Investor Menunggu, Pembahasan RUU Ibu Kota Negara Dipercepat
Alasan di balik percepatan pembahasan RUU Ibu Kota Negara oleh pemerintah dan DPR dinilai mencerminkan prinsip kekuasaan yang tak lagi dibatasi hukum. Hukum sebatas alat untuk melegitimasi yang diinginkan penguasa.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara dilakukan karena sudah ada investor di lokasi ibu kota negara yang menunggu kepastian dasar hukum pemindahan ibu kota. Situasi ini dikhawatirkan akan menjadikan regulasi tersebut sebatas alat legitimasi bagi kepentingan kekuasaan, dan tidak menjadikan undang-undang sebagai panduan implementasi di lapangan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Ibu Kota Negara DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, DPR memahami urgensi pentingnya UU ini bisa segera diundangkan karena adanya kebutuhan dasar hukum bagi investor dan pengusaha yang telah menyatakan kesediaannya membangun infrastruktur di lokasi ibu kota negara.
Saat ini telah ada investor dan pihak swasta yang tertarik membangun di lokasi ibu kota negara. Untuk memberikan kepastian kepada mereka dalam mengeksekusi proyek pembangunan dan pemindahan ibu kota, investor memerlukan dasar hukum, yakni berupa UU.
”Karena dari awal, pansus sudah mengingatkan agar pemindahan ibu kota negara ini jangan membebani APBN. Jangan sampai ini menjadi beban yang terlalu besar bagi masyarakat. Kalau APBN terlalu dibebani, dampaknya akan beralih pada pembiayaan program lain yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Karena itu, perlu dicari skema yang lain. Pemerintah sudah punya beberapa skema, termasuk membangun kerja sama dengan pihak ketiga, swasta nasional, atau investor dari luar, dan sebagainya,” kata Doli, Rabu (12/1/2022) di Jakarta.
Sejauh pengamatan DPR, pemerintah telah menjalin komunikasi dengan investor tersebut, mereka telah memberikan respons positif.
”Mereka mau dan ingin terlibat, tetapi syaratnya satu, harus ada kepastian hukum dulu. Kepastian hukum itu adalah UU. Jadi, kami tidak mungkin bicara kepastian lainnya kalau landasan hukumnya belum selesai,” ucapnya.
Karena situasi itulah, menurut Doli, mengapa pemerintah berkepentingan mendorong agar RUU itu segera selesai. ”Kami memahami itu, dan bekerja dengan konsentrasi tinggi agar RUU ini segera selesai. Tetapi, juga tidak menafikan semua prosedur dan tata tertib formal dan materiil yang semua harus dilalui,” ujar Wakil Ketua Umum Golkar ini.
Pengesahan RUU Ibu Kota Negara akan menjadi langkah awal untuk ke tahap selanjutnya dalam pembangunan dan pemindahan ibu kota. Selain itu, Doli menekankan RUU Ibu Kota Negara ini baru landasan hukum besarnya, tetapi bagaimana UU itu diterapkan masih harus dirinci di dalam rencana induk (masterplan) pembangunan ibu kota negara. DPR dan pemerintah sudah menyepakati di awal bahwa rencana induk itu harus mendapatkan persetujuan DPR karena akan diatur setara dengan UU, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari UU Ibu Kota Negara.
Atur kekhususan
Mengenai polemik bentuk pemerintahan, dan status kepala daerah ibu kota negara, Doli mengatakan akan diatur rinci kekhususannya di dalam RUU Ibu Kota Negara.
”Kalau di konstitusi kan diatur ada pemerintahan pusat di republik ini, selain juga ada pemerintahan daerah di kabupaten/kota, dan provinsi. Ada pula pemerintahan daerah khusus dan pemerintahan daerah istimewa. Nah, ini disepakati pemda khusus ibu kota negara, tetapi kekhususannya nanti akan diatur di dalam UU ini,” katanya.
Pada Rabu (12/1/2022), tim perumus dan tim sinkronisasi RUU Ibu Kota Negara mengembalikan hasil kerja mereka kepada Panitia Kerja RUU Ibu Kota Negara. Masih ada empat persoalan substansial yang belum tuntas dibahas. Empat hal itu merupakan inti dari pembahasan RUU Ibu Kota Negara karena menyangkut bentuk pemerintahan, pembiayaan, pertanahan, dan representasi politik.
”Di dalam rapat tim perumus dan tim sinkronisasi masih ditemukan beberapa hal substansial yang belum disepakati bersama. Beberapa di antaranya soal bentuk pemerintahan, penganggaran atau pembiayaan, dan pertanahan. Isu-isu substansial itu akan ditarik lagi ke panja, dan dibahas mendalam,” ujar Doli.
Pemerintah telah memberikan penjelasan terkait dengan isu-isu substansial tersebut di dalam rapat tim perumus dan tim sinkronisasi, Selasa malam. Selanjutnya, panja setelah menerima laporan tim perumus dan tim sinkronisasi akan mendengarkan pendapat masing-masing fraksi di DPR, terutama yang menyangkut isu-isu substansial itu. Setelah tuntas di tingkat panja, selanjutnya pembahasan RUU itu akan ditarik kembali ke tingkat rapat pleno Pansus RUU Ibu Kota Negara.
”Kalau bisa disepakati cepat, kemungkinan besok (Kamis) dibawa ke pansus,” kata Doli, yang juga Ketua Komisi II DPR.
Meski masih ada persoalan substansial mengenai bentuk pemerintahan, pertanahan, pembiayaan, dan representasi politik di ibu kota negara yang belum disepakati, Doli tetap meyakini RUU itu bisa disahkan pada Januari ini.
Prinsip negara hukum
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, makna pembentukan UU di dalam proses pembahasan RUU Ibu Kota Negara ini cenderung menjadi defisit, atau sekadar menjadi stempel dari kepentingan pemerintah saja, karena implementasinya yang jauh dari prinsip negara hukum.
”Undang-undangnya belum ada, tetapi implementasi sudah ada. Sudah ada tim pembentukan ibu kota negara, sudah ada investor yang menentukan pembiayaannya. Padahal, UU yang mengizinkan konsensus utamanya belum ada. Jadi, nilai UU itu begitu defisit sebagai dasar hukum ibu kota negara ini,” katanya.
Seharusnya wacana, konsensus, dan diskursus dibangun terlebih dulu di dalam pembentukan UU. Baru setelah itu dibentuk tim khusus untuk persiapan pembangunan, analisis anggaran, dan implementasi di lapangan dengan melandaskan diri pada apa yang ditentukan di dalam UU. Akan tetapi, kesannya proses ini tidak terjadi di dalam penyusunan dan pembahasan RUU Ibu Kota Negara.
”Di sinilah posisi UU hanya sebagai stmpel, dan tidak terselenggaranya fungsi check and balances antara pemerintah dan DPR. Ketika Presiden katakan Januari selesai, seakan sudah tidak ada jalan lain. Seharusnya DPR menyikapi secara kritis hal itu. Kalau konsepnya tidak bulat, kenapa harus buru-buru,” ujarnya.
Menanggapi alasan percepatan RUU Ibu Kota Negara untuk memberikan dasar hukum bagi investor ibu kota negara, pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengingatkan, hukum atau UU adalah alat pembatas bagi kekuasaan.
”Kita memilih menjadi negara hukum dan menuangkan di dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, karena tidak ingin menjadi negara kekuasaan, di mana kekuasaan mengatasi hukum. Dalam negara kekuasaan bukan tidak ada hukum. Hukum tetap ada, tetapi dia tidak lagi menjadi pembatas bagi jalannya kekuasaan, tetapi sekedar formalitas aja,” katanya.
Fenomena pembahasan RUU Ibu Kota Negara yang antara lain dipercepat untuk memenuhi dasar hukum bagi investor, menurut Fahmi, mencerminkan prinsip kekuasaan yang tidak lagi dibatasi hukum. Hukum cenderung sebatas alat untuk melegitimasi apa yang diinginkan penguasa.