. Ia pernah dipenjara terkait kasus korupsi Hambalang dan selesai menjalani hukuman pada akhir April 2017. Ia kini bahkan diberi kepercayaan oleh Demokrat untuk menjabat Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat.
Baca juga: Parpol Kembali Usung Bekas Koruptor di Pilkada 2020
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/2/2022), mengatakan, para mantan terpidana korupsi ini sudah menyelesaikan pidana yang dijatuhkan sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat. Namun, publik seharusnya tidak mudah melupakan tindak pidana yang pernah mereka lakukan.
”Tindak pidana yang mereka lakukan adalah tindak pidana korupsi, artinya terkait dengan penyalahgunaan kewenangan. Mereka sebagai seorang politisi dan penyelenggara negara telah mencederai amanat publik sehingga seharusnya publik tidak kembali memberikan amanat, tidak kembali menitipkan aspirasi kepada mereka,” ujar Zaenur.
Seharusnya parpol juga tidak kembali memberikan ruang bagi politisi yang sudah terbukti korupsi. Mereka bahkan seharusnya sudah diberhentikan sebagai kader oleh partai sejak terbukti korupsi.
Jika mereka tidak diberhentikan, itu artinya partai menunjukkan sikap permisif terhadap kadernya yang melakukan korupsi. Sikap permisif itu juga menunjukkan rendahnya komitmen partai dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Indonesia tidak kekurangan orang, tidak kekurangan pemimpin, tidak kekurangan kader, yang bisa menjadi para pemimpin di bidang politik, seharusnya dipilih orang-orang lain untuk menduduki jabatan-jabatan itu di partai politik,” tutur Zaenur.
Lebih dari itu, lanjut Zaenur, jika partai kembali melibatkan mereka di kepartaian, itu akan memperburuk citra partai tersebut. ”Mereka memang sudah selesai menjalani hukuman pidana, mereka berhak juga hidup sebagai anggota masyarakat yang wajar, tetapi tidak seharusnya mereka diberi amanat di bidang publik. Mereka tidak seharusnya diberi kepercayaan lagi untuk menduduki jabatan-jabatan publik,” katanya.
Duta antikorupsi
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Achmad Baidowi menjelaskan, kehadiran Romy di acara Harlah Ke-49 dan Muskerwil PPP di Yogyakarta merupakan undangan dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Yogyakarta. Ia menganggap kehadiran Romy merupakan hal yang biasa saja karena Rommy juga berasal dari Yogyakarta.
”Kita tidak pernah menutup pintu kepada siapa pun termasuk Gus Romy untuk terlibat membantu PPP. Apakah menjadi pengurus partai? Sampai saat ini Gus Rommy belum menjadi pengurus partai, hanya memberikan masukan-masukan yang itu di luar struktur,” ucap Baidowi.
Selain Romy, lanjut Baidowi, masukan-masukan seperti itu biasa juga disampaikan oleh kader-kader PPP yang pernah pindah ke partai lain dan kembali ke PPP. Tokoh-tokoh di internal PPP, kiai-kiai, dan ulama-ulama juga biasa memberikan masukan kepada kader partai.
Menurut Baidowi, sepanjang masukan-masukan itu baik untuk kebesaran partai, maka tidak ada alasan untuk ditolak. Lagi pula keterlibatan Romy di acara tersebut dijamin oleh undang-undang karena Romy tidak pernah dicabut hak politiknya dan juga sudah menjalani hukuman.
”Itu biasa saja, kembali menjadi manusia normal, memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul,” kata Baidowi.
Baidowi mengungkapkan, di dalam acara tersebut, Romy justru mampu menjadi duta antikorupsi. Misalnya, Romy memotivasi kader-kader PPP di Yogyakarta agar kasus yang menimpa dirinya bisa dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh kader. Jangan sampai terjebak pada lubang yang sama karena bisa mencederai partai.
”Itu, kan, bagus, dan itu pula yang diajarkan atau diharapkan teman-teman KPK bagaimana teman-teman yang sudah menjadi alumni (kasus korupsi yang ditangani) KPK itu, pertama, tidak mengulangi perbuatannya. Kedua, memberikan motivasi, memberikan contoh kepada masyarakat atau turut mengingatkan masyarakat untuk tidak melakukan hal yang serupa,” ujar Baidowi.
Ia berharap, publik dapat melihat ini secara proporsional. Partai pun, menurut dia, telah bersikap proporsional.
”Kalau kita melarang-larang orang yang jelas-jelas tidak dilarang oleh undang-undang, itu namanya pelanggaran HAM. Ya, kalau memang dia tidak ada halangan secara undang-undang, secara ketentuan hukum, ya, biarkan saja. Toh, orang juga bisa bertobat, apalagi sudah menjalani masa hukuman,” katanya.
Pembelajaran bersama
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, KPK menghormati hak setiap mantan narapidana korupsi sebagai warga negara Indonesia dalam berserikat, berkumpul, dan beraktivitas dalam lingkungannya masing-masing, termasuk kegiatan politik. Aktivitas tersebut tentu dilakukan setelah mantan napi tersebut menyelesaikan masa hukumannya di mana salah satunya adalah pencabutan hak-hak politik.
Ia berharap, para mantan napi korupsi dapat menyampaikan pesan kepada lingkungannya bahwa efek jera dari penegakan hukum tindak pidana korupsi itu nyata. Tindak pidana korupsi tidak hanya berimbas pada diri pelaku, tetapi juga terhadap keluarga, kerabat, dan lingkungannya.
”Hal ini patut menjadi pembelajaran kita bersama,” ujar Ali.
Baca juga: Tantangan Mengikis Budaya Korupsi
Ia mengingatkan, salah satu pelaku korupsi terbanyak yang ditangani KPK adalah produk dari proses politik, baik yang berkiprah pada ranah eksekutif maupun legislatif. Untuk itu, lingkungan politik juga harus memiliki komitmen yang sama untuk menjauhi praktik-praktik korupsi.
Harapan ini, lanjutnya, selaras dengan strategi pencegahan dan pendidikan antikorupsi KPK, yang mendorong perbaikan sistem tata kelola partai politik sekaligus penanaman integritas kepada setiap kadernya.
”Dengan demikian, masyarakat yang berkiprah dalam sektor politik ini bisa memberikan kontribusi optimal bagi kemajuan bangsa dan negara, dengan tanpa melakukan korupsi,” tuturnya.