Mematuhi nilai-nilai konstitusional seharusnya menjadi satu-satunya pilihan. Sebab, negara ini mesti berjalan di atas kehendak konstitusi, bukan kehendak atau pandangan kelompok atau elite tertentu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga menyaksikan sidang virtual uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/11/2020). Agenda sidang hari itu masih berupa pemeriksaan pendahuluan.
MK telah mengembalikan kekuatan uji formil ke konsep dasarnya, sebagai senjata pamungkas untuk melibas undang-undang yang proses pembentukannya tak sesuai ketentuan. Diperkirakan, ke depan MK akan menerima banyak permohonan uji formil undang-undang.
Proses legislasi yang banyak diprotes beragam kalangan berimbas pula ke peradilan konstitusi ini. Banyak perkara pengujian formil yang didaftarkan, di antaranya pengujian formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 7/2020 tentang MK yang dikenal sebagai revisi undang-undang tercepat yang pernah ada karena hanya memakan waktu tiga hari pembahasan, dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja
Banyaknya pengujian formil tersebut tidak terlepas dari praktik pembuatan undang-undang secara cepat, minimnya aksesibilitas dan partipasi publik. Ada ketidakberimbangan dalam mengakomodasi kepentingan, yakni kepentingan elite politik dengan publik yang kemudian dihadap-hadapkan. Hal ini menjadi tanda bahaya otoritas kekuasaan pembentukan undang-undang yang membuka jalan bagi tumbuhnya tirani legislasi.
Tonggak sejarah dibuat MK dengan mengabulkan sebagian permohonan uji formil UU Cipta Kerja. Pada 25 November 2021, MK dalam putusannya Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa proses pembentukan UU tersebut cacat formil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah dan DPR diperintahkan untuk memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja tersebut dalam waktu dua tahun.
Tonggak sejarah dibuat MK dengan mengabulkan sebagian permohonan uji formil UU Cipta Kerja.
Putusan ini, meskipun oleh berbagai kalangan dinilai kompromistis, menjadi tonggak sejarah baru MK meluruskan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Ini merupakan putusan mengabulkan pertama dalam perkara uji formil yang dilakukan MK sejak institusi ini berdiri pada 2003.
Perkara uji formil UU Cipta Kerja hanya sebagian kecil dari permohonan pengujian yang diterima MK. Tahun 2021, ada 71 perkara pengujian undang-undang yang diregistrasi MK. Ditambah dengan sisa perkara tahun sebelumnya sebanyak 50 perkara, total perkara pengujian undang-undang yang ditangani MK adalah 121 perkara yang melibatkan 48 undang-undang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 99 perkara sudah diputus dan 22 lainnya masih dalam proses pemeriksaan. Salah satu perkara yang belum diputus adalah uji formil UU MK yang memberi keistimewaan kepada hakim konstitusi seperti perpanjangan masa jabatan hingga maksimal 15 tahun atau berumur 70 tahun. Ketentuan ini mengubah aturan sebelumnya di mana masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu periode berikutnya. Selain itu, ada pula pengujian formil UU Harmonisasi Perpajakan.
Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshidiqqie memprediksi, dengan adanya Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan UU Cipta Kerja, akan makin banyak proses pembentukan undang-undang khususnya di masa pandemi yang akan dibawa ke MK. Ia melihat hal tersebut sebagai fenomena positif agar MK tampil independen untuk mengawal konstitusi serta kualitas dan integritas demokrasi in actual action atau democracy at work.
”Ini perkembangan baru yang positif dan harus disyukuri. Apalagi tren demokrasi di dunia memang lagi turun, termasuk di Indonesia,” ujar Jimly.
Putusan MK tersebut seakan menjadi jawaban bagi situasi legislasi di mana pemerintah dan DPR memberi kesan selalu memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan aspirasi publik. Bahkan, tanpa pelibatan partisipasi publik secara maksimal. Padahal, publik menjadi pihak yang paling terdampak dari ketentuan undang-undang tersebut, seperti pada UU Cipta Kerja.
Pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengungkapkan, putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja mengembalikan kekuatan uji formil ke konsep dasarnya. Bahwa uji formil merupakan salah satu senjata pamungkas untuk mengontrol parlemen dalam proses legislasi, khususnya proses legislasi yang manipulatif dan koruptif.
Dari parameter yang disyaratkan MK, dua di antaranya adalah arti penting naskah akademik dan juga partisipasi publik yang bermakna atau meaningfull participation.
”Sebenarnya, kedua parameter itu sudah sering kali dilanggar dalam banyak proses legislasi DPR. Misalnya, dalam perubahan UU KPK ataupun perubahan UU Minerba yang sayangnya tidak dibatalkan oleh MK. Mengapa demikian (tidak dibatalkan)? Saya melihat karena kuatnya kepentingan dan daya intervensi dari oligarki,” ujar Denny.
Spanduk yang dibawa aktivis yang tergabung dalam People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka, antara lain, menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merejalela khususnya pasca-pengesahan UU Cipta Kerja. Pengesahan UU yang banyak mendapat protes dari masyarakat tersebut mereka nilai lebih banyak merugikan rakyat dibanding memberi manfaat.
Tantangan
Bagi Denny, oligarki betul-betul telah merusak kehidupan bernegara. Dalam kaitannya dengan hal ini, penting bagi MK khususnya pada tahun 2022 hingga 2024 saat pemilu dilaksanakan, untuk menghindar dari jeratan destruktif yang sangat manipulatif dan koruptif dari oligarki ini.
”MK harus kembali menegaskan prinsip independensi, kemandirian, dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Tidak boleh tergoda oleh berbagai kepentingan oligarkis yang demi melanggengkan kepentingan bisnisnya melakukan langkah-langkah yang koruptif dan destruktif, termasuk memengaruhi putusan pengadilan, tak tekecuali MK,” kata Denny.
Feri Amsari, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, memiliki pandangan berbeda. Ia menyoroti praktik legislasi pasca-putusan uji formil UU Cipta Kerja. Menurut dia, seakan tidak memetik pelajaran dari putusan MK yang sudah ada, praktik serupa diulangi pada UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan tanpa melibatkan partisipasi publik.
Feri melihat adanya pengabaian terhadap putusan MK oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut juga bisa dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran terhadap konstitusi.
Saat ini, sudah ada yang pihak yang mengajukan uji formil terhadap UU No 7/2021. Pemohon mempersoalkan metode omnibus law dalam pembentukan UU itu. Padahal, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal metode tersebut. Sebelumnya, MK pun sudah menyatakan bahwa pembentuk undang-undang tidak bisa menggunakan omnibus law sebagai jalan pintas untuk menata regulasi yang saat ini cenderung tumpang tindih dan mengalami obesitas.
Lebih jauh Feri melihat adanya pengabaian terhadap putusan MK oleh pemerintah. Pelanggaran tersebut juga bisa dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran terhadap konstitusi. Hal ini mengingat, elemen paling utama dan paling penting dalam bernegara yang dilanggar.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari
Menurut Feri, respons yang paling menyedihkan adalah sikap pemerintah dan DPR terhadap putusan MK atas UU Cipta Kerja. Sebab, kesan yang diberikan adalah hendak mematuhi putusan MK, tetapi langkah-langkah yang dilakukan bertentangan dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu. Misalnya, menyatakan menghormati putusan. Namun, kemudian terdapat instruksi Menteri Dalam Negeri kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk menjalankan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
Padahal, lanjutnya, jelas-jelas di dalam amar keenam putusan MK diperintahkan untuk kembali ke peraturan yang lama. ”Ini sama saja dengan menentang. Bahkan, ada beberapa kepala daerah yang memberlakukan peraturan yang lama dengan menaikkan UMP (upah minimum provinsi) misalnya, malah kemudian dianggap menentang pemerintah. Padahal, kepala daerah mestinya juga mematuhi putusan MK,” kata Feri.
Ia mengingatkan, mematuhi nilai-nilai konstitusional seharusnya menjadi satu-satunya pilihan. Sebab, negara ini mesti berjalan di atas kehendak konstitusi, bukan kehendak atau pandangan kelompok atau elite tertentu.
”Pembelajaran 2021 yang paling berharga adalah bagaimanapun, suka atau tidak suka, terhadap berbagai hal dalam berjalannya kehidupan ketatanegaraan, penghormatan terhadap konstitusi adalah sebuah kemestian,” ungkapnya.