Soedjatmoko adalah sosok pemikir Indonesia di masa awal kemerdekaan. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai diplomat ulung. Namun, tak hanya itu. Model pembangunan menyeluruh yang ditawarkannya, populer di dunia.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
Pembangunan kerap dimaknai secara sempit. Angka pertumbuhan ekonomi semata yang dianggap sebagai acuan. Semestinya, pembangunan betul-betul menyeluruh pada sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, serta memakmurkan masyarakat.
Pemikiran tersebut dituangkan di akhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I Orde Baru. Saat itu, kata Ismid Hadad, pendiri Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pembangunan diartikan secara sempit dengan mengejar angka pertumbuhan ekonomi, menekan angka inflasi, ataupun angka ekspor tinggi.
Kenyataannya, ketidakpuasan tinggi. Gejolak sosial politik muncul. Kritik-kritik mahasiswa dan masyarakat sipil direpresi.
Karena itu, menurut Ismid Hadad, dalam diskusi ”Membaca Soedjatmoko dan Peluncuran Rangkaian Kegiatan 1 Tahun, Mengenang Peninggalan Karya Intelektual Soedjatmoko”, Senin (10/1/2022), Soedjatmoko melawan pemikiran tersebut.
Angka-angka terkait pertumbuhan ekonomi hanyalah tanda-tanda luar yang tidak menyentuh dinamika yang menggerakkan dan proses yang menjadikan pembangunan sebagai kemakmuran yang sesungguhnya.
Pemikiran ini, lanjut Ismid Hadad, diangkat sebagai tema edisi perdana Jurnal Prisma yang diterbitkan LP3ES pada 1971.
Diskusi yang berlangsung secara daring dan luring itu menghadirkan pembicara, antara lain Ketua Dewan Pengurus LP3ES Prof Didik J Rachbini, Wakil Direktur Penerbitan dan Pengembangan Ilmu LP3ES Widjanarko, Ismid Hadad, sejarawan Fachry Ali, sosiolog Ignas Kleden, pengajar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Amelia Joan Ribka, serta pengajar sejarah Universitas Airlangga Surabaya Pradipto Niwandhono.
Model pembangunan seperti dipikirkan Soedjatmoko ini, tambah Ismid, kemudian menjadi model yang banyak dipopulerkan di dunia, seperti MDGs, SDGs, dan integrated development.
Pembangunan ekonomi yang hanya diukur dari pendapatan per kapita sebagai pemikiran dangkal dan sangat teknis dalam penilaian Soedjatmoko juga disampaikan Ignas Kleden. Justru, katanya, yang lebih rumit adalah social engineering, usaha secara politik untuk memengaruhi semua institusi sosial sehingga kegiatan lembaga-lembaga sosial dan politik tidak menghalangi pertumbuhan ekonomi tetapi justru mendorongnya.
Harapannya, pertumbuhan ekonomi betul-betul membawa perbaikan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil. Selain itu, setiap manusia harus mampu tumbuh dalam kemerdekaannya. Dengan demikian, setiap manusia harus bebeas mengambil sikap tanpa tergantung satu otoritas besar di masyarakat.
”Concern Soedjatmoko dalam semua pemikirannya adalah jangan sekali-sekali mereduksi kehidupan manusia dalam satu bentuk,” kata Ignas Kleden.
Diplomasi
Soedjatmoko adalah sosok pemikir Indonesia pada masa awal kemerdekaan, lahir 10 Januari 1922 di Sawahlunto dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Pada 1947, Soedjatmoko adalah satu dari tiga diplomat yang dikirim mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tim inilah yang meyakinkan dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan memenuhi syarat sebagai sebuah negara.
Soedjatmoko sempat menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat pada 1968 serta menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Adam Malik. Kendati demikian, sikap kritisnya tak pernah hilang.
Ketika Presiden Soekarno beralih pada demokrasi terpimpin, Soedjatmoko menolak keras kebijakan itu. Setelah gagal menolak kebijakan tersebut, Soedjatmoko kembali ke AS dan menjadi dosen di Cornell University.
Pada masa Orde Baru, kritik juga disampaikan seperti dalam konsep pembangunan yang disampaikan Ismid Hadad dan Ignas Kleden.
Mengenang 100 tahun kelahiran Soedjatmoko, tak hanya diskusi yang diselenggarakan. Ketiga putrinya, Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, dan Galuh Wandita, meluncurkan situs yang menampung lebih dari 300 tulisan Soedjatmoko hingga ia tutup usia pada 1989.
Peran Soedjatmoko dan diplomat Indonesia untuk mendorong dunia internasional mengakui Indonesia jelas tak mudah. Namun, hal ini bisa diraih. Negara-negara lain pun mengakui kemampuan para diplomat Indonesia.
Tak hanya itu, kata Amelia, Soedjatmoko adalah salah satu yang meletakkan dasar pemikiran kawasan Asia Tenggara serta posisi strategisnya kawasan.
Karena itu, Amelia mengelompokkan tulisan-tulisan dan pemikiran Soedjatmoko dalam tiga tema besar. Pertama, manusia dan hakikat pembangunan. Kedua, ilmu pengetahuan, sejarah dan masa depan. Ketiga, ranah hubungan internasional.