Calon Presiden ”Endorse” Elite atau yang Di-”Endorse” Publik?
Sekjen DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menekankan, calon presiden pada Pilpres 2024 harus punya visi-misi sesuai pemerintahan Jokowi saat ini agar ada kesinambungan. Namun, pilihan Presiden tak boleh gegabah dan asal-asalan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
LITBANG KOMPAS/RFC/BES
Grafis 1. Elektabilitas Calon Presiden dan Wakil Presiden di Provinsi Banten
Pemilihan Presiden 2024 masih sekitar dua tahun lagi, tetapi wacana tentang konstelasi menuju suksesi telah memenuhi berbagai ruang publik. Partai politik yang akan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pun mulai melempar kriteria-kriteria kandidat yang akan diusung mendatang. Sementara sejumlah calon mulai ”berjualan” dirinya dengan berbagai cara dan wacana.
Tak terkecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), parpol pemenang Pemilu 2019 yang berhasil membawa Presiden Joko Widodo menjadi presiden selama dua periode itu melempar kriteria tersendiri. Hasil Pemilu 2019 yang mencatat sekitar 21 persen suara lebih yang diperoleh dengan catatan 128 kursi di DPR, PDI-P memang tercatat satu-satunya partai yang sudah mengantongi ”tiket” untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sendiri.
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menekankan, calon presiden yang akan diusung pada Pilpres 2024 harus memiliki visi-misi sesuai dengan pemerintahan Presiden Jokowi saat ini agar ada kesinambungan pemerintahan saat pergantian presiden pada 2024. Karena itu, pemilihan calon presiden tidak bisa asal-asalan, tetapi harus memiliki orientasi yang sama dengan Presiden Jokowi.
”Kita ingin ada kesinambungan dengan pemerintahan Pak Jokowi sehingga Pak Jokowi juga memberikan masukan-masukan kepada Ibu Ketua Umum agar arah ke depan pemerintahan ini senapas. Kalau Pak Jokowi menetapkan koridor-koridor strategis melalui pembangunan infrastruktur dan melalui revolusi mental, maka presiden yang akan datang juga harus dalam satu napas itu,” ujar Hasto seusai acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun Ke-49 PDI-P, Senin (10/1/2022).
Kita ingin ada kesinambungan dengan pemerintahan Pak Jokowi sehingga Pak Jokowi juga memberikan masukan-masukan kepada Ibu Ketua Umum agar arah ke depan pemerintahan ini senapas. Kalau Pak Jokowi menetapkan koridor-koridor strategis melalui pembangunan infrastruktur dan melalui revolusi mental, maka presiden yang akan datang juga harus dalam satu napas itu.
Presiden Jokowi sendiri, saat menerima Tim Litbang Kompas yang memaparkan hasil survei Kompas di Istana Merdeka, pada awal Mei 2021, pernah menyatakan kelemahan dari setiap suksesi kepemimpinan selama ini adalah tidak adanya keberlanjutan program dan kebijakan. Karena itu, menurut Jokowi, penting pada 2024 dimulainya keberlanjutan program dan kebijakan yang baik dan strategis dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan baru. ”Jadi, presiden baru tidak selalu memulai dari nol kembali untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” ujarnya. Presiden saat itu menunjuk siapa pun sebagai calon yang bisa meneruskan program-prgramnya (Kompas, 5 Mei 2021).
Respons beragam
Pernyataan itu ditanggapi beragam oleh partai pendukung pemerintahan dan partai nonpendukung pemerintahan. Partai Nasdem sebagai parpol pendukung Jokowi sejak Pilpres 2014 pun menegaskan komitmennya untuk mengusung capres yang mampu menjaga kontinuitas pembangunan yang sudah diawali dan berhasil sukses dilakukan Presiden Jokowi. Itu menjadi wujud soliditas koalisi yang sudah berlangsung selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi.
”Nasdem secara kontinu berbicara dengan presiden untuk menghasilkan pemimpin yang mampu melaksanakan kontinuitas pembangunan nasional,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Siapa Capres Pilihan Jokowi?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (12/1/2022) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut dihadiri secara langsung Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. Sementara Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra hadir secara virtual.
Johnny mengatakan, dalam Pilpres 2024 Nasdem berbeda dengan PDI-P yang sudah memiliki tiket untuk mengusung capres sendiri. Namun PDI-P dan Nasdem mempunyai kepentingan yang sama untuk menghasilkan presiden yang mampu melanjutkan kesinambungan program-program yang saat ini sedang dilakukan Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu, konvensi capres 2024 akan dilakukan berbasis akademik yang baik, elektabilitas, dan kompetensi. Cara ini dilakukan agar mendapatkan kandidat yang bisa melanjutkan program-program Presiden Jokowi selama lebih dari tujuh tahun terakhir. Penyampaian konfigurasi pasangan capres-cawapres pun masih terlalu dini karena peta politik masih dinamis. ”Intinya, jalan ke Roma banyak, tapi tujuan kami sama ke Roma,” katanya.
Intinya, jalan ke Roma banyak, tapi tujuan kami sama ke Roma.
Ferry pun mengakui, Presiden Jokowi menjadi salah satu faktor penting bagi Gerindra dalam memilih capres. Adapun Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang kini menjadi Menteri Pertahanan di kabinet pun menjadi prioritas karena sebagai orang dalam pemerintahan Presiden Jokowi dinilai mampu melanjutkan kesinambungan, bahkan menjadikan pemerintahan lebih baik. Apalagi dalam berbagai survei capres, elektabilitas Prabowo selalu tinggi.
Ia mengatakan, Prabowo sebagai Menhan saat ini terus fokus dan berkonsentrasi menjalankan tugasnya. Gerindra pun belum membicarakan parpol koalisi karena peta politik waktu dua tahun tersisa masih sangat dinamis. ”Gerindra terbuka, dan ketika Pak Prabowo elektabilitasnya tinggi akan memudahkan kami mendapatkan dukungan dari parpol lain. Bagi Gerindra, sepanjang Pak Prabowo mau, akan menjadi prioritas,” ucap Ferry.
Menurut Herzaky, waktu sekitar 2,5 tahun jelang Pilpres 2024 masih memiliki peluang untuk memunculkan kejutan-kejutan, seperti halnya pada Pilpres 2014. Tokoh-tokoh yang saat ini memiliki elektabilitas tinggi bisa saja menurun, begitu pula sebaliknya masih bisa muncul tokoh-tokoh baru yang elektabilitasnya bisa melejit.
Namun itu sangat bisa terjadi jika ambang batas pencalonan presiden 20 persen berkurang. Sebab aturan itu dinilai menghambat munculnya tokoh-tokoh baru yang bisa memberikan harapan kepada rakyat. ”Ada faktor momentum dan tiket yang sangat menentukan konstelasi Pilpres 2024,” katanya.
Sekalipun Presiden Jokowi menjadi salah satu kingmaker dalam menentukan capres 2024, Demokrat menyoroti kemerosotan demokrasi dan pembuatan kebijakan berbasis ”viral” yang akhir-akhir ini terjadi. Sedangkan hal yang diapresiasi dan mesti diteruskan adalah upaya Presiden Jokowi dalam bertindak dan memangkas birokrasi.
Tak gegabah
Kalau kita lihat dari data, publik lebih menentukan ketimbang endorsement elite. Jadi kalau misalkan elektabilitas tinggi, kemungkinan besar untuk didukung Presiden Jokowi juga tinggi.
Burhanuddin menilai Presiden Jokowi tidak akan gegabah dalam menentukan capres pilihannya. Waktu saat ini masih terlalu dini karena bagaimanapun situasi masih sangat cair karena bagaimanapun konstelasi di tingkat elite dan dukungan publik masih cair. Dua hal, yakni momentum dan turbulensi, biasanya yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin nasional.
”Kalau kita lihat dari data, publik lebih menentukan ketimbang endorsement elite. Jadi kalau misalkan elektabilitas tinggi, kemungkinan besar untuk didukung Presiden Jokowi juga tinggi,” katanya.
Faktor Presiden Jokowi dalam menentukan konstelasi Pilpres 2024, lanjut Burhanuddin, sangat bergantung pada tiga hal. Pertama, Presiden Jokowi mesti mampu mempertahankan tingkat penerimaan publik. Merujuk data Political Intelligence Global Leaders Approval Rating yang dirilis Januari 2022, tingkat penerimaan publik Presiden Jokowi sebesar 71,4 persen atau berada pada nomor dua di bawah Perdana Menteri India Narendra Modi di antara 13 negara demokrasi dunia.
Faktor kedua ditentukan jumlah pasangan capres-cawapres yang akan berkontestasi tidak lebih dari tiga. Jika uji materi atas ambang batas pencalonan presiden di Mahkamah Konstitusi dikabulkan, akan membuka kotak pandora karena capres bisa lebih dari tiga pasang sehingga posisinya sebagai kingmaker berkurang. Adapun faktor ketiga bergantung pada ada tidaknya tokoh yang elektabilitasnya dominan.
”Kalau tiga hal ini terjadi, tingkat penerimaan tinggi, ambang batas pencalonan presiden tetap 20 persen, dan tidak ada capres yang dominan, maka Presiden Jokowi betul-betul menjadi kingmaker. Tetapi kalau tiga hal itu tidak terjadi, posisi sebagai kingmaker menjadi berkurang,” kata Burhanuddin.
Sekalipun beberapa parpol mengaku mendukung capres yang bisa memastikan kesinambungan pemerintahan Presiden Jokowi, dalam tataran abstrak mungkin bisa bertemu. Namun dalam konteks pilpres dan pileg dengan efek ekor jas, kesamaan visi yang abstrak itu tidak cukup karena perlu mencari orang yang bisa dianggap memenuhi kesinambungan visi. ”Ketika bicara pada orang per orang, bisa jadi berbeda di antara koalisi yang akhirnya dibangun,” katanya.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berkampanye untuk Jokowi-Ma’ruf di Lapangan drh Soepardi di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (13/4/2019).