Korupsi Kepala Derah Gerus Kepercayaan Publik pada Pemerintah
Mendagri Tito Karnavian menyebut korupsi kepala daerah terjadi karena sistem administrasi yang tak transparan. Hal ini dapat diatasi dengan perbaikan sistem agar lebih transparan sehingga bisa mengurangi pertemuan.
JAKARTA, KOMPAS - Korupsi kepala daerah yang kian merajalela tak hanya mengganggu sistem pemerintah, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Penanganan kasus korupsi yang dilaksanakan Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik, sehingga pembangunan dapat terus berjalan.
Pesan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan nada keprihatinan yang mendalam, dalam rapat virtual dengan para kepala daerah serta ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seluruh Indonesia tentang evaluasi program strategis kegiatan pemerintah daerah, Senin (24/1/2022), di Gedung Kemendagri, Jakarta. Dalam rapat tersebut, hadir pula Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas.
Tito menyampaikan, apabila kepercayaan publik sudah tergerus, maka pembangunan akan terhambat. Sistem pemerintahan sebagai tulang punggung jalannya administrasi pemerintahan dan kenegaraan, juga akan ikut terganggu.
“Saya sangat yakin banyak sekali kepala daerah yang berprestasi, yang telah melakukan kinerja dengan sangat baik. Namun, apa pun juga, masalah-masalah hukum yang dalam bulan ini ditangani oleh penegak hukum, wakil khusus KPK, ini akan berdampak kepada kepercayaan publik,” ujar Tito kepada para kepala daerah serta ketua DPRD di rapat virtual itu.
Baca juga: Menyetop Korupsi Kepala Daerah
Selama tiga pekan pertama 2022, KPK telah menangkap tiga kepala daerah karena terlibat kasus dugaan korupsi. Terakhir, KPK menangkap Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin, dan menetapkannya sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek-proyek infrastruktur di Langkat. Terbit merupakan kepala daerah ke-433 yang ditangkap KPK sejak 1 Juni 2005 atau saat pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dimulai.
“Saya sekadar mengingatkan, bahwa tindak pidana korupsi memang harus kita tekan seminimal mungkin dan ini penting untuk mengubah bangsa kita,” tutur Tito.
Selama tiga pekan pertama 2022, KPK telah menangkap tiga kepala daerah karena terlibat kasus dugaan korupsi. Terakhir, KPK menangkap Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin, dan menetapkannya sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek-proyek infrastruktur di Langkat.
Penyebab korupsi
Tito melanjutkan, sebagaimana hasil analisis yang telah dilakukan Kemendagri, setidaknya ada tiga penyebab terjadinya korupsi. Pertama, sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, serta rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan.
Sistem administrasi pemerintahan membuka peluang korupsi karena masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi yang berbelit-belit, dan regulasi yang terlalu panjang. Penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu berpotensi memunculkan tindakan transaksional.
Untuk itu, menurut Mendagri, perlu penerapan sistem administasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan. Hal itulah yang memunculkan konsep smart city, smart government, dan e-government.
“Banyak saya kira hal-hal tindak pidana korupsi by system karena sistemnya. Oleh karena itu, perbaikan sistem perlu kita lakukan,” ucap Mendagri.
Baca juga: Operasi Tangkap Tangan dan Peringatan KPK untuk Para Kepala Daerah
Sementara itu, penyebab kedua, yakni kurangnya integritas yang dimiliki individu. Hal itu juga didorong dengan kurangnya kesejahteraan yang didapatkan oleh penyelenggara negara. Karena itu, aspek kesejahteraan perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya korupsi.
“Tetapi yang hampir pasti, kalau semua kurang, ya, dia berusaha untuk mencari dan akhirnya melakukan tindak pidana korupsi,” kata Tito.
Penyebab ketiga adalah budaya (culture). Pasalnya, seringkali ditemukan praktik-praktik yang salah, tetapi dianggap benar akibat kebiasaan. Mendagri mencontohkan, adanya pimpinan yang menganggap prestasi bawahan diukur dari loyalitas yang salah kaprah.
“Budaya-budaya (korupsi) ini harus dipotong, dan ini memerlukan kekompakan dari atas sampai dengan bawah, memiliki satu mindset, frekuensi yang sama,” ujar Tito.
Mendagri menekankan, tindak pidana korupsi harus ditekan seminimal mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sebab, dengan terselenggaranya pemerintahan yang bersih, diharapkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan ASN akan ikut meningkat.
Baca juga: Pilkada, Korupsi, dan Kesejahteraan
Menghambat tujuan negara
Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri pun menegaskan, kasus tindak pidana korupsi yang menjerat kepala daerah maupun pejabat negara, dapat menghambat tercapainya tujuan negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Kita tidak ingin negara kita terperosok dan terjerembab ke dalam praktik-praktik korupsi yang akhirnya (menyebabkan) akan gagal dalam mewujudkan tujuan negara kita,” tutur Firli.
Menurut Firli, sebagai sesama anak bangsa, kepala daerah, termasuk pejabat pemerintahan, diikat oleh tujuan negara yang menjadi kepentingan bersama. “Saya kira ini yang mengikat kita, komitmen kita, semangat kita, berbakti untuk negeri, berkarya untuk bangsa,” katanya.
Firli menekankan, kepala daerah memiliki peran penting dalam mewujudkan tujuan bernegara. Misalnya, dengan menjamin stabilitas politik dan keamanan untuk keberlangsungan proses pembangunan dan program pemerintahan.
Firli menekankan, kepala daerah memiliki peran penting dalam mewujudkan tujuan bernegara. Misalnya, dengan menjamin stabilitas politik dan keamanan untuk keberlangsungan proses pembangunan dan program pemerintahan. Tak hanya itu, kepala daerah juga berperan dalam menjamin kepastian pertumbuhan ekonomi, serta menjamin keselamatan masyarakat dari segala bentuk gangguan, baik bencana alam maupun nonalam.
“Siapa pun dia, dari partai politik apa pun dia, apa pun latar belakang pendidikan dan profesi tentulah mewujudkan tujuan negara merupakan cita-cita kita bersama,” ucap Firli.
Abdullah Azwar Anas menjelaskan, keberadaan sistem katalog elektronik (e-katalog) selama ini memperkecil ruang korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Ia pun berusaha agar sistem e-katalog terus disempurnakan sehingga senantiasa menjamin transparansi dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan.
Baca juga: Tak Cukup Pemberantasan Korupsi
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding menyampaikan, berdasarkan kajian dan pengalaman dalam menangani perkara korupsi, KPK telah memetakan titik-titik rawan korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah. Beberapa modus korupsi yang dilakukan kepala daerah tersebut, antara lain terkait belanja daerah yang meliputi pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset, hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga.
Selain itu, ada pula korupsi pada sektor penerimaan daerah, mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat. Korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan, benturan kepentingan, serta penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya.
Karenanya, lanjut Ipi, upaya pencegahan korupsi pada pemerintah daerah berfokus pada penguatan tata kelola pemerintah daerah yang baik dengan mendorong diimplementasikannya delapan fokus area perbaikan. Itu meliputi sektor perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), penguatan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), manajemen ASN, optimalisasi pendapatan daerah, manajemen aset daerah, dan tata kelola dana desa.