Misteri Penyelamatan Orbit hingga Rugikan Negara
Dugaan korupsi pengadaan satelit komunikasi pertahanan di orbit 123 BT sangat pelik. Kepiawaian pemerintah mengatasi masalah ini pun diuji.
Pemerintah kini tengah mendalami peran kalangan swasta dan militer dalam pengadaan satelit tahun 2015-2018 yang diperkirakan merugikan negara Rp 815 miliar. Pengadaan ini sejatinya sebagai misi menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur dari pihak asing karena slot orbit ini strategis untuk kepentingan pertahanan keamanan.
Namun, misi penyelamatan ini bermasalah sejak awal. Permasalahan berangkat dari satelit terdahulu yang menghilang. Kemudian penyewaan satelit yang tujuannya agar slot orbit tak dialihkan ke pihak lain, itu pun pembayarannya tersendat. Saat pengadaan satelit dilakukan, hal itu juga tak tuntas dan diwarnai penyelundupan.
Misteri menghilangnya satelit terdahulu itu diungkapkan Kanaka Hidayat, anggota tim ahli untuk pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Awalnya Januari 2015 ketika satelit Garuda-1 yang mengisi orbit 123 BT hilang. Kanaka mengatakan, hilangnya satelit ini masih jadi misteri karena pada Maret 2015 satelit itu terlihat di 64 derajat BT alias tidak hilang.
Namun, ia kemudian enggan berspekulasi terkait dengan menghilangnya satelit Garuda-1 itu. Ia hanya membenarkan bahwa Slot Orbit 123 BT itu strategis karena punya kategori L-band yang paling bagus untuk keperluan militer. ”Slot (orbit) ini diinginkan banyak pihak,” ucap Kanaka, anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
Awalnya Januari 2015 ketika satelit Garuda-1 yang mengisi orbit 123 BT hilang. Kanaka mengatakan, hilangnya satelit ini masih jadi misteri karena pada Maret 2015 sate l it itu terlihat di 64 derajat BT alias tidak hilang.
Pertemuan Kompas dengan Kanaka berlangsung di rumah Ryamizard Ryacudu di kawasan Cibubur, Jawa Barat, Senin (17/1/2022). Saat itu sebetulnya tujuan Kompas adalah menemui Ryamizard, Menteri Pertahanan periode 2014-2019, untuk berbincang terkait dengan pengadaan satelit di Slot Orbit 123 derajat BT yang berlangsung sejak 2015.
Dalam pertemuan itu, akhirnya Kompas tak hanya bertemu dengan Ryamizard, tetapi juga beberapa pihak lain. Namun, pihak lain yang bersedia diwawancara hanya Kanaka, salah satu alasannya karena ia mengetahui proses pengadaan satelit.
Ryamizard mengungkapkan, permintaan untuk menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat BT itu pada mulanya datang dari Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pada pertengahan 2015. Permintaan itu selanjutnya dibahas secara serius dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR. Saat itu DPR setuju menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat BT. Caranya, mengisi slot orbit itu dengan satelit untuk kepentingan pertahanan dengan nama program pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan.
Pada 4 Desember 2015, tiga hari menjelang tenggang waktu pengisian slot orbit, Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas memerintahkan Kementerian Pertahanan untuk menyelamatkan slot orbit tersebut. Dalam perintahnya, disebutkan bahwa pastikan agar tim pemerintah tidak kehilangan kesempatan untuk memastikan dunia bahwa Indonesia mampu mengelola Slot Orbit 123 derajat BT.
Atas dasar perintah Presiden, Ryamizard mengatakan, dirinya sebagai menteri pertahanan kala itu tetap memutuskan menyewa satelit Artemis dari Avanti Communication Limited agar slot orbit terisi meski tak tersedia anggaran. ”Waktu itu perintahnya selamatkan Slot Orbit 123 BT dan menunjukkan ke dunia, kita mampu kelola orbit itu,” kata Ryamizard.
Jika saat itu Kemenhan tak segera memutuskan menyewa satelit, Slot Orbit 123 derajat BT akan diberikan kepada pihak lain oleh International Telecommunication Union (ITU). Kontrak sewa satelit Artemis itu yang diajukan kepada ITU dalam rapat pertemuan Operator Review Meeting pada 7 Desember 2015. ”Kalau beli (satelit baru), butuh lebih dari tiga tahun. Padahal ada batas waktunya (pengelolaan slot orbit). Jadi kita sewa. Yang ada Artemis kita sewa. Dibayar kas negara langsung ke Avanti,” ucap Ryamizard.
Menurut Kanaka, pilihan menyewa satelit jatuh kepada Avanti Communication Limited karena operator satelit L-band sangat terbatas. Kanaka menyebut jumlahnya tak sampai belasan. Dia pun mengakui, kemampuan frekuensi satelit Artemis terbatas 3 GHz, sementara yang ideal 8 GHz. Namun, frekuensi sebesar itu tetap cukup memenuhi syarat dari ITU. ”Yang penting aman dulu sampai 2019, orbit itu di kita,” katanya.
Baca Juga:Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123 Naik ke Penyidikan, Personel TNI Diduga Terlibat
Ryamizard lamat-lamat mengingat bahwa sewa satelit Artemis sempat dibayar tiga kali kepada Avanti Communication Limited. Nominalnya Rp 200 miliar yang berasal dari alokasi anggaran untuk kebutuhan satelit sebesar Rp 1,3 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. ”Setelah itu, pembayaran terhenti,” ucapnya.
Ryamizard mengaku lupa secara rinci penyebab pembayaran terhenti. Namun, diduga terkendala oleh prosedur administrasi. Sebab, untuk pembayaran sewa satelit itu Kemenhan menyerahkan bukti tagihan kepada Kementerian Keuangan, setelah itu pembayaran langsung dilakukan dari Kas Negara. ”Yang bayar itu langsung dari Kas Negara, Kementerian Keuangan. Jangankan korupsi, liat uangnya saja saya enggak pernah,” ujarnya.
Pembayaran sewa yang tersendat itu yang menyebabkan Avanti Communication Limited mengajukan gugatan arbitrase ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris. Hingga 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar Kemenhan sebesar 16,8 juta dollar AS. Pengadilan pun menghukum Pemerintah RI membayar Rp 515 miliar kepada Avanti.
Barang selundupan
Secara paralel Kemenhan juga menjalankan proses pengadaan satelit yang melibatkan beberapa perusahaan. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan bahwa pada 1 Desember 2015 Kemenhan dan Airbus Defence and Space menandatangani kontrak utama pembangunan satelit MMS dan Ground Segment senilai 669,5 juta dollar AS atau Rp 9,565 triliun.
Namun, dalam klausul itu disebutkan kontrak tersebut baru akan efektif atau aktif kalau sudah ada anggaran. Praktik semacam ini beberapa kali dilakukan di Kemenhan, seperti kontrak pembelian Sukhoi yang akan berlaku efektif jika sudah ada anggaran untuk membayar uang muka. ”Dengan Airbus, kami kontrak payung sebagai prasyarat untuk kita bawa ke ITU. Kontrak itu aman karena baru aktif kalau ada anggaran,” kata Kanaka.
Untuk pengadaan peralatan pendukung satelit di darat, menurut Kanaka, tetap dijalankan. Ada sejumlah perusahaan yang terlibat, salah satunya Navayo International AG. ”Sampai sekarang masih ada peralatannya,” lanjutnya.
Dalam perjalanannya, pengadaan peralatan pendukung ini pun tak dibayar oleh Kemenhan. Ryamizard mengakui, Navayo International AG tidak dibayar karena tidak ada anggaran. Penyebab lain karena sebelumnya Kemenhan menghadapi masalah administrasi untuk pembayaran sewa satelit Artemis sehingga pengajuan tagihan pembayaran Navayo International AG di Kementerian Keuangan jadi tersendat.
Ryamizard mengatakan, hal ini tidak bisa disebut sebagai kesalahan Kemenhan. Sebab, pembayaran dilakukan oleh Kementerian Keuangan. ”Bukan salah kita itu enggak bayar-bayar. Kalau tentara itu harus berinisiatif. Misalnya untuk rebut sasaran, harus kuasai ini, ini (kami laksanakan). Ini untuk melancarkan tugas pokok,” katanya, memberikan analogi upaya yang dilakukan Kemenhan untuk menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat BT.
Akibat tak melakukan pembayaran, Navayo International AG mengajukan tuntutan di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura. Dalam keputusan 22 April 2021, Kemenhan RI kalah dan harus membayar tagihan 16 juta dollar AS dan biaya perkara 1,85 juta dollar AS atau Rp 255 miliar.
Baca juga: Pengadaan Satelit Militer Bermasalah
Berdasarkan audit tujuan tertentu yang dilaksanakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan dugaan pelanggaran ketentuan dan kerugian negara. Kerugian yang dimaksud adalah pemerintah diharuskan membayar gugatan arbitrase dari Avanti Communication Limited sebesar Rp 515 miliar berdasarkan putusan pengadilan arbitrase internasional di London, Inggris. Pada tahun 2021, pemerintah juga kembali menerima tagihan senilai total 21 juta dollar AS dari Navayo International AG berdasarkan putusan arbitrase Singapura.
Padahal, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Senin (17/1/2022), hasil audit BPKP menemukan bahwa barang yang diterima dari Navayo Internasional AG itu sebagian besar diduga selundupan. ”Tidak ditemukan dokumen pemberitahuan impor barang di Bea dan Cukai,” ucap Mahfud.
Mengatasi kerugian negara yang ditimbulkan dari pengadaan satelit ini, pemerintah menanganinya cukup serius. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut status Kemenhan sebagai operator satelit pada 13 Maret 2018. Pengadaan satelit pun dialihkan kepada pihak swasta, yakni PT DNK.
Setelah mencabut status Kemenhan sebagai operator, Presiden mengadakan rapat terbatas di Istana Negara pada 21 Agustus 2018. Pada intinya, Presiden mempertanyakan kenapa bisa terjadi gugatan arbitrase. Selain itu, Presiden juga memerintahkan Kemenko Polhukam untuk mengambil alih penyelesaian masalah tagihan dari sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pengadaan satelit.
Hasil audit BPKP menemukan bahwa barang yang diterima dari Navayo Internasional AG itu sebagian besar diduga selundupan .
Kini, pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung terus dilakukan kepada sejumlah pihak yang terlibat dalam pengadaan satelit untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT tersebut, termasuk terhadap PT Dini Nusa Kusuma. Perusahaan ini terlibat dalam pengadaan satelit setelah pemerintah mengalihkan pengadaan satelit kepada swasta.
Dua orang dari jajaran direksi PT Dini Nusa Kusuma diperiksa Kejaksaan Agung, yakni SW selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma yang juga Tim Ahli Kementerian Pertahanan dan AW selaku Presiden Direktur PT Dini Nusa Kusuma.
Seusai menemui Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, di Jakarta, Jumat (14/1/2022), Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyampaikan, Menko Polhukam telah menyebutkan ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum terkait dengan pengadaan satelit.
Andika menyatakan, dirinya dan jajarannya akan mendukung keputusan pemerintah untuk melakukan proses hukum dalam perkara tersebut. Saat ini, pihaknya masih menunggu nama personel TNI yang diduga terlibat dalam perkara itu.
Baca juga : Audit BPKP Perkuat Dugaan Pelanggaran Hukum di Kasus Satelit Orbit 123
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Supardi mengatakan, penyidikan terhadap pengadaan satelit yang dilakukan kejaksaan saat ini juga menjadi salah satu upaya untuk menggagalkan putusan arbitrase. Setidaknya hal itu akan disampaikan ke pihak pengadilan arbitrase bahwa telah terjadi fraud (penipuan atau kecurangan).
Meski demikian, ia menegaskan, penanganan korupsi tersebut tidak bergantung pada adanya gugatan atau perkara perdata. ”Sepanjang memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi, kejaksaan akan memprosesnya,” ucapnya.
Diperebutkan
Di luar dugaan adanya korupsi dalam pengadaan satelit, untuk mempertahankan Slot Orbit 123 derajat BT juga tak mudah. Kanaka mengungkapkan, saat memperpanjang penggunaan slot orbit tersebut pada November 2019, dirinya bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika harus melobi sejumlah negara agar slot orbit itu tetap dapat digunakan oleh Indonesia.
”Di meeting terbesar ITU, kami mengajukan itu (melobi sejumlah negara). Beberapa negara ada yang mendukung. Untuk negara yang tidak mendukung, kami lobi,” ucapnya.
Dari hasil lobi itu, menurut Kanaka, beberapa negara yang semula tak mendukung meminta hak bisnis di Indonesia sebagai timbal baliknya. ”Ujung-ujungnya itu, minta hak berbisnis di Indonesia,” katanya.
Sejumlah operator antre menanti giliran menggunakan Slot Orbit 123 derajat BT. Sebab, spesifikasi satelit untuk slot orbit ini adalah L-band. Spesifikasi L-band sangat diperlukan oleh teknologi masa depan, seperti komunikasi mobile, telekomunikasi, dan penginderaan. Daya jangkaunya juga cukup luas sehingga cukup strategis untuk pertahanan. Di dunia, hanya ada delapan negara yang menguasai slot seperti ini.
Dengan berbagai masalah serta kerugian yang muncul dalam pengadaan satelit, kepiawaian pemerintah mengatasi masalah ini tentu sangat diuji. Sebab, tantangan mempertahankan Slot Orbit 123 derajat BT yang berada tepat di atas Sulawesi ini juga datang dari luar, dari negara-negara yang berusaha merebutnya. Bagaimanapun, slot orbit ini patut dipertahankan karena strategis untuk kepentingan pertahanan.