Korelasi uang hasil korupsi dan pembiayaan kepentingan partai pernah terungkap. Karena itu, penetapan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat munculkan dugaan aliran dana ke partai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur dan Bendahara Umum Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Nur Afifah Balqis sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta perizinan memunculkan dugaan adanya aliran uang menuju partai. Untuk memastikan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi akan mendalaminya.
Korelasi antara uang hasil korupsi dan pembiayaan kepentingan partai sebenarnya pernah terungkap sebelumnya. Misalnya, dalam persidangan mantan anggota DPR dari PDI-P, Damayanti Wisnu Putranti, terungkap bahwa Damayanti menerima suap untuk kepentingan pilkada. Kasus lain, mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham terbukti berperan atas pemberian uang yang digunakan untuk kepentingan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar.
Dalam kasus di Penajam Paser Utara, Nur Afifah Balqis diduga menampung uang suap yang diterima Abdul Gafur. Uang tersebut kemudian digunakan untuk keperluan Abdul Gafur. Namun, pada Rabu (12/1/2022) petang, KPK menangkap mereka di sebuah mal di Jakarta. Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang di dalam rekening bank milik Nur Afifah dengan saldo Rp 447 juta.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya tentu akan mendalami apakah uang suap yang diterima Abdul Gafur juga mengalir ke partai. Sebab, selain Abdul merupakan kader Partai Demokrat, di waktu bersamaan tengah berlangsung pemilihan ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Demokrat di Kalimantan Timur. Abdul Gafur pun maju sebagai kandidat ketua DPD.
”Tentu simpul-simpul tadi yang dikaitkan dengan pemilihan ketua DPD atau di catatan yang bersangkutan juga bersama dengan bendahara partai. Ini, kan, menjadi petunjuk, tentu nanti akan dilihat di proses penyidikan. Untuk saat ini, kami belum bisa memberikan informasi tersebut,” ujar Alex.
Tentu simpul-simpul tadi yang dikaitkan dengan pemilihan ketua DPD atau di catatan yang bersangkutan juga bersama dengan bendahara partai. Ini, kan, menjadi petunjuk, tentu nanti akan dilihat di proses penyidikan. Untuk saat ini, kami belum bisa memberikan informasi tersebut.
Alex menegaskan, sejauh ini, dalam gelar perkara, baru ditemukan adanya bukti awal dugaan pemberian dan penerimaan suap. Ekspose tersebut belum mengembangkan ke arah lainnya, termasuk dugaan aliran uang ke parpol.
”Tentu jika dalam proses penyidikan ada hubungannya atau kaitannya dengan ditemukan alat bukti yang cukup, tentu itu akan menjadi bahan penyidik untuk memperluas cakupan dari penanganan perkara ini,” tutur Alex.
Mengagetkan
Kompas sudah meminta tanggapan terhadap sejumlah pengurus DPP Demokrat terkait rencana KPK untuk mendalami dugaan aliran suap ke parpol tersebut, tetapi hingga kini tak kunjung direspons. Mereka yang telah dihubungi ialah Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Teuku Riefky Harsya serta Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Demokrat Herzaky Mahendra Putra.
Sementara, Ketua Departemen Hukum dan HAM DPP Demokrat Didik Mukrianto hanya menjawab, ”Mohon maaf sedang rapat.” Setelah itu, beberapa kali Kompas menghubunginya, Didik tak lagi merespons.
Sebelumnya, Didik mengaku sangat prihatin dan sangat menyesalkan kejadian ini. Sebab, saat ini, Demokrat tengah terus membangun transparansi, profesionalitas, akuntabilitas, dan zona integritas dalam aktualisasi politik. ”Kejadian ini tentu sangat mengagetkan dan memprihatinkan kami semua,” ujarnya.
Secara prinsip, lanjut Didik, Demokrat sangat mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi. Demokrat juga tidak akan pernah menoleransi tindakan-tindakan koruptif dalam segala bentuk.
Jangan main-main dengan uang rakyat, jangan main-main dengan jabatan dan kewenangan. Jauhkan diri dari korupsi karena pemberantasan korupsi tidak akan berhenti. Siapa yang korupsi akan berakhir di bui.
Menurut dia, kejadian Abdul Gafur ini patut menjadi pembelajaran berharga bagi para pejabat, para pengguna anggaran, dan seluruh kader Demokrat. ”Jangan main-main dengan uang rakyat, jangan main-main dengan jabatan dan kewenangan. Jauhkan diri dari korupsi karena pemberantasan korupsi tidak akan berhenti. Siapa yang korupsi akan berakhir di bui,” katanya.
Memberikan efek jera
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, pendanaan partai saat ini masih bergantung pada elite atau orang-orang tertentu yang duduk pada posisi strategis kepengurusan partai. Selain itu, partai mengandalkan iuran dari kader partai yang memegang jabatan publik di eksekutif dan legislatif.
”Belum ada kesadaran kolektif di internal partai untuk bersama-sama menanggung pembiayaan partai. Paradigmanya masih menganggap bahwa pembiayaan partai merupakan tanggung jawab para elite dan pimpinan partai,” ucap Titi.
Sebenarnya, lanjut Titi, tersedia sumber lain pendanaan partai, yaitu alokasi dana negara untuk partai dan iuran anggota. Namun, alokasi dana negara kurang signifikan dalam memenuhi kebutuhan operasional dan kelembagaan partai. Iuran anggota pun tidak berjalan di hampir seluruh partai. Alhasil, dana pihak ketiga paling banyak menopang belanja partai. Dana pihak ketiga ini, baik donatur maupun pengurus elite partai.
Dampak lain, kader yang sedang menjabat pada posisi publik yang mayoritas juga adalah pengurus elite partai, memiliki beban berlipat untuk bertanggung jawab dalam memastikan keberlangsungan pendanaan partai. Mereka ini kemudian mulai mencoba mengakses dana-dana ilegal yang bersumber dari praktik koruptif dengan menyalahgunakan jabatan serta memanipulasi pengelolaan keuangan negara. Misalnya, jual beli jabatan, ikut bermain proyek APBN dan APBD, kolusi dalam pengadaan barang dan jasa, serta meminta imbal jasa dari para pemborong.
Tentu skema penegakan hukum dengan sanksi yang menyasar tanggung jawab partai tersebut memerlukan revisi berbagai undang-undang terkait agar bisa diaplikasikan di lapangan. Agar benar-benar ada efek jera bagi para pelaku korupsi politik maupun kelembagaan parpol yang menaungi mereka.
”Pengawasan internal yang lemah, disfungsi partai politik dalam memainkan fungsi kontrol, serta penegakan hukum yang tidak memberi efek jera membuat praktik ini terus berulang menjerat para kader partai yang memegang jabatan-jabatan publik,” kata Titi.
Titi melanjutkan, penegakan hukum atas korupsi politik selama ini selalu dilokalisasi pada individu-individunya saja sehingga tidak memberi efek langsung pada kelembagaan parpol. Meskipun aliran dananya terbukti masuk ke parpol, tidak ada akibat langsung bagi eksistensi partai, baik sebagai entitas hukum maupun peserta pemilu.
Sejak lama, ia mengusulkan, jika parpol terbukti menerima aliran dana korupsi, seharusnya diberi hukuman tambahan. Dengan begitu, ada efek jera. Hukuman tambahan itu bisa berupa larangan mengikuti pemilu dan pemilihan yang akan berlangsung dalam waktu terdekat.
Selain itu, bagi oknum kader yang terbukti korupsi, mereka harus berani diberi hukuman tegas berupa larangan menjadi kandidat untuk semua posisi yang dipilih melalui pemilu. Hukuman lain, kader di eksekutif dan legislatif yang korup juga tidak boleh diganti antarwaktu oleh kader dari partai yang sama, sebagai konsekuensi kelembagaan bagi partai yang tidak mampu menjaga integritas kadernya.
”Tentu skema penegakan hukum dengan sanksi yang menyasar tanggung jawab partai tersebut memerlukan revisi berbagai undang-undang terkait agar bisa diaplikasikan di lapangan. Agar benar-benar ada efek jera bagi para pelaku korupsi politik maupun kelembagaan parpol yang menaungi mereka,” ucap Titi.
Di samping itu, untuk mencegah mencegah partai mencari sumber-sumber pendanaan ilegal, perlu juga ada peningkatan alokasi dana negara untuk pembiayaan partai. Hal ini tentu harus diikuti transparansi dan akuntabilitas tata kelolanya agar tak sekadar menjadi cek kosong yang malah bisa memicu praktik korupsi baru.
”Harapannya melalui alokasi dana negara yang lebih signifikan membiayai kebutuhan partai, maka para kader partai bisa dicegah dari perilaku menyimpang karena beban besar harus mencari sumber dana untuk menghidupi partai. Dengan demikian, mereka lebih bisa fokus dan bertanggung jawab dalam mengemban jabatan politik yang sedang mereka pegang,” tutur Titi.