Mahkamah Agung Nyatakan PK ”Cessie” Joko Tjandra Tidak Dapat Diterima
Putusan PK kasus ”cessie” Bank Bali yang diajukan Joko Tjandra diketok pada Rabu oleh majelis hakim agung yang diketuai Andi Samsan Nganro. Majelis hakim menilai secara formil permohonan PK itu tidak dapat diterima.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menyatakan permohonan peninjauan kembali kedua yang diajukan oleh terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, tidak dapat diterima. Alasannya, karena PK yang diajukan tidak memenuhi syarat formil, yaitu diajukan lebih dari satu kali.
”Amar NO (niet ontvankelijkeverklaard/tidak dapat diterima),” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Adapun terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, dihukum 2 tahun penjara. Hartanya senilai Rp 546 miliar dirampas untuk negara. Namun, tak berselang lama sebelum dieksekusi, Joko kabur menggunakan pesawat jet pribadi dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Joko kemudian menjadi buron sejak tahun 2009 dan ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, oleh tim Bareskrim Polri, Juli 2020.
Putusan PK itu diketok pada Rabu oleh majelis hakim agung yang diketuai oleh Andi Samsan Nganro dengan anggota majelis Suhadi, Eddy Army, Sri Murwahyuni, dan Surya Jaya. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut bahwa permohonan PK bernomor 467 PK/Pid.Sus/2021 secara formil tidak dapat diterima.
Alasannya, karena permohonan PK kedua hanya dimungkinkan apabila permohonan PK itu didasarkan pada alasan pertentangan antara satu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan putusan lainnya dalam obyek perkara yang sama. Hal itu telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan PK juncto SEMA Nomor 7/2014 juncto SEMA Nomor 4/2016 tentang Pemberlakukan Hasil Rumusan Kamar MA.
”Kendati pemohon PK atau terpidana mendalilkan alasan adanya pertentangan antara dua putusan PK, yaitu PK Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012 yang amarnya menolak PK pemohon dan putusan PK Nomor 12 PK/Pids.Sus/2009 tanggal 8 Juni 2009 yang amarnya mengabulkan PK Jaksa. Namun, menurut majelis hakim, dari dua putusan itu tidak ada pertentangan satu sama lain,” ujar Sobandi mengutip pertimbangan majelis hakim PK.
Menurut majelis hakim, PK Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 mendukung putusan PK Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 yang menyatakan menolak permohonan PK terpidana dan menyatakan putusan perkara tesebut tetap berlaku. Dengan demikian, alasan PK dari pemohon tidak memenuhi syarat pertentangan yang menjadi syarat formil untuk mengajukan PK lebih dari satu kali.
”Atas dasar dan alasan itu dengan memperhatikan Pasal 266 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), permohonan PK II dari terpidana atau pemohon PK Joko Soegiarto Tjandra tidak dapat diterima,” kata Sobandi.
Terhadap putusan itu, seorang hakim anggota mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion (DO), yaitu Eddy Army. Eddy berpendapat alasan PK terpidana beralasan hukum untuk dikabulkan sebagaimana pengadilan tingkat pertama. Namun, Eddy kalah suara dari empat hakim lainnya.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi putusan PK yang dijatuhkan MA. Namun, alasan permohonan PK tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dinilai kurang tepat.
Sebab, di tahun 2013, MAKI berjuang bersama Antasari Azhar di Mahkamah Konstitusi (MK) agar PK dapat diajukan berkali-kali. Jika memang PK yang diajukan Joko S Tjandra tidak memiliki unsur pertentangan putusan, seharusnya MA juga melihat apakah ada bukti baru (novum) atau kekhilafan hakim dalam menjatuhkan putusan.
”Sebagai orang yang pernah memperjuangkan agar PK dapat diajukan terpidana berkali-kali, saya tidak suka dengan alasan yang digunakan MA untuk tidak menerima permohonan itu. Namun, sebagai orang yang mengawal kasus cessie Bank Bali, kami mengapresiasi karena tidak dapat digunakan bagi terpidana untuk lepas dari jerat hukum,” kata Boyamin.