Pemerintah Jelaskan Konsep Otorita di RUU Ibu Kota Negara
Konsep otorita sebagai bentuk pemerintahan di ibu kota negara yang baru seperti tertuang di RUU Ibu Kota Negara diperdebatkan oleh anggota Pansus RUU IKN DPR. Sebagian menilai konsep itu tak dikenal di konstitusi.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai konsep otorita yang ada di dalam draf Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, bentuk pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintah daerah khusus, sedangkan otorita yang dimaksudkan di dalam draf itu merujuk kepada bentuk pemerintahan yang sama tersebut.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menerangkan posisi pemerintah tersebut di dalam Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN), Kamis (13/1/2021), di Jakarta. Pemerintah diundang hadir untuk memberikan tanggapannya atas empat persoalan substansial yang belum tuntas dibahas di dalam panitia kerja (panja) yang dibentuk oleh Pansus RUU IKN dalam pembahasan RUU inisiatif pemerintah tersebut.
Pada Rabu malam, tim perumus dan tim sinkronisasi bentukan panja telah menyerahkan laporan kerja kepada panja. Ada empat kluster persoalan ditambah dengan pasal-pasal tertentu yang relevan yang akhirnya dikembalikan pembahasannya kepada panja karena dipandang sebagai bagian dari hal-hal substansial yang harus dibahas oleh panja.
Empat persoalan yang dikembalikan kepada panja ialah bentuk pemerintahan yang menyangkut otorita, pertanahan, pendanaan atau penganggaran, dan rencana induk (master plan). Di dalam rapat tim perumus dan tim sinkronisasi, khusus terkait dengan otorita, muncul perdebatan di antara anggota DPR karena bentuk pemerintahan semacam itu tidak diatur di dalam konstitusi.
Ketua Panja RUU IKN Saan Mustopa mengatakan, karena tidak ada di dalam konstitusi, panja menyepakati bentuk pemerintahan IKN ialah pemerintahan daerah khusus IKN. Bagaimana kekhususan dari daerah IKN itu akan diatur kemudian di dalam substansi RUU IKN.
Menanggapi polemik mengenai otorita, Suharso mengatakan, pemerintah melandaskan usulan itu pada Pasal 18 dan Pasal 18 B UUD 1945. Di dalam pasal itu diatur mengenai adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan UU. Dengan mendasarkan terhadap pengakuan pada satuan-satuan pemda yang khusus atau istimewa itu, otorita merujuk pada konsep tersebut.
”Jadi, satuan-satuan pemda inilah yang kita coba adopsi ke dalam RUU IKN ini,” katanya.
Adapun kekhususan dari satuan pemda yang dimaksud meliputi kewenangan mengelola urusan pemerintahan sendiri, tetapi tanpa DPRD. Kepala satuan pemda itu juga tidak disebut dengan gubernur atau wali kota/bupati dan tidak juga dipilih, serta menjalankan otonomi seluas-luasnya tetapi terbatas.
Dengan mengikuti Pasal 18 UUD 945, lanjut Suharso, bentuk pemerintahan IKN adalah pemerintahan daerah khusus ibu kota setingkat provinsi, yang selanjutnya disebut otorita. ”Jadi, otorita is just a name dari pemerintahan daerah khusus ibu kota setingkat provinsi,” kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Melalui persetujuan DPR
Isu lainnya adalah mengenai pendanaan IKN, Suharso mengatakan, pengaturannya akan mengikuti rezim UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan merujuk pada kedua UU itu, maka kepala otorita adalah kuasa pengguna anggaran dan barang.
”Dari situ jelas posisinya dan partnernya dalam penyusunan anggaran itu adalah DPR. Jadi, nanti pembahasannya mengikuti siklus di APBN,” katanya.
Suharso mengatakan, selain dari pendanaan negara, pemerintah juga memberikan jaminan agar pembangunan IKN itu tidak berhenti di tengah jalan dengan membuka berbagai skema pembiayaan.
Adapun soal substansi kluster pertanahan, Suharso mengembalikannya kepada UU Pertanahan.
Mengenai rencana induk, pemerintah menyusun dengan konsep dan desain umum. Adapun untuk teknis rencana induk pembangunan IKN akan dituangkan ke dalam peraturan yang lebih teknis. Peraturan teknis itu sebaiknya dituangkan dalam bentuk peraturan presiden (perpres).
Mengenai empat persoalan ini, Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia Tandjung ada beberapa pemikiran yang berbeda dengan DPR. Pertama, soal istilah otorita masih ada yang mempersoalkan karena tidak ditegaskan di dalam konstitusi. Hal lainnya ialah mengenai rencana induk (master plan), yang oleh DPR diusulkan agar disusun setara dengan UU, atau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari UU IKN.
Atas jawaban pemerintah itu, masing-masing fraksi diberi waktu untuk menyusun tanggapan dalam pembahasan panja berikutnya, Senin depan, di Jakarta. Saan mengatakan, jika sesuai dengan jadwal, RUU IKN itu dapat disahkan pada Januari ini.