Identitas digital akan membuat masyarakat lebih mudah dan hemat membuat identitas atau KTP. Hanya saja amanat UU Administrasi Kependudukan perlu diperhatikan, juga sistem pengamanannya, apalagi kian marak peretasan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang penyandang disabilitas saat menjalani perekaman untuk pembuatan KTP elektronik di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (25/2/2021).
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri berinovasi dengan meluncurkan identitas digital yang merupakan representasi penduduk ke dalam aplikasi digital. Identitas digital melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk dan memastikan identitas tersebut merupakan orang yang bersangkutan selain sederet keuntungan lainnya.
Melalui akun Youtube pribadinya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan tentang pembuatan identitas digital. Untuk memiliki identitas digital, orang tersebut harus memiliki telepon pintar. Selain itu, di daerahnya harus ada jaringan internet dan bisa menggunakan teknologi.
Oleh karena itu, Dukcapil memberikan pelayanan pembuatan identitas digital secara bertahap. Mulai 2021, identitas digital mulai diuji coba di 50 kabupaten/kota.
”Yang belum punya handphone, belum punya jaringan tetap kami layani dengan bentuk fisik. Pelayanan manual seperti sekarang ini. Oleh karena itu, penerapan identitas digital ini dilakukan secara bertahap,” kata Zudan, beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh.
Dukcapil tetap memberikan layanan dengan dua jalur, yakni digital dan manual. Adapun untuk penerapan identitas digital, setelah instalasi aplikasi Digital ID, pengguna harus melakukan registrasi dengan memasukkan nomor induk kependudukan (NIK), alamat e-mail, dan nomor telepon genggam.
Setelah itu, pengguna diminta melakukan verifikasi data melalui pengenalan wajah dan verifikasi lewat e-mail supaya bisa masuk di aplikasi. Adapun menu utama yang ada di dalam identitas digital ialah data keluarga, dokumen kependudukan, dan dokumen lainnya hasil integrasi NIK. Di dalam aplikasi tersebut juga ditampilkan kode QR identitas digital, biodata, dan aktivitas yang sudah dilakukan.
”Saat ini aplikasinya masih kami pakai secara terbatas untuk uji coba. Untuk yang akan datang, ada di Playstore dan Appstore,” ujar Zudan.
Dengan penerapan identitas digital, masyarakat akan lebih mudah, cepat, dan murah dalam membuat kartu tanda penduduk (KTP). Tak hanya itu, identitas digital disebut akan mempermudah dan mempercepat transaksi pelayanan publik atau privat dalam bentuk digital. Yang tak kalah penting, pengamanan identitas digital melalui sistem autentifikasi bisa mencegah pemalsuan data.
Proteksi data lemah
Meski demikian, penerapan identitas digital ini dinilai Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar belum tepat. Sebab, undang-undang masih memberikan mandat bahwa negara harus menerbitkan KTP. Selain itu, perlindungan data pribadi masih lemah.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar.
Ia mengungkapkan, UU Administrasi Kependudukan, baik UU Nomor 23 Tahun 2006 maupun UU No 24/2013 memberikan mandat bahwa negara harus menerbitkan KTP sebagai bukti kartu identitas dari warga negara. ”Tanpa mengubah undang-undang, negara masih berkewajiban untuk menerbitkan KTP,” kata Wahyudi.
Terkait dengan proteksi data, lanjut Wahyudi, mengacu pada pengembangan sistem digital identitas Indonesia terutama pascaimplementasi dari UU Administrasi Kependudukan, belum ada roadmap yang terintegrasi dengan memastikan adanya pengamanan dari setiap inovasi yang dilakukan oleh Kemendagri, termasuk salah satunya perlindungan data.
Meskipun di dalam UU Administrasi Kependudukan sudah disinggung perihal perlindungan data pribadi, hal itu belum komprehensif. Bahkan, ada masalah dalam kualifikasi data pribadi terutama terkait dengan data kependudukan. Jika mengacu pada Pasal 58 UU Administrasi Kependudukan, ada 31 jenis data kependudukan yang masuk kualifikasi sebagai data pribadi yang harus dilindungi.
”Mengacu pada ketentuan Pasal 84 (UU Administrasi Kependudukan) itu, kan, terbatas sekali hanya terkait dengan data sidik jari, retina mata, lalu tanda tangan. Data terkait kesehatan fisik dan mental, lalu data terkait dengan aib seseorang. Hanya itu. Artinya tidak ada penerapan prinsip perlindungan data pribadi terhadap jenis data di luar daftar data tersebut,” kata Wahyudi.
DOK. KOMPAS
Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, sependapat dengan Wahyudi. Persoalan yang perlu diantisipasi dengan peralihan menjadi KTP digital ini ialah perlidungan data pribadi. Ini akan semakin sulit karena sampai hari ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi pun tak kunjung usai pembahasannya oleh pemerintah bersama dengan DPR.
”Nah, RUU itu harus selesai terlebih dahulu. Nanti kalau ada dispute, data publik bocor, lalu bagaimana nasib publik?” katanya.
Apalagi, belum lama ini, ramai diberitakan terjadi kebocoran data catatan medis pasien di sejumlah rumah sakit di Indonesia berukuran 720 gigabita dan 6 juta basis data dijual dalam situs forum peretas, Raidforums.
Tak cukup soal itu, situasi keamanan siber di Indonesia juga masih sangat rentan disusupi peretas. Terakhir, serangan siber menyasar jaringan internal Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kepolisian Negara RI (Polri). Ironisnya, dalam kasus peretasan pada jaringan internal Polri, pelaku sampai menjual data personel Polri lewat media sosial dan situs gratis. Pelaku hingga kini pun tak kunjung terungkap.
”Jadi, maksud saya, apa pun peralatannya, Dukcapil harus dijaga 24 jam karena hacker, kan, bisa meretas kapan pun,” ucap Agus.
Ia pun mengingatkan agar peralihan digital ini diimplementasikan sungguh-sungguh oleh Kemendagri. Sebab, ia melihat, sebenarnya jika bicara soal peralihan digital, itu sudah terjadi dengan adanya KTP elektronik sekarang. Ironisnya, meski sudah beralih ke KTP-el, ternyata publik masih sering diminta memfotokopi KTP-el untuk kebutuhan pelayanan publik.
Ia berharap pula, dengan peralihan ke digital ini, semua data berkaitan dengan dokumen kependudukan, kartu jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain dapat terintegrasi ke dalam satu aplikasi. Dengan begitu, masyarakat juga semakin dimudahkan.
”Namanya juga single identity number, kan. Jadi, semua data ada dalam satu aplikasi saja. Namun, ya itu, semua harus disiapkan, ekosistemnya, produk hukumnya, hingga keamanan sibernya. Jangan sampai malah jadi peralihan setengah hati, enggak ada gunanya. Mendingan enggak usah sama sekali,” tutur Agus.