Proses Pengajuan Pinjaman PEN Daerah Tak Transparan
Sistem pengajuan dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional untuk daerah perlu dikaji ulang. Sistem yang ada dinilai tak transparan. Membuka ruang korupsi dan memunculkan calo proposal.
Ilustrasi: Penyidik KPK menunjukan barang bukti hasil operasi tangkap tangan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Proses pengajuan dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional untuk daerah dinilai tidak transparan, sehingga membuka ruang korupsi dan kemunculan calo-calo proposal. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta sistem pengajuan dana pinjaman yang digunakan untuk mengatasi imbas pandemi Covid-19 ke daerah itu, dikaji ulang.
Pada Kamis (27/1/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan hasil penyidikan kasus dugaan suap pengurusan pinjaman dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) daerah. Bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochammad Ardian Noervianto ditengarai menyetujui pinjaman dana PEN untuk Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra) setelah Bupati nonaktif Kolaka Timur, Andi Merya Nur, mengamini permintaan kompensasi sebesar tiga persen nilai pinjaman bagi Ardian. Ardian dan Andi dipertemukan oleh pejabat di Muna, Sultra, Laode M Syukur Akbar, Kompas (28/1/2022).
Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Jumat (28/1/2022), praktik korupsi tersebut bisa terjadi karena sistem pengajuan pinjaman PEN daerah bermasalah. Sistemnya tidak terbuka. Akibatnya, tidak hanya membuka celah korupsi tetapi juga memunculkan calo proposal.
Ditambah lagi, tak ada kriteria yang jelas terkait daerah yang bisa memeroleh pinjaman tersebut.
Baca juga: Suap Diduga Mengalir dari Banyak Pemda
“Pokoknya kalau barang berbasis proposal dan tidak punya kriteria yang jelas, sudah pasti hancur. Jatuhnya, proposal gelap. Siapa yang bisa apply (mengajukan pinjaman), siapa yang enggak dapat pinjaman, enggak ada yang tahu. Ini akibat sistem yang tidak terbuka,” ujar Pahala.
Untuk itu, sistem pengajuan dana pinjaman PEN daerah harus dikaji ulang. Pengajuan pinjaman harus terbuka, misalnya, melalui laman tertentu dan diumumkan di laman tersebut. Dengan demikian, siapapun bisa mengawasinya. Kehadiran calo proposal pun bisa dicegah.
“Jadi, ngapain pakai calo-calo untuk ngurusin (pinjaman dana) itu. Proses yang terbuka seperti ini yang harus terus dipelihara untuk menutup celah korupsi,” katanya.
Selain itu, kriteria daerah yang boleh menerima pinjaman harus diperketat. Tak hanya itu, apa saja yang bisa diusulkan harus dipertajam.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng sependapat dengan Pahala soal pentingnya keterbukaan terkait pinjaman dana PEN daerah. Ombudsman pun kerap menerima keluhan dari kepala daerah terkait hal ini. Salah satunya karena imbas dari ketertutupan proses justru dijadikan peluang korupsi.
“Ketika kepala daerahnya dan orang-orang yang dikenalnya mengurus proses pinjaman ini, maka di pemerintah pusat sendiri dilihatnya sebagai peluang korupsi. Jadi, tampaknya situasi sekarang dalam tata kelola pinjaman itu tidak sepenuhnya transparan dan clear,” ujarnya.
Berkaca pula pada kasus dugaan suap pengurusan pinjaman dana PEN, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dimintanya untuk tidak mengamini saja pertimbangan pemberian pinjaman bagi daerah dari Kemendagri. Kemenkeu dituntut memverifikasi ulang setiap pengajuan pinjaman yang masuk.
"Jadi, check and balances terjadi. Ini untuk mengantisipasi berbagai perilaku moral hazard,” ujar Robert. Pelibatan KPK untuk mencegah korupsi dana PEN daerah terulang pun diusulkannya.
Usulan Jaksa Agung
Terkait usulan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bahwa perkara korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pernyataan tersebut tidak tepat. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, pernyataan itu memperlihatkan Jaksa Agung tak bisa membedakan kejahatan umum dengan kejahatan yang berdampak sistemik, seperti korupsi. Sebab, korupsi yang dilakukan oleh orang dengan jabatan dan kewenangan tertentu seolah disamaratakan dengan pidana biasa.
Baca juga: Usulan Jaksa Agung Dinilai Tak Tepat, Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Tetap Harus Dipidana
Pernyataan itu juga dinilai tak didasarkan pada argumentasi hukum yang konkret. Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana.