Teka-teki Presiden Jokowi dan Kebutuhan Otorita Nusantara
Banyak figur disebut-sebut berpeluang memimpin pengelolaan ibu kota negara yang baru, Nusantara. Namun, keputusan akhir ada di Presiden Joko Widodo. Utamakan aspek kapasitas alih-alih kepentingan politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Menyusul disetujui disahkannya Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (18/1/2022), pertanyaan mengenai siapa pemimpin pertama dari Otorita Ibu Kota Negara Nusantara mengemuka di publik. Beragam spekulasi muncul. Teka-teki dari Presiden Joko Widodo kian menguatkan spekulasi. Memindahkan ibu kota negara bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan sosok yang rekam jejaknya teruji, berkapasitas, dan inovatif.
”Mungkin yang punya latar belakang arsitek. Yang pernah memimpin daerah bisa lebih baik lagi. Kita harapkan begitu, tetapi kenyataannya bisa lain.” Pernyataan itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat ditanya mengenai siapa yang akan ditunjuk sebagai Kepala Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dalam perbincangan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa, di Istana Negara, Rabu (19/1/2022).
Belum ada nama yang disebutkannya. Pernyataan yang disampaikan Presiden sehari setelah RUU IKN disetujui disahkan menjadi teka-teki yang kemudian memantik penasaran publik. Bahkan, tak sedikit yang kemudian menebak-nebak soal siapa figur yang disampaikan oleh Presiden.
Jauh sebelumnya, persisnya 2 Maret 2020, Presiden telah membeberkan sejumlah nama yang dinilai cocok memimpin Nusantara. Misalnya, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, mantan Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tumiyana, serta mantan Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Namun, jika mencocokkan keempat nama itu dengan pernyataan terbaru Presiden, tak ada satu pun yang pas. Keempatnya tak berlatar belakang sebagai arsitek. Dari keempat nama, hanya Basuki dan Azwar yang pernah memimpin daerah.
Lantas, dengan mengacu pada teka-teki Presiden, tak sedikit yang kemudian mengarahkan tebakannya kepada Ridwan Kamil. Ia kini menjabat Gubernur Jawa Barat, berlatar belakang arsitek, bahkan turut terlibat sebagai salah satu juri sayembara desain IKN.
Terlebih, setelah teka-teki dari Presiden, Ridwan Kamil kerap membagikan pendapatnya tentang Nusantara melalui akun media sosialnya. Unggahannya tak pelak dinilai sebagian warganet sebagai ”sinyal” atau ”kode keras” bahwa ia yang akan dipilih Presiden memimpin Otorita Nusantara.
Unggahannya yang terbaru di akun Instagram-nya, Selasa (25/1/2022), misalnya, menayangkan video berjudul ”Dari Sepi Menjadi Maju”. Di dalam video itu, terdapat foto perbandingan dari masa ke masa beberapa kota besar di dunia. Beberapa kota yang ada gambarnya adalah Shenzen di China dan Dubai di Uni Emirat Arab.
Ia pun menuliskan keterangan di unggahannya bahwa pemindahan ibu kota adalah wacana lama sejak zaman Presiden pertama RI Soekarno. Sebab, Jakarta memang tidak pernah didesain sebagai ibu kota. ”Beliau (Soekarno) memilih Kalimantan karena jauh dari potensi bencana. Posisi di tengah Nusantara dan menguatkan semangat pemerataan. Hal yang sama yang menjadi alasan mengapa Presiden Jokowi memutuskan di Kalimantan,” tulisnya.
Izin Megawati
Di luar Ridwan Kamil, muncul pula nama Menteri Sosial yang pernah memimpin Surabaya, Tri Rismaharini.
Saat ditemui seusai menanam pohon bakau di Pantai Telaga Waja, Badung, Bali, Minggu (23/1), Risma menjawab pertanyaan wartawan dengan sedikit guyon ketika dimintai tanggapan soal namanya yang disebut menjadi calon kuat kepala otorita karena berlatar belakang arsitek.
”Banyak, banyak kepala daerah yang (berlatar) arsitek. Bukan hanya aku saja. Jadi, enggak bisa ngomong aku,” tuturnya.
Namun, saat ditanyakan lebih dalam terkait kesiapannya menjadi kepala otorita, ia menegaskan, sebagai kader PDI-P, untuk menjadi kepala otorita harus memperoleh izin dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri terlebih dulu. ”Ibu tahu saya. Saya harus melapor ke Ibu. Karena Ibu tahu siapa saya. Apakah saya tepat di situ atau tidak,” bebernya.
Intens berkomunikasi
Atas kemunculan nama Risma kemudian Basuki dan Azwar, yang juga kader PDI-P, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengklaim, hal itu tak terlepas dari pengalaman dan keberhasilan kaderisasi partai. Namun, soal siapa yang kelak dipilih, partai menyerahkannya kepada Presiden. Yang jelas, menurut Hasto, Presiden dan Megawati intens berkomunikasi, juga kerap bertemu, baik di Istana Negara Jakarta, Istana Bogor, maupun Istana Batu Tulis, termasuk membahas hal-hal terkait IKN.
Bagi PDI-P, kepala otorita IKN haruslah visioner dan memahami keseluruhan aspek perencanaan tata kota. Selain itu, kepala otorita juga harus memiliki kemampuan profesional yang memahami keseluruhan konsepsi Nusantara dalam desain arsitektur dan tata kota yang berkebudayaan Indonesia. Yang dipilih menjabat kepala otorita juga harus memiliki kepemimpinan yang kuat, pengalaman memimpin birokrasi, dan komunikatif.
”Sebab, merancang suatu ibu kota juga diperlukan pemahaman terhadap aspek-aspek sosiologis terhadap bagaimana perilaku warga kota dan tantangan-tantangan apa yang akan muncul ke depan, khususnya terhadap migrasi penduduk yang sering kali daya tumbuhnya belum diperhitungkan dalam perencanaan tata kota berikut daerah penyangga lengkap dengan sistem transportasi dan utilitas pendukung,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani sependapat dengan Hasto, selain pengetahuan dan pengalaman terkait dengan pembangunan kawasan perkotaan, sosok yang dibutuhkan untuk memimpin ibu kota negara baru adalah kepemimpinan, kemampuan manajemen organisasi publik, dan komunikasi publik yang baik.
Ia pun menyampaikan bahwa komunikasi politik antara Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan Presiden tidak pernah berhenti terkait ibu kota negara baru ini. Apalagi, Suharso juga tengah menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas yang menjadi leading sector dalam urusan pembangunan IKN.
”Beliau tentu diajak bicara Presiden yang terkait dengan kriteria calon kepala Otorita IKN. Namun, tentu, kalau soal nama, maka sepenuhnya merupakan wilayah prerogatif Presiden dan PPP tidak berkepentingan untuk bicara soal orangnya,” kata Arsul.
Mengacu pada RUU IKN yang telah disetujui disahkan, Kepala Otorita IKN Nusantara ditunjuk dan diangkat Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Adanya klausul ”berkonsultasi dengan DPR”, menurut peneliti senior Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, membuat bisa jadi pemilihan kepala otorita oleh Presiden nantinya tidak terlepas dari kepentingan politik, terutama dari partai politik pengusung pemerintahan Joko Widodo.
”Pemilihan kepala otorita tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik karena esensi kekuasaan itu politik. Kepentingan politik pasti akan terasa sekali, pasti di atas 70 persen. Sisanya, baru melihat kemampuan dari sosok itu,” kata Siti.
Harapannya, tak demikian yang terjadi. Aspek keahlian tetap harus menjadi kunci utama dalam menentukan figur yang memimpin Otorita Nusantara. Selain itu, rekam jejaknya haruslah mumpuni. Yang tak kalah penting, harus inovatif.
”Ini (memindahkan dan membangun IKN) pekerjaan berat, tentu membutuhkan orang yang tepat,” ujarnya.