Pertikaian Cebong dan Kampret Jadi Alasan Perlunya "Presidential Threshold" Dihapus
Menginginkan jaminan adanya pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pada Pemilu 2024, Lieus Sungkharisma ingin "presidential threshold" dihapuskan atau setidaknya diturunkan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
Kompas/Susana Rita
Lieus Sungkharisma, pemohon uji materi Pasal 222 UU Nomor 17 Tahun 2017, tengah mengikuti sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Senin (17/1/2022). MK menerima setidaknya enam permohonan uji materi pasal serupa.
Meski mengaku buta hukum, Lieus Sungkharisma yang mengaku sebagai pedagang di kawasan Glodok, Jakarta Barat, dengan percaya diri mengikuti sidang di Mahkamah Konstitusi. Tanpa didampingi pengacara, ia mengungkapkan kegelisahannya akan keberadaan norma presidential threshold atau syarat ambang batas presiden di dalam Undang-Undang Pemilu.
”Saya bukan orang hukum. Kita pedagang di Glodok, tidak begitu paham tentang hukum. Tapi saya baca (permohonan) ini, ada teman yang bikin. Kalau pake pengacara, bayarnya mahal. Tapi saya ngerti (permasalahan ini). Saya cocok,” kata Lieus mengawali kata-katanya saat dipersilakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat untuk membacakan permohonan uji materinya.
Arief memang memimpin sidang panel uji materi Pasal 222 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, Senin (17/1/2022). Didampingi hakim konstitusi Saldi Isra dan Manahan MP Sitompul, Arief dengan lihai mengarahkan persidangan sehingga lancar. Ia bisa membimbing Lieus yang tidak terbiasa beracara di MK mengungkapkan pokok-pokok permohonannya.
“Jadi, pokoknya ginilah. Saya merasa saya ini termasuk korban. Gara-gara kemarin, (Pemilu) 2019 calonnya cuma dua. Karena (presidential threshold) 20 persen, akibatnya kita ini bertarungnya kayak musuhan Yang Mulia. Saya ini korban. Saya ikut jadi juru kampanye nomor dua (pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno). Saya ditangkap. Masuk ke polda dua Minggu. Dituduh makar. Padahal, itu saya merasa bener. Kenapa saya dituduh begitu. Ini karena pertarungan dua kelompok itu begitu keras. Permusuhannya terlalu tajam,” ujar Lieus.
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin bersama pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bertemu dalam Debat Kelima Capres-Cawapres Pemilu 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
Bahkan, menurut Lieus, rasa permusuhan tersebut belum terurai dengan tuntas. “Sampai sekarang ini Yang Mulia, masih berantem. Kampret sama cebong. Masih ribut. Walaupun Pak Jokowi sama Pak Prabowo udah rukun, kita ini masih asem-aseman. Kalau ketemu masih (bilang) kampret lu. Saya sih nggak pernah ngomong orang cebong. Nggak suka,” kilah Lieus.
Ia pun mengandaikan bila calon presiden dan wakil presiden ada 10 pasang. Pertarungan yang terjadi diantara para pendukung pasangan calon tidak akan sekental pada Pemilu 2019, meskipun nantinya ada putaran kedua.
Lieus pun meminta MK untuk mengabulkan permohonannya, menghapus presidential threshold yang saat ini diatur 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional apabila partai atau gabungan partai ingin mengusung capres/cawapres.
Dengan bahasa awam, Lieus sudah menyampaikan aspirasinya. Tiga hakim konstitusi yang menyidangkan perkara Lieus pun menyesuaikan diri, sebisa mungkin memberikan nasihat dengan bahasa hukum yang gampang dicerna. Hakim Arief Hidayat, misalnya, saat meminta Lieus membacakan petitum permohonannya, harus menunjukkan halaman yang harus dibaca setelah pemohon tidak juga menemukan apa yang diminta Arief.
kompas-photographer-name
Para petugas polisi berjaga-jaga hingga para peserta aksi menolak hasil Pemilu 2019 di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, membubarkan diri, Selasa (21/5/2019). Aksi yang diberi waktu toleransi polisi ini akhirnya membubarkan diri dengan tertib.
Demikian pula saat hakim konstitusi Manahan MP Sitompul hendak memberikan nasihat-nasihat untuk perbaikan permohonan.
“Ini, kan, ada hal yang mau disarankan. Namanya saran boleh diikuti boleh tidak,” kata hakim konstitusi Manahan setelah diberi kesempatan ketua sidang panel untuk memberikan catatan atas permohonan Lieus.
“Ikut. Saya pasti ikut,” sahut Lieus dengan cepat.
“Ndak usah ditanggapi dulu. Diam saja dulu. Dengar saja, ya. Kalau minta ditanggapi, baru ditanggapi, ya, supaya lancar komunikasinya,” ujar Hakim konstitusi Mahanan.
Lieus pun menjawab, “Oke. Oke.” Kemudian ia diam mendengarkan hakim.
Kompas/Hendra A Setyawan
Majelis hakim membacakan sidang putusan uji materi UU ITE terkait pemblokiran internet di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/10/2021).
Para hakim pun kemudian memberikan saran secara bergantian. Manahan mengungkapkan, permohonan terlalu ringkas, hanya enam halaman. “Sudah memenuhi syarat formal, tinggal mungkin uraian-uraiannya perlu diperdalam. Terutama alasan konstitusionalitas yang baru yang harus dikemukakan supaya MK dapat mempertimbangkan permohonan saudara ini layak dipertimbangkan, berbeda dengan permohonan-permohonan yang lain,” ujar Manahan.
Hakim konstitusi Saldi Isra meminta Lieus untuk memperjelas legal standing atau kedudukan hukum pemohon. “Bapak jelaskan kerugian hak konstitusional yang faktual itu apa. Ini belum kelihatan di sini. Kalau tidak ada kerugian, tidak bisa dikabulkan. Setidak-tidaknya kerugian potensialnya harus jelas. Nah, kerugian faktual atau potensial itu melanggar apa di dalam konstitusi. Bapak cari di dalam pasal UUD, apakah Pasal 28 atau apa,” ujar Saldi.
Selain itu, Saldi meminta agar Lieus menjelaskan alasan dan argumentasi mengapa Pasal 222 UU Pemilu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Ia diminta untuk mempelajari putusan MK sebelumnya. “Kira-kira celah apa lagi yang harus ditambahkan argumentasinya sehingga dasar permohonan pengujian menjadi kuat. Tadi Pak Manahan bilang, tolong dong kami dicarikan alasan yang baru. Kalau alasan lama, sudah diputus. Siapa tahu dengan alasan Pak Lieus, permohonan dikabulkan,” kata Saldi.
Selain perkara Lieus, MK juga menggelar sidang panel untuk perkara serupa yang diajukan oleh tiga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yaitu Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra). Dengan dipimpin oleh ketua sidang panel Enny Nurbaningsih, kuasa hukum pemohon, Ahmad Yani, menguraikan secara panjang lebar alasan kliennya menguji norma mengenai presidential threshold di UU Pemilu.
Bendera-bendera partai politik saat Sosialisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi Pada Pemilu Tahun 2024 yang diselenggarakan KPU di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Hingga kini, norma tersebut tengah diperiksa konstitusionalitasnya di MK atas permohonan dari sejumlah pihak seperti Musa Darwin Pane, Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi (dua anggota DPD), Tamsil Linrung, Fahira Idris, dkk (juga anggota DPD), Lieus Sungkharisma (mantan tim kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di Pemilu Presiden 2019), Ikhwan Mansyur Situmeang (aparatur sipil negara), Partai Ummat, dan lainnya.
Lieus barang kali hanya salah satu dari sekian banyak warga negara yang memimpikan punya alternatif capres dan cawapres yang bisa dipilih pada Pemilu 2024. Kata kuncinya adalah banyak pilihan. Untuk memperjuangkan itu, ia berani “maju” ke MK meski bermodal pengetahuan beracara seadanya.
“Trima kasih banget deh. Penjelasannya keren,” kata Lieus setelah mendapatkan nasihat dari tiga hakim konstitusi, sesaat sebelum Arief mengetuk palu menutup sidang.
Tak hanya penjelasan, Lieus dan masyarakat kebanyakan sudah pasti menunggu putusan MK yang juga harus keren.