Operasi Tangkap Tangan dan Peringatan KPK untuk Para Kepala Daerah
KPK menetapkan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Menambah daftar panjang kepala daerah terjerat korupsi.
Tangkapan layar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dalam konferensi pers mengenai penetapan tersangka dalam perkara dugaan suap di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kamis (13/1/2022).
Selasa (11/1/2022), di sebuah kedai kopi di Kota Balikpapan dan di sekitar Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur, berkumpul beberapa orang. Mereka berkumpul atas perintah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud melalui orang kepercayaannya, Nis Puhadi, agar mengumpulkan uang dari beberapa kontraktor.
Setelah uang terkumpul sebesar Rp 950 juta, Abdul Gafur memerintahkan Nis Puhadi agar uang itu dibawa ke Jakarta. Segera uang itu dibawa ke Jakarta. Nis Puhadi membawanya ke kediaman Abdul Gafur di Jakarta Barat.
Pada Rabu (12/1) petang, selesai berkegiatan, uang tersebut kemudian dibawa Abdul Gafur ke sebuah mal di Jakarta Selatan, bersama Nis Puhadi dan Nur Afifah Balqis yang adalah Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Di sana, uang tersebut digenapi Nur Afifah menjadi Rp 1 miliar dan dimasukkan ke dalam sebuah koper.
Ketika Abdul Gafur, Nis Puhadi, dan Nur Afifah berjalan keluar dari lobi mal, tim KPK menangkap mereka beserta pihak lainnya, termasuk menyita koper berisi uang. Bersamaan dengan itu, tim KPK mengamankan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi beserta istrinya serta seorang dari pihak swasta bernama Achmad Zuhdi alias Yudi.
Selain itu, tim KPK menyita uang yang tersimpan dalam rekening bank atas nama Nur Afifah sejumlah Rp 447 juta yang diduga merupakan milik Abdul Gafur. Uang itu diduga diterima dari para rekanan. Sementara itu, tim KPK yang berada di wilayah Kalimantan Timur menangkap empat orang lainnya.
Sebelas orang itu kemudian diperiksa intensif di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta. Baru pada Kamis (13/1) malam KPK mengumumkan hasil pemeriksaan.
Dari pemeriksaan, KPK menetapkan enam tersangka. Lima tersangka sebagai penerima suap ialah Abdul Gafur Mas’ud, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Nur Afifah Balqis. Sementara satu tersangka sebagai pemberi suap ialah Achmad Zuhdi alias Yudi.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mereka ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi atas pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022. Pada 2021, Kabupaten Penajam Paser Utara merencanakan beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dengan nilai kontrak tahun jamak Rp 112 miliar.
"Tersangka AGM (Abdul Gafur) selaku bupati diduga memerintahkan tersangka MI (Mulyadi), tersangka EH (Edi Hasmoro) dan tersangka JM (Jusman) untuk mengumpulkan sejumlah uang dari para rekanan yang sudah mengerjakan beberapa proyek fisik di Kabupaten Penajam Paser Utara," kata Alexander.
Tangkapan layar konferensi pers Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai operasi tangkap tangan dan penetapan tersangka perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kamis (13/1/2022).
Selain itu, lanjut Alexander, Abdul Gafur juga diduga menerima sejumlah uang atas penerbitan beberapa perizinan antara lain perizinan untuk HGU lahan sawit di Kabupaten Penajam Paser Utara dan perizinan pemecah batu pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara.
Peringatan
Penangkapan terhadap kepala daerah atas dugaan korupsi sudah dua kali dilakukan KPK di Januari 2022. Pada Rabu (5/11) hingga Kamis (6/11) KPK menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan belasan orang lainnya. KPK kemudian menetapkan Rahmat sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan dan lelang jabatan di lingkungan Kota Bekasi, bersama delapan orang lainnya dari kalangan pejabat Pemkot Bekasi dan swasta.
Pada 8 Januari 2022, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengirimkan pendapatnya secara tertulis melalui pesan singkat. Dia menuturkan, dari laporan kerja Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah 1-5, modus dan perilaku dugaan korupsi seperti yang terjadi di Pemerintah Kota Bekasi berlangsung marak di pemerintah daerah lainnya.
”Korupsi di sejumlah daerah dilakukan dengan modus pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, perizinan, kolusi dan nepotisme. Ada benarnya omongan sejumlah pihak bahwa mungkin saja 'OTT' bisa seperti berburu di kebun binatang," kata Nawawi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango
Dia menuturkan, ada banyak faktor yang menjadi penyebab dari korupsi itu, seperti kejar setoran atas biaya besar politik yang telah dikeluarkan. Namun, ada pula yang memang bentuk dari perilaku tamak atau rakus.
”Kondisi ini memang sangat memprihatinkan di tengah upaya pemberantasan korupsi. Terlebih, di saat negeri dan rakyat dalam situasi sulit seperti sekarang ini. Apa yang terjadi dengan pimpinan daerah di Kota Bekasi pada awal tahun baru ini, mudah-mudah menjadi warning bagi yang lainnya, yang masih terus dengan perilaku kotor korupnya,” tutur Nawawi.
Diikuti pencegahan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, dihubungi Kamis, menegaskan, KPK harus terus melakukan upaya pemberantasan korupsi, baik melalui penindakan maupun pencegahan termasuk menggunakan metode tangkap tangan.
“Selama masih ada korupsi diketahui tindak pidana, ya KPK harus terus melakukan itu (pemberantasan). KPK tidak boleh berhenti. KPK harus terus berjalan melakukan penegakan hukum,” kata Zaenur.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman.
Ia menuturkan, setelah melakukan OTT, KPK harus melengkapi upaya penindakan dengan pencegahan. Pertama, memberikan pendampingan di lokasi terjadinya tindak pidana untuk memperbaiki birokrasi sekaligus kulturnya agar bisa menjadi birokrasi yang bersih. Kedua, KPK harus memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR untuk mengubah sistem yang menyebabkan kepala daerah terus terlibat korupsi.
Sistem yang harus diperbaiki yakni terkait kepartaian. Sebab, partai mempunyai andil besar dalam terjadinya korupsi di daerah. Sebab, kepala daerah melakukan korupsi untuk mengembalikan modal politik seperti untuk membeli dukungan. Perbaikan sistem politik juga menyangkut integritas, etika internal, kaderisasi, dan pendanaan di parpol.
Rekomendasi juga perlu dikeluarkan KPK kepada pembentuk kebijakan dalam hal ini Presiden dan DPR untuk perbaikan sistem pemilihan di daerah agar bisa murah. Hal itu bertujuan agar tidak menimbulkan biaya politik yang tinggi seperti meminimalkan bentuk kegiatan kampanye yang memakan biaya besar.
Pengawasan di daerah seperti inspektorat dan DPRD sebagai fungsi kontrol juga harus direvitalisasi. “Jadi semua upaya penindakan KPK itu seharusnya diikuti upaya pencegahan dengan memperbaiki sistem, baik di lokasi terjadinya tindak pidana maupun sistem secara nasional sehingga tidak terulang. Tanpa itu, maka akan ada korupsi yang terus dilakukan oleh kepala daerah tanpa henti,” kata Zaenur.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Salah satu orang yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penerimaan suap dan gratifikasi Kabupaten Penajam Paser Utara tiba di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/1/2022). KPK mengamankan setidaknya 11 orang, satu diantaranya Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Masud, di Jakarta dan Kalimantan Timur dalam OTT, Rabu (12/1).
Bagi kepala daerah, ia mengingatkan, sudah banyak contoh kepala daerah yang terjerat korupsi. Kepala daerah harus sadar diri. Ketika tertangkap, maka kehidupan politik dan pribadi mereka sudah habis. Mereka sudah seharusnya menjadikan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebagai cermin. Jangan sampai melakukan korupsi yang menghancurkan mereka.
Zaenur mengatakan, sudah seharusnya kepala daerah melupakan modal politik yang banyak mereka keluarkan. Mereka harus menghindari korupsi karena risikonya tidak sebanding.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, ada kecenderungan kepala daerah suka mengumpulkan modal selagi menjabat. “(Kepala daerah korupsi untuk) balik modal yang sudah dikeluarkan sebelumnya ditambah semakin kaya dan mencari modal untuk pilkada lagi,” kata Pahala.(NAD/BOW/DEA/PDS)