Saat Ridanto ”Curhat” Alasan Menggunakan Ganja kepada Hakim Konstitusi
”Selama ini, sejak tahun 1996 terutama, saya menggunakan ganja untuk meredakan nyeri saya,” ujar P Ridanto Busono Raharjo secara daring kepada hakim konstitusi dalam persidangan uji materi UU Narkotika.
”Saksi silakan berdiri,” kata Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi saat memimpin sidang pemeriksaan lanjutan perkara uji materi Undang-Undang Narkotika, di Gedung MK, Kamis (6/1/2021).
Agenda sidang perkara permohonan legalisasi ganja untuk pengobatan tersebut adalah mendengarkan keterangan saksi, P Ridanto Busono Raharjo, yang mengikuti persidangan secara daring dari Yogyakarta.
Ridanto mengenakan kemeja batik berbahan dasar hitam dengan motif daun-daun hijau. Masker menutupi sebagian wajah lulusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma dan STF Driyarkara tersebut.
Karena saksi beragama Nasrani, Hakim Konstitusi Daniel P Yusmic Foekh memimpin pengambilan sumpah dan janji. ”Saksi P Ridanto Busono Raharjo, petugasnya (pengambil sumpah) ada?” tanya Daniel.
Pertanyaan tersebut ditanggapi Ridanto dengan melambaikan tangan kirinya ke sebelah kanan. Seakan akan mengungkapkan bahwa ada petugas yang membawa Alkitab di sebelah kanannya meski tidak terlihat di dalam layar.
”(Petugas) di sebelah kiri Saudara. Tangan kiri Saudara di atas Alkitab. Tangan kanannya angkat dengan tiga jari,” ujar Daniel sembari memberikan contoh.
Petugas yang membawa Alkitab pun kemudian berpindah ke sebelah kiri Ridanto. Ridanto meletakkan tangannya di atas Alkitab. Namun, saat diminta untuk mengangkat tangan kanannya, Ridanto membuka maskernya kemudian berbicara, ”Mohon maaf, Yang Mulia. Tangan kanan saya lumpuh.”
Baca juga: Legalisasi Ganja untuk Pengobatan, Mungkinkah di Indonesia?
”Oh, baik. Kalau begitu tidak perlu mengangkat tangan. Hanya tangan kiri saja di atas Alkitab. Ikuti lafaz janji yang saya tuntun ya. Kita mulai…,” kata Daniel.
Perlahan tetapi pasti, janji pun diucapkan Ridanto. Pengambilan janji selesai, pimpinan sidang mengambil alih forum untuk melanjutkan persidangan. Kesaksian Ridanto didengarkan.
Membuka keterangannya, Ridanto menuturkan bahwa ia adalah penderita neuropatik kronis yang menderita kelumpuhan di tangan. Dia mengalami kecelakaan pada tahun 1995 yang menyebabkan tangan kanannya lumpuh dan mengalami nyeri sampai saat ini.
”Selama ini, sejak tahun 1996 terutama, saya menggunakan ganja untuk meredakan nyeri saya. Dalam kesempatan ini, saya diminta oleh para pemohon untuk menjadi saksi di persidangan MK dengan harapan supaya ke depannya kita dapat memiliki UU Narkotika yang lebih rasional, yang selaras dengan ideologi Pancasila,” kata Ridanto.
Keterangan yang singkat. Tidak ada lagi yang ditambahkan oleh Ridanto meskipun pimpinan sidang mempersilakan jika masih ada keterangan yang ingin disampaikan. Karena dijawab tidak ada, Anwar Usman pun memberikan kesempatan kepada pihak pemohon untuk mendalami saksi yang dihadirkan.
Perkara legalisasi ganja untuk pengobatan diajukan oleh tiga warga Yogyakarta yang merupakan orangtua dari anak-anak yang menderita sejumlah penyakit. Mereka berjuang demi mengatasi penderitaan anak-anak mereka, seperti dialami Dwi Pertiwi (warga Sleman) yang harus terus-menerus membeli obat-obatan antikejang untuk Musa, anaknya.
Musa menderita cerebral palsy yang mengakibatkan kejang hampir seminggu sekali. Ketiga ibu tersebut didampingi Perkumpulan Cemara, Institute for Criminal Justice Reform, dan LBH Masyarakat. Mereka meminta agar MK membuka peluang agar ganja diperbolehkan untuk kepentingan pengobatan. Konstitusionalitas Pasal 6 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dipersoalkan.
Alasan menggunakan ganja
Kembali pada suasana persidangan, salah satu kuasa hukum pemohon, Singgih Tomi Gumilang, mencoba mengelaborasi kesaksian Ridanto dengan menanyakan alasan menggunakan ganja. Apakah karena ia mengetahui tentang praktik pengobatan ganja medik di luar negeri?
Ridanto mengatakan bahwa ia tak mengetahui hal tersebut saat pertama kali mengonsumsi ganja pada 1996 setelah terbangun dari koma beberapa lama. Bahkan, ia mengaku menggunakan ganja awalnya bukan untuk meredakan nyeri. Ia kebetulan saja menggunakan ganja karena banyak komunitas di Yogyakarta ketika itu memakainya mengingat penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika kala itu belum seketat saat ini.
Efek yang ia rasakan pada saat menggunakan ganja adalah merasa rileks, rasa nyeri seperti teredam. ”Bagi yang belum mengetahui bagaimana penderitaan nyeri kronis kategori neuropatik seperti saya, saya ini merasakan nyeri yang intensif dengan frekuensi yang tinggi. Jadi, hampir seluruh tubuh saya, kesadaran saya, otot saya, setiap saat harus mengantisipasi datangnya nyeri yang setiap saat dengan frekuensi tinggi. Pada saat saya menggunakan ganja, saya rasakan rileks. Rasa nyeri bisa saya hadapi dengan relatif tenang,” tuturnya.
Ia menjelaskan secara lebih detail tentang rasa nyeri yang dialaminya. Rasa nyeri tersebut seperti rasa kesemutan yang amat sangat dan konstan. Rasa kesemutan itu kemudian menjadi intens dan berubah seperti sengatan listrik ataupun tusukan di tangan kanannya. Penggunaan ganja, kata Ridanto, dapat meredam rasa nyeri tersebut.
Ridanto ditanya apakah pernah mencoba obat-obat pereda rasa nyeri yang diresepkan dokter dan dijual di apotek. Ia mengaku pernah berkonsultasi dengan dokter saraf mengenai rasa nyerinya. Obat-obat yang diresepkan oleh para dokter tersebut memiliki efek negatif terhadap lambung. Padahal, Ridanto menderita maag sejak kelas tiga SD.
”Obat-obat ini tidak ramah untuk lambung. Apalagi setelah saya pelajari kemudian, nyeri neuropatik itu kategori nyeri yang sifatnya progresif. Artinya, hampir tidak ada obat-obat yang dapat memberikan penanganan secara memuaskan untuk meredakan nyeri,” ujar Ridanto.
Perwakilan dari pemerintah ikut mendalami kesaksian Ridanto. Pihak pemerintah tersebut menanyakan apakah saksi pernah menggunakan ganja sebelum kecelakaan. Selain itu, juga menanyakan apakah dokter mengonfirmasi kondisi Ridanto membaik setelah pemakaian ganja atau hal tersebut hanya perasaan saksi semata.
Terkait hal ini, Ridanto mengatakan bahwa dirinya belum mengenal ganja sebelum kecelakaan terjadi. Mengenai apakah penggunaan ganja membuat penyakitnya lebih baik, Ridanto justru berharap dengan adanya persidangan MK tersebut dibuka penelitian mengenai potensi ganja dalam pengobatan.
Dalam perkara ini, pemerintah berencana mengajukan enam ahli dan tiga saksi guna membantah dalil-dalil yang diajukan para pemohon. MK akan kembali menggelar sidang pada 20 Januari mendatang.
Pada persidangan sebelumnya, pemohon menghadirkan ahli dari Korea Selatan dan Thailand, yakni Pastur Sung Seok Kang dari Korea Medical Cannabis Organization (KMCO) serta Kepala Pusat Pengobatan Tradisional dan Herbal Thailand dokter Pakakrong Kwankhao. Kedua negara tersebut telah melegalisasi penggunaan ganja untuk pengobatan secara terbatas.
Menurut Pakakrong, Thailand tidak menggunakan obat-obatan yang mengandung ganja atau kanabis medis sebagai pengobatan lini pertama. Kanabis medis menjadi penggobatan lini kedua jika pengobatan lini pertama tidak berhasil. Penggunaannya pun harus dilakukan setelah berkonsultasi dengan tenaga medis.
Sementara itu, Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan pedoman penggunaan psikotropika untuk pengobatan agar tidak terjadi penyimpangan. Salah satunya dengan membatasi lembaga yang dapat mengeluarkan resep penggunaan obat-obatan psikotropika, termasuk ganja.
Tidak sembarang organisasi dapat meresepkan penggunaan obat-obatan tersebut. Pemanfaatannya juga hanya untuk penyakit-penyakit parah. Bagaimana dengan di Indonesia? Di tangan sembilan hakim konstitusi, penggunaan ganja untuk pengobatan di Nusantara akan diputuskan.