12 Kades dan Perangkat Desa Uji UU Desa
Uji materi diajukan terhadap 25 pasal dalam UU Desa karena pasal-pasal itu dinilai tak mengakomodasi kearifan lokal pengaturan desa sebelumnya serta membatasi otonomi desa yang selama ini ada.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 12 kepala desa dan perangkat desa dari berbagai wilayah di Indonesia menguji 25 pasal di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mereka menilai ke-25 pasal tersebut tersebut tidak mengakomodasi kearifan lokal pengaturan desa sebelumnya serta membatasi otonomi desa yang selama ini sudah ada.
Pemohon tersebut di antaranya Endang Kusnandar (Kepala Desa Kamarang, Greged, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat), Asyriqin Syarif Wahadi (Kades Dadap, Juntinyuat, Indramayu, Jabar), Kahono Wibowo (Kades Kendeng Sidialit, Welahan, Jepara, Jawa Tengah), Moh Abdurrahman (Kades Pecangan Kulon, Pecangan, Jepara), Jurianto Bambang Siswantoro (Kades Duyung, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur), Suhato (Kades Kebunagung, Sukodono, Lumajang, Jatim), dan Yusran (Datok Penghulu Sukarame Satu, Seruway, Aceh Tamiang, Aceh).
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Senin (17/1/2022), hadir enam kuasa hukum para pemohon. Bertindak selaku juru bicara kuasa hukum pemohon adalah Denny Ardiansyah dari LBH Lembaga Pemberdayaan Masyarakat RI.
Pasal yang dimaksud adalah 25 pasal dalam UU Desa, yang mengatur pemerintahan desa, pemilihan kepala desa, masa jabatan kepala desa, pemberhentian kepala desa, dan aparatur desa. Disebutkan bahwa adanya UU Desa justru mengaburkan sejarah asal-usul desa yang bersifat istimewa, di mana keberadaannya didasarkan pada ikatan primordial dan ikatan politis, sekarang menjadi seragam. Hal ini tentu tidak diinginkan karena Indonesia bercorak negara bangsa yang kaya akan keanekaragaman dan kearifan lokalnya.
”Dengan diberlakukannya Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27, UU Desa menjadi tidak akomodatif. Masyarakat lokal juga belum mengetahui jabatan kepala desa di tempat tinggalnya. Di Jepara, misalnya, kepala desa disebut petinggi. Kami menduga adanya indikasi punahnya kearifan lokal dan tergerusnya persatuan dan kesatuan masyarakat desa. Selain itu, juga terhambatnya pembangunan desa,” kata Denny.
Sementara itu, pasal lain yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa yang oleh UU Desa diatur secara limitatif dan serentak dinilai pemohon dapat membatasi otonomi desa. ”Desa akan kehilangan ciri khasnya dalam hal pemilihan kepala desa di mana setiap daerah punya ciri khas,” ujarnya.
Selain itu, pemilihan kepala desa yang dilaksanakan secara langsung juga dinilai menimbulkan persoalan politik uang dan memicu korupsi, baik korupsi dana desa maupun dana dari pemerintah pusat.
Dalam berkas permohonannya, kuasa hukum menyebutkan tentang sejarah perkembangan desa mulai dari zaman penjajahan Belanda hingga reformasi. Di masa kolonial Belanda, asal-usul desa diperhatikan dan diakui sedemikian rupa sehingga tidak dikenal istilah penyeragaman istilah beserta komponen-komponen yang terdapat di dalamnya. Misalnya, persekutuan masyarakat asli di Jawa disebut desa, di bekas karesidenan Palembang disebut marga, di Minangkabau disebut nagari, dan di bekas karesidenan Bangka Belitung disebut haminte.
Selain itu, pada masa ini desa juga memiliki otoritas penuh dalam mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri, termasuk dalam urusan keamanan, perundang-undangan, dan pelaksanaan pemerintahan. Desa juga memiliki hak-hak untuk mengatur hak ulayat dan hak kewilayahan di teritorinya masing-masing.
Pada masa kemerdekaan, pengaturan tentang desa sudah mengalami perubahan hingga 12 kali. Khusus di masa Orde Baru, pengaturan mengenai desa berubah-ubah sesuai dengan ketentuan di dalam UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 32/2004 tentang Pemda, dan UU No 6/2014 tentang Desa. Konsep desa diberi definisi secara beragam meskipun secara substansial definisi di dalam UU tersebut tak jauh berbeda.
Di dalam UU Desa, desa dibagi menjadi dua, yaitu desa dan desa adat (Pasal 6). Desa memiliki karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan desa adat mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya, khususnya kuatnya pengaruh adat dalam sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Namun, di dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No 6/2014, desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain kemudian selanjutnya disebut desa.
Dalam konstruksi ini, UU Desa tidak membedakan antara desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sehingga pembentukan desa adat pada hakikatnya bukanlah sebuah keharusan. Desa adat dan desa biasa tidak memiliki perbedaan hak asal-usul.
Pemohon mendalilkan, ada kekeliruan pemahaman dan pemaknaan mengenai kedudukan desa seperti diformulasikan di dalam ketentuan umum, Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 6 UU Desa. UU Desa melakukan unifikasi penyebutan istilah desa, padahal secara kehidupan, masyarakat memiliki filosofi dan adat yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan ruang gerak desa menjadi lebih sempit dan menggiring semua desa, bahkan desa adat menjadi desa administrasi.
”Formulasi Pasal 6 jo Pasal 1 Angka 1 dalam ketentuan umum UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidaklah sinkron dengan formulasi pasal-pasal selanjutnya dalam UU tersebut,” ujar pemohon.
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar pemohon memperbaiki berkas permohonan mengingat belum jelasnya kerugian konstitusional yang diderita oleh para pemohon (12 kades dan perangkat desa).
”Kalau dicermati, sangat banyak yang perlu dibenahi. Karena beracara di MK, pemohon tidak perlu banyak. Sebab, putusan MK bersifat erga omnes, berlaku untuk semua. Kalau pemohonnya sampai 12 orang, konsekuensinya harus ada uraian satu per satu terkait kerugian konstitusional dari pemohon. Disertai dengan bukti-bukti yang kuat, misalnya apakah pemohon merupakan kepala desa yang masih aktif. Surat keputusan pengangkatannya ada,” ujar Enny.
[/caption]