Realisasi APBD 2021 Lebih Baik, tetapi Masih di Bawah 90 Persen
Hingga akhir 2021, pemda merealisasikan belanja sebesar Rp 1.092,13 triliun atau 85,69 persen. Capaian ini melampaui realisasi belanja tahun lalu sebesar Rp 1.021,26 triliun atau 82,69 persen.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2021 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, realisasi belanja masih di bawah 90 persen. Pemerintah daerah diharapkan mempercepat realisasi APBD tahun anggaran 2022 sejak dini.
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni menyampaikan, realisasi pendapatan provinsi, kabupaten, dan kota tahun 2021 per 31 Desember mencapai Rp 1.115,10 triliun atau 95,59 persen. Realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar Rp 1.050,93 triliun atau 92,48 persen.
”Sedangkan dari sisi belanja, per 31 Desember 2021 daerah berhasil merealisasikan belanja sebesar Rp 1.092,13 triliun atau 85,69 persen. Capaian ini melampaui realisasi belanja tahun lalu sebesar Rp 1.021,26 triliun atau 82,69 persen,” kata Fatoni melalui keterangan tertulis, Rabu (19/1/2022).
Fatoni mengingatkan, tren kenaikan realisasi APBD agar terus ditingkatkan. Karena itu, pemerintah daerah perlu menerapkan sejumlah strategi untuk mempercepat realisasi APBD tahun anggaran 2022.
Langkah pertama yang dapat dilakukan, kata Fatoni, adalah melakukan pengadaan barang/jasa sejak awal, yakni pada Juli atau Agustus tahun anggaran sebelumnya, apabila kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara (KUA-PPAS) sudah ditetapkan. Meskipun lelang dini dan pengumuman pemenang lelang telah diperbolehkan, tanda tangan kontrak baru dapat dilakukan setelah APBD efektif berjalan.
Kedua, perlu dilakukan percepatan realisasi dengan tidak menunda administrasi pertanggungjawaban. Ketiga, perlu dibuat rencana kegiatan dan penjadwalan per triwulan secara konsisten. ”Sehingga per triwulan kita lihat ada konsistensi, kemudian tidak besar di akhir, tetapi perencanaan juga harus dibuat sesuai dengan realisasinya,” kata Fatoni.
Keempat, penunjukan pejabat pengelola keuangan daerah dan pejabat fungsional selaku koordinator dan subkoordinator yang diutamakan menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK). Karena itu, Fatoni berharap agar segera ditetapkan pejabat pengelola keuangan.
Di bawah 90 persen
Secara terpisah, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, jumlah serapan anggaran daerah yang di bawah 90 persen menunjukkan bahwa masih ada masalah klasik dalam kapasitas perencanaan di daerah. Bahkan, masalah juga ada pada implementasi permerintahan yang baik.
Ia mengungkapkan, banyak proyek yang dijalankan di daerah menggunakan pihak ketiga. Beberapa proyek mangkrak karena terlalu banyak potongan akibat dikorupsi sehingga pihak ketiga tidak meneruskan proyek tersebut. ”Pihak ketiga daripada rugi mending berhenti saja,” kata Faisal.
Akan tetapi, ada daerah yang sengaja menyisakan anggarannya karena kucuran dana ke daerah dari pemerintah pusat terlambat di awal tahun. Padahal, pemda membutuhkan dana untuk membayar biaya operasional pemerintahan di awal tahun. Alhasil, mereka menggunakan dana sisa tahun lalu.
Dari permasalahan tersebut, kata Faisal, diperlukan asistensi dari pemeritnah pusat untuk mendampingi daerah. Implementasi harus lebih efektif untuk bisa mengantisipasi serapan yang rendah. Pengucuran dana dari pusat agar diupayakan lebih awal sehingga daerah tidak perlu berjaga-jaga.
Faisal juga mengingatkan pemda agar tidak hanya mengejar penyerapan di akhir tahun anggaran dengan melakukan berbagai aktivitas yang tidak berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi. ”Perjalanan dinas, rapat-rapat dikejar. Itu tidak terlalu dibutuhkan. Malah jadi pemborosan anggaran. Itu terjadi setiap tahun,” tuturnya.