Rugikan Negara Rp 2,6 Triliun, Sejumlah Mantan Pimpinan Pembiayaan Ekspor jadi Tersangka
Diduga LPEI memberikan pembiayaan tanpa prinsip tata kelola perusahaan yang baik kepada 27 perusahaan. Pemberian pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan itu berada dalam posisi macet per 31 Desember 2019.
Oleh
Nobertus Arya Dwiangga
·3 menit baca
Ilustrasi. Tersangka korupsi di Kejaksaan Agung.
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI tahun 2013-2019. Perkiraan sementara kerugian keuangan negara dari dugaan korupsi ini Rp 2,6 triliun yang berasal dari sejumlah kredit macet.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam jumpa pers daring, Kamis (6/1/2022), mengatakan, penyidik Jampidsus Kejagung telah menetapkan lima tersangka dalam perkara pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.
Kelima orang itu adalah Arif Setiawan (AS) selaku Direktur Pelaksana IV merangkap Komite Pembiayaan, selaku Direktur Pelaksana Tiga LPEI periode 2016, dan Komite Pembiayaan (Pemutus) Grup Johan Darsono; Ferry Sjaifullah (FS) selaku Kepala Divisi Pembiayaan UKM pada LPEI 2015-2018; Josef Agus Susanta (JAS) selaku Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) LPEI Surakarta periode 2016; Johan Darsono (JD) selaku Direktur PT Mount Dreams Indonesia; serta Suyono (S) selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia.
”Untuk mempercepat proses penyidikan, selanjutnya terhadap lima tersangka tersebut dilakukan penahanan, tiga orang di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung dan dua orang di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” kata Leonard.
Kasus tersebut, kata Leonard, terjadi karena LPEI dalam pembiayaan ekspor nasional telah memberikan pembiayaan kepada para debitor tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Pemberian fasilitas pembiayaan tersebut tidak sesuai dengan aturan kebijakan perkreditan LPEI. Akibatnya, terjadi peningkatan kredit macet pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen yang menyebabkan LPEI mengalami kerugian tahun berjalan per 31 Desember 2019 sebesar Rp 4,7 triliun.
Menurut Leonard, dari pemeriksaan diduga LPEI memberikan fasilitas pembiayaan tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik kepada 8 grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan. Dari laporan sistem informasi manajemen risiko pembiayaan, pemberian pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan tersebut dalam posisi macet per 31 Desember 2019.
Pemberian pembiayaan yang diduga menyebabkan kerugian keuangan negara dilakukan oleh Grup Walet dengan total pembiayaan sebesar Rp 576 miliar.
Pemberian pembiayaan yang diduga menyebabkan kerugian keuangan negara dilakukan oleh Grup Walet dengan total pembiayaan sebesar Rp 576 miliar. Tersangka terkait Grup Walet adalah Arif Setiawan, Ferry Sjaifullah, dan Suyono. Kemudian terhadap Grup Johan Darsono, total pembiayaan yang diberikan sebesar Rp 2,1 triliun. Adapun tersangka terkait Grup Johan Darsono adalah Josef Agus Susanta, Arif Setiawan dan Johan Darsono.
”Dari perhitungan sementara penyidik mengakibatkan kerugian keuangan negara, baik Grup Walet dan Grup Johan Darsono, kurang lebih sebesar Rp 2,6 triliun dan saat ini masih dilakukan perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Leonard.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, upaya kejaksaan untuk memprioritaskan penanganan kasus-kasus besar, khususnya terkait kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang besar diapresiasi. Sebab, kejaksaan memang memiliki wewenang untuk itu.
Meski demikian, Fickar mengingatkan agar kejaksaan tidak melupakan tugas pokok mereka, yaitu menjadi jaksa penuntut umum untuk semua perkara pidana, kecuali pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas. Dengan demikian, kejaksaan diharapkan tetap selektif dalam memilih kasus agar tugas pokok mereka sebagai penuntut umum tidak terpinggirkan.
”Sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk, penyelenggara negara berpikir bahwa korupsi itu harus ditangani sendiri karena yang ditangani kejaksaan sudah banyak. Di sisi lain, penanganan korupsi kadang menimbulkan korupsi juga. Maka hal itu turut mendorong pembentukan KPK,” kata Fickar.
Fickar berharap agar kejaksaan meningkatkan kerja sama dengan kepolisian. Dengan demikian, setiap perkara yang sebagian besar datang dari kepolisian dan kemudian masuk ke kejaksaan memang benar-benar siap untuk dinaikkan ke tahap berikutnya. Sebab, tugas pokok dari kejaksaan adalah penuntutan.