Keputusan Sewa Satelit untuk Mengisi Slot Orbit 123 Melawan Hukum
Tak hanya menemukan adanya perbuatan melawan hukum, Kejaksaan Agung juga melihat adanya potensi kerugian negara hingga lebih dari Rp 700 miliar dalam pengelolaan Slot Orbit 123 Bujur Timur.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Permatasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam sewa satelit untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Selain karena proyek tersebut tidak dianggarkan di dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau DIPA Kementerian Pertahanan 2015, penyewaan satelit juga seharusnya tidak dilakukan karena masih dalam masa tenggang tiga tahun.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dalam jumpa pers di Kompleks Kejaksaan Agung, Jumat (14/1/2022), mengatakan, pihaknya telah melakukan penyelidikan selama seminggu terakhir dan telah memanggil 11 saksi untuk dimintai keterangan. Saksi berasal dari pihak swasta ataupun dari Kementerian Pertahanan.
”Kami menemukan perbuatan melawan hukum, yaitu proyek ini tidak direncanakan dengan baik. Pada saat kontrak dilakukan, proyek ini belum dianggarkan di DIPA Kemenhan 2015,” kata Febrie.
Febrie menjelaskan, seharusnya saat itu pemerintah tidak perlu melakukan penyewaan satelit. Sebab, menurut ketentuan yang berlaku, Indonesia masih memiliki waktu tiga tahun masa tenggang untuk mengisi kembali slot orbit dengan satelit baru. Dengan demikian, keputusan penyewaan satelit dari Avanti Communication Limited dinilai sebagai perbuatan melawan hukum.
Bukan hanya itu, satelit yang disewa Kemenhan ternyata tidak berfungsi. Spesifikasi satelit yang disewa juga ternyata tidak sama dengan satelit yang lama. ”Jadi, saat kontrak itu dilakukan, belum dianggarkan dan seharusnya tidak dilakukan penyewaan. Namun, ketika sewa, ternyata satelit tidak berfungsi. Ini yang berimplikasi pada tagihan dan pengadilan arbitrase,” tutur Febrie.
Dari kegiatan tersebut, Febrie menyebut, terdapat dua kerugian negara yang telah diidentifikasi. Pertama adalah sudah adanya anggaran negara yang keluar untuk pembayaran biaya sewa kepada Avanti sebesar Rp 491 miliar, biaya konsultan Rp 18,5 miliar, serta biaya arbitrase Rp 4,7 miliar sehingga totalnya mencapai Rp 500 miliar. Selain itu, dana yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia sebesar 20 juta dollar AS atau setara Rp 280 miliar untuk membayar kewajiban sesuai dengan putusan arbitrase internasional juga berpotensi merugikan keuangan negara.
Sewa oleh Kemenhan
Selain proyek sewa satelit, lanjut Febrie, Kejagung juga mendalami persoalan pengalihan sewa satelit ke Kemenhan yang seharusnya dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Kejaksaan menemukan indikasi persekongkolan dalam pengalihan sewa satelit tersebut.
Jadi, saat kontrak itu dilakukan, belum dianggarkan dan seharusnya tidak dilakukan penyewaan. Namun, ketika sewa, ternyata satelit tidak berfungsi. Ini yang berimplikasi pada tagihan dan pengadilan arbitrase.
Hingga saat ini, penyidik telah mengantongi dokumen kontrak dan dokumen pelaksanaan proyek. Selain itu, penyidik juga mendapat masukan dan laporan audit investigatif dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Karena sebagian saksi yang diminta keterangan adalah personel TNI, Jampidsus juga melibatkan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil), termasuk nantinya ketika diadakan gelar perkara untuk menentukan tersangka.
”Dalam proses penyidikan, kami tentu profesional. Kami tidak melihat jabatan atau posisi. Namun, bagi orang-orang yang perlu diminta keterangan dan ada korelasinya dalam pembuktian, maka kami akan periksa,” tutur Febrie.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Supardi menambahkan, penyidik akan mendalami proses perencanaan hingga akhirnya dilakukan sewa satelit oleh Kemenhan. Padahal, Kemenhan tidak menganggarkan hal itu. ”Kan, tidak ada anggaran, kenapa direncanakan,” kata Supardi.
Terhadap perkara tersebut, Kejagung telah mengeluarkan surat perintah penyidikan mulai 14 Januari 2022. Febrie memastikan bahwa perkara tersebut diprioritaskan untuk segera dituntaskan.
Kemenkominfo mendukung
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mendukung langkah Kejagung mengusut kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan Slot Satelit Orbit 123 Bujur Timur atau Satelit Komunikasi Pertahanan. ”Sangat mendukung agar dapat diselesaikan secara menyeluruh dan tuntas. Izin pemanfaatan satelit yang dipercayakan melalui WRC meeting-International Telecommunication Union (ITU) harus dapat dilakukan dengan tata kelola yang baik,” katanya.
Kamis kemarin, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, kasus dugaan korupsi itu bermula pada 2015 saat Slot Orbit 123 Bujur Timur kosong. Kekosongan terjadi setelah Satelit Garuda-1 milik sebuah perusahaan swasta nasional keluar dari Orbit 123. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang mendapat hak pengelolaan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain.
Untuk mengisi kekosongan Slot Orbit 123, Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapat hak pengelolaan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan. Pengelolaan slot orbit kemudian dialihkan ke Kemenhan meski tidak ada dasar hukumnya.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf berpandangan, jika memang sudah mendapatkan restu dari Presiden untuk mengusut kasus korupsi Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan), Kejagung harus serius untuk menuntaskannya. Araf menduga kasus korupsi Satkomhan baru dibuka sekarang karena negara tidak mau pusing membayar gugatan perdata dari pihak ketiga yang jumlahnya hingga ratusan miliar.
”Mengungkap skandal proyek pengelolaan satelit di lingkungan militer atau Kementerian Pertahanan bukanlah hal yang mudah. Secara normatif, ada hambatan dari sisi yurisdiksi UU TNI ataupun UU Peradilan Militer. Namun, jika Kejagung bisa menjelaskan bahwa kasus korupsi adalah lex spesialis, hambatan itu bisa dilewati,” paparnya.
Apalagi, kata Araf, saat ini Kejagung sudah memiliki Jaksa Agung Muda Pidana Militer yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan. Dengan keberadaan Jampidmil itu seharusnya kasus dugaan korupsi Satkomhan bisa diungkap tuntas.
”Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas skandal ini karena terbukti telah merugikan negara ratusan miliar. Ini harus ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung secara transparan dan akuntabel,” kata Araf.
Araf yang merupakan anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan itu juga berharap ada audit terbuka terkait kerugian negara yang dialami dari proyek pengadaan Satkomhan itu. Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP harus dibuka kepada publik.
Selain itu, Kejagung juga diharapkan membuat tim khusus untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi itu. Sebab, selama ini selalu ada kendala atau hambatan ditemui ketika aparat penegak hukum akan mengungkap skandal korupsi di sektor pertahanan. Untuk mengantisipasi persoalan itu, dibutuhkan tim yang kuat dan solid.