Perbaikan Demokrasi Tingkatkan Kepercayaan Publik kepada Presiden
Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi bergerak naik. Namun, jika pemerintah tak peduli dengan isu perbaikan demokrasi, kepercayaan publik bisa meluntur.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan publik terhadap Presiden Joko Widodo terus meningkat karena pemerintah dianggap berhasil dalam menangani pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional. Namun, tingkat kepercayaan ini rentan tereduksi apabila pemerintah tidak segera memperbaiki indeks demokrasi yang kian merosot.
Berdasarkan survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia, akhir pekan lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi bergerak naik. Pada Desember 2021, tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi mencapai 71 persen. Angka tersebut meningkat tajam dibandingkan pada Juni 2021 sebesar 59 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, peningkatan kepercayaan publik itu menjadi modal yang kuat bagi Presiden dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi Tanah Air. Sebab, tanpa kepercayaan publik yang tinggi itu, publik akan menyangsikan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
”Karena kalau trust publik rendah, jangankan kebijakan buruk, kebijakan baik saja tidak dipercaya masyarakat,” ujar Burhanuddin dalam diskusi bertema ”Menatap Masa Depan Indonesia: Refleksi 2021 dan Proyeksi 2022”, di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Diskusi yang digelar oleh Pimpinan Pusat Kolektif (PKK) Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 ini dihadiri oleh Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, Ketua Dewan Penasihat Golkar yang juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, serta Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Beberapa narasumber yang ikut mengisi diskusi, di antaranya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya, dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Burhanuddin melanjutkan, peningkatan kepercayaan publik terhadap Presiden dilandasi salah satunya perbaikan kondisi ekonomi di tengah pandemi. Ini terbukti Indonesia bisa terlepas dari resesi ekonomi. Perekonomian Indonesia juga mampu tumbuh meski varian Delta melanda Indonesia.
Namun, ia mengingatkan, tingkat kepercayaan publik kepada Presiden ini sangat rentan merosot jika pemerintah tidak peduli dengan isu perbaikan indeks demokrasi Indonesia. Apalagi, dalam laporan indeks demokrasi yang dirilis The Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia berada pada titik terendah dalam 14 tahun terakhir.
”Kalau approval rating mau naik, isunya tidak bisa lagi hanya menangani ekonomi semata, tetapi harus juga bagaimana menaikkan isu demokrasi. Ini akan menjadi kesempatan emas bagi Presiden Jokowi kalau mau meninggalkan legacy pada 2024 nanti,” ujar Burhanuddin.
Pembelahan masyarakat
Dedi Prasetyo menyadari, perbaikan demokrasi menjadi kunci penting yang harus dijaga. Apalagi, menjelang pesta demokrasi pada 2024 nanti, ia meyakini, tantangan itu akan semakin berat. ”Ini masih beberapa tahun lagi saja, tantangan itu mulai terasa,” katanya.
Sejumlah isu yang berkembang di media sosial seperti perang informasi, perang survei, politik identitas, kampanye hitam, dan hoaks. Semua isu itu semakin meningkat seiring dengan peningkatan pengguna aktif media sosial.
Namun, pada prinsipnya, lanjut Dedi, Polri akan berusaha untuk mengantisipasi berbagai tantangan demokrasi tersebut. Misalnya, memberikan edukasi dan literasi kepada warga agar tidak mudah terprovokasi dengan berita hoaks. ”Jangan sampai bangsa ini terpecah belah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ucapnya.
Budiman Tanuredjo menyebut, sebenarnya, sejak sekarang, preferensi pilihan orang sudah bisa dibaca oleh platform digital, seperti Instagram, TikTok, Youtube, dan Facebook. Dengan kemampuan artificial intelligence, kecenderungan preferensi pilihan orang itu sudah terbaca. Dampaknya, algoritma yang dibangun oleh platform tadi akan semakin mempertajam polarisasi atau pembelahan di tingkat masyarakat, minimal di dunia virtual.
”Ini harus diantisipasi. Platform tadi itu tidak akan di tengah, tetapi kiri atau kanan. Ini yang akan menjadi pembelahan di virtual,” ujar Budiman.
Di tengah potensi pembelahan masyarakat itu, Budiman mengingatkan pentingnya komunikasi. Pemerintah, misalnya, jika ingin menyampaikan informasi, harus dibarengi konteks dan latar belakang. Informasi tersebut disampaikan oleh juru bicara pemerintah yang kredibel, otoritatif, dan memiliki rekam jejak yang baik.
”Perubahan kebijakan (pemerintah) sangat bisa dimaklumi kalau ada konteks yang disampaikan. Namun, ketika sebuah kebijakan dilempar, belum sampai orang memahami persoalan dan berubah lagi (kebijakannya), yang terjadi antipati dan krisis (kepercayaan). Siapa pun bisa kena. Ini harus dibenahi,” kata Budiman.
Airlangga Hartarto menyampaikan, stabilitas politik penting dijaga agar penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan dengan baik. Ini terbukti di mana stabilitas politik selama dua tahun terakhir ikut menopang keberhasilan pemerintah dalam membuat kebijakan terkait penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
”Kita harapkan politik terus stabil sehingga ekonomi bisa terus tumbuh dan ini yang ingin dilihat negara-negara dunia, Indonesia memberi solusi pada pandemi, perang dagang, dan keamanan Indo-Pasific,” kata Airlangga.