Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Jadi Tersangka, KPK Sita Uang Rp 5,7 Miliar
Dari serangkaian operasi tangkap tangan terhadap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, KPK menyita uang senilai Rp 5,7 miliar. Rahmat Effendi dan delapan orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan dan lelang jabatan di lingkungan Kota Bekasi, Jawa Barat. Salah satu tersangka itu adalah Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Dalam kasus dugaan korupsi tersebut, KPK menyita barang bukti berupa uang sejumlah Rp 5,7 miliar.
Dalam rangkaian operasi tangkap tangan di Bekasi, sejak Rabu (5/1/2022) hingga Kamis (6/1/2022), KPK menangkap 14 orang. Mereka ialah Rahmat Effendi, sejumlah aparatur sipil negara di Pemerintah Kota Bekasi, dan beberapa pihak swasta. Dari 14 orang tersebut, KPK menetapkan sembilan orang sebagai tersangka, yakni empat orang sebagai pemberi dan lima orang sebagai penerima.
Sebagai pemberi, KPK menetapkan sebagai tersangka Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril; pihak swasta, Lai Bui Min; Direktur PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi; dan Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin. Sementara itu, sebagai penerima ialah Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi; Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi M Bunyamin; Lurah Kati Sari, Mulyadi; Camat Jatisampurna, Wahyudin; serta Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kota Bekasi Jumhana Lutfi.
Berkaitan OTT di Bekasi ini, tim KPK awalnya mendapat informasi dari masyarakat bahwa akan ada penyerahan uang kepada Rahmat Effendi. Uang tersebut akan diserahkan oleh M Bunyamin. Tim KPK lalu mengintai pergerakan M Bunyamin dan mengetahui M Bunyamin telah masuk ke rumah dinas Wali Kota Bekasi dengan membawa uang yang akan diserahkan ke Rahmat Effendi.
Sekitar pukul 14.00, tim menangkap M Bunyamin saat keluar dari rumah dinas wali kota. Setelah itu, tim masuk ke rumah dinas tersebut dan menangkap beberapa pihak, di antaranya Rahmat Effendi dan beberapa ASN. Selain itu, ditemukan pula uang dengan jumlah miliaran rupiah.
Secara pararel, tim juga menangkap beberapa pihak swasta, antara lain di Cikunir, Pancoran, dan Senayan, Jakarta. Selanjutnya, mereka dibawa ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, untuk diperiksa. Selain itu, pada Rabu malam hingga Kamis, tim kembali mengamankan empat orang lain lagi.
Ketua KPK Firli Bahuri, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis, mengatakan, dari serangkaian operasi tangkap tangan ini, KPK menyita uang dengan total Rp 5,7 miliar. Dari total nilai itu, Rp 2 miliar berada dalam rekening bank.
Firli mengaku prihatin atas apa yang terjadi di Bekasi. Apalagi, sebelumnya, kepala daerah di Bekasi juga pernah terlibat kasus korupsi. ”Ini adalah catatan buruk terkait dengan upaya-upaya kita untuk pemberantasan korupsi karena masih ada yang terlibat praktik-praktik korupsi,” ujarnya.
Sesungguhnya, lanjut Firli, tidak boleh ada lagi praktik-praktik korupsi. Sebab, saat ini, semua telah menuju ke arah keterbukaan. Dengan keterbukaan itu, rohnya adalah transparansi dan akuntabel. ”Seharusnya tidak ada lagi korupsi karena tak ada lagi ruang-ruang gelap yang bisa dijadikan transaksional. Semua sudah ada aturannya. Tetapi, semua masih tetap terjadi,” ucap Firli.
Konstruksi perkara
Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan bermula pada saat penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Tahun 2021. Saat itu ditetapkan belanja modal ganti rugi tanah dengan nilai Rp 286,5 miliar.
Ganti rugi tersebut, di antaranya, untuk pembebasan lahan sekolah di Rawalumbu senilai Rp 21,8 miliar, pembebasan lahan polder 202 senilai Rp 25,8 miliar, pembebasan lahan polder air Kranji Rp 21,8 miliar, serta melanjutkan proyek pembangunan gedung teknis senilai Rp 15 miliar.
Atas proyek-proyek tersebut, Rahmat Effendi diduga menetapkan lokasi pada tanah milik swasta. Tak hanya itu, ia juga mengintervensi pemilihan pihak swasta yang lahannya akan digunakan untuk proyek pengadaan tersebut serta meminta untuk tidak memutus kontrak pekerjaan.
Sebagai bentuk komitmen, Rahmat Effendi diduga meminta sejumlah uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemkot Bekasi, di antaranya dengan menggunakan sebutan untuk ”Sumbangan Masjid”.
Selanjutnya, para pihak tersebut menyerahkan uang melalui perantara orang-orang kepercayaan Rahmat Effendi, yaitu Jumhana Lutfi yang menerima uang Rp 4 miliar dari Lai Bui Min, Wahyudin yang menerima Rp 3 miliar dari Makhfud Saifudin, dan mengatasnamakan sumbangan ke salah satu masjid di bawah yayasan milik keluarga Rahmat Effendi Rp 100 juta dari Suryadi.
Selain itu, Rahmat Effendi juga diduga menerima uang dari beberapa pegawai pada Pemkot Bekasi sebagai pemotongan terkait posisi jabatan yang diemban di Pemkot Bekasi. Uang tersebut diduga dipergunakan untuk operasional Rahmat Effendi yang dikelola oleh Mulyadi. Pada saat mereka ditangkap, masih tersisa uang Rp 600 juta rupiah.
”Berkaitan posisi apa yang terjadi praktik jual beli jabatan, itu masih dalam penyidikan,” kata Ali.
Di samping itu, terkait pengurusan proyek dan tenaga kerja kontrak di Pemkot Bekasi, Rahmat Effendi diduga menerima Rp 30 juta dari Ali Amril melalui M Bunyamin.
Firli memastikan penyidikan kasus ini belum selesai. Menurut dia, keterlibatan pihak lain, yakni DPRD Kota Bekasi, juga akan terus ditelusuri. Apalagi, salah satu kasusnya terjadi dalam penetapan APBD-P tahun 2021. Tak hanya itu, aliran dana yang diterima oleh Rahmat Effendi juga akan didalami.