Siasat Jejaring Teroris di Tengah Alam Demokrasi
Gagasan mendirikan parpol mengemuka di kalangan kader JI sejak 2018, lalu menguat pada 2020. Ide itu disampaikan Farid kepada Arif Siswanto, anggota JI lain yang telah ditangkap, dalam sebuah pertemuan di Bekasi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F20180513_ENGLISH-BOM_3_web.jpg)
Ribuan warga berkumpul di kawasan Tugu Pahlawan untuk berdoa atas musibah bom meledak di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018)
Babak baru terorisme Indonesia kian terungkap lewat penangkapan 178 anggota Jamaah Islamiyah sepanjang 2021. Sudah lebih dari satu dekade mereka menjelma sebagai kelompok yang tak lagi eksklusif. Mereka menggunakan siasat membaur di tengah masyarakat. Bahkan, organisasi teror ini terindikasi memanfaatkan partai politik sebagai selubung eksistensi di negara demokrasi.
Geliat kelompok teror di partai politik (parpol) terkuak melalui penangkapan Farid Ahmad Okbah, Anung Al Hamat, dan Ahmad Zain An Nazah oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada pertengahan November 2021 di Bekasi, Jawa Barat. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka karena menjadi anggota Dewan Syura Jamaah Islamiyah (JI); Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Abdurrahman bin Auf (LAZ BM ABA) yang merupakan lembaga penggalangan dana milik JI; serta Perisai Nusantara Esa, organisasi sayap JI yang bergerak di bidang advokasi hukum.
Namun, di luar itu Farid juga tercatat sebagai Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI). Dalam kapasitasnya di organisasi yang lain, ia pernah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 2020. Sementara itu, Anung merupakan Wakil Ketua Majelis Syura PDRI, dan Ahmad Zain adalah anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Gagasan mendirikan parpol mengemuka di kalangan kader JI sejak 2018, lalu menguat pada 2020. Ide itu disampaikan Farid kepada Arif Siswanto, anggota JI lain yang telah ditangkap, dalam sebuah pertemuan di Islamic Center Bekasi, Jawa Barat.
Densus 88 dalam berbagai kesempatan menegaskan, penangkapan Farid dan Anung tidak terkait dengan aktivitas mereka di partai politik. Akan tetapi, aparat keamanan mendapat keterangan bahwa Farid dan Anung sengaja mendirikan PDRI untuk mempertahankan organisasi setelah amir atau pemimpin tertinggi JI, Para Wijayanto, ditangkap pada Juni 2019.
Baca Juga: Partai Politik, Samaran Baru Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah
JI yang telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena ingin mengganti dasar negara Indonesia berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 2191/PID.B/2007/PN.JKT.SEL tanggal 21 April 2008 itu bermaksud mengubah identitas dan menyamarkan aktivitasnya dalam wujud parpol.
Gagasan mendirikan parpol mengemuka di kalangan kader JI sejak 2018, lalu menguat pada 2020. Ide itu disampaikan Farid kepada Arif Siswanto, anggota JI lain yang telah ditangkap, dalam sebuah pertemuan di Islamic Center Bekasi, Jawa Barat.
”FAO memberikan solusi untuk membuat wadah baru. Adapun partai yang dibentuk oleh FAO dan AZ adalah PDRI,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, November 2021.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FWhatsApp-Image-2021-05-19-at-19.13.37_1621426739.jpeg)
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan saat ditemui di Jakarta, Rabu (19/5/2021).
Melalui rilis yang dimuat pada situs www.partaidakwah.id, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDRI menolak dikaitkan dengan terorisme. Apalagi, pihaknya tengah mengurus legalitas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). PDRI didirikan di Jakarta, 31 Mei 2021. Partai ini terbentuk atas prakarsa Badan Usaha-usaha Persiapan Partai Islam Ideologis (BPU-PPII) yang terdiri dari sejumlah ulama, di antaranya A Cholil Ridwan, (alm) Abdurrasyid Abdullah Syafi’i, (alm) Mohammad Sidik, dan Masri Sitanggang.
”Farid Ahmad Okbah adalah orang yang diamanahkan BPU-PPII untuk menerima jabatan sebagai Ketua Umum PDRI karena BPU-PPII melihat rekam jejaknya yang konsisten dalam dunia dakwah dan tidak pernah terlibat dalam aksi melanggar hukum atau inkonstitusional apalagi teror,” tulis Wakil Ketua Umum PDRI Masri Sitanggang dan Sekretaris Jenderal PDRI Yunasdi.
Selain tengah mendaftarkan diri menjadi badan hukum, PDRI juga berupaya untuk menjadi peserta pemilu. Hal itu sejalan dengan Pasal 9 Ayat (5) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDRI, yakni salah satu usaha partai untuk mencapai tujuannya adalah mewujudkan organisasi partai yang kuat di NKRI untuk aktif dalam pemilihan umum dan kemenangannya.
Baca Juga: Momentum Bersih-bersih dari Strategi Infiltrasi Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah
Sejak reformasi yang mengubah sistem politik Indonesia, setiap warga negara mendapatkan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk mendirikan parpol. Perubahan ini memicu euforia masyarakat untuk menunjukkan ekspresi politik. Pendirian PDRI pun berada dalam konteks demokratisasi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2FMAHASISWA-SE-JABOTABEK-01-07-1.jpg)
Mahasiswa se-Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek)mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur.
Mengutip Lili Romli dalam artikel ”Reformasi Partai Politik dan Sistem Kepartaian” di Indonesia yang diterbitkan Jurnal Politica, 2011, pada awal reformasi 184 parpol didirikan masyarakat, 141 di antaranya disahkan sebagai badan hukum, dan 48 parpol memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999.
Menjelang Pemilu 2004, lebih dari 200 parpol dibentuk, tetapi hanya 50 partai yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum, dan 24 parpol bisa ikut pemilu. Kemudian pada 2009, ada 132 parpol yang didirikan, 38 di antaranya menjadi peserta Pemilu 2009 di tingkat nasional dan enam partai lokal di Naggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan data Kemenkumham hingga Agustus 2021 terdapat 74 parpol yang terdaftar dan berbadan hukum.
Babak baru
Meski belum sepenuhnya terungkap, keterangan Polri soal dugaan pendirian parpol oleh petinggi JI menandai babak baru dalam dinamika terorisme di Indonesia.
Omar Ashour, pakar studi keamanan dari Doha Institute for Graduate Studies, Qatar, yang mengedit buku Bullets to Ballots: Collective De-radicalisation of Armed Movements menuliskan, transformasi organisasi teror menjadi parpol, merupakan fenomena yang juga telah terjadi di banyak negara.
Buku tersebut menganalisis 20 kasus yang terjadi di 16 negara, yaitu Mesir, Irak, Aljazair, Lebanon, Libya, Palestina, Suriah, Spanyol, Turki, Inggris, Etiopia, Afrika Selatan, Afghanistan, Argentina, Brasil, Cile, Kolombia, Uruguay, Nikaragua, dan Kuba.

Jajak pendapat Kompas terkait terorisme
Transformasi yang dimaksud, tulis Ashour, adalah perubahan kolektif yang terjadi ketika organisasi teror membalikkan ideologi, narasi, perilaku, dan struktur organisasinya dari aksi bersenjata kepada aktivisme sosial politik tak bersenjata. Sejumlah literatur studi keamanan menyebutnya sebagai deradikalisasi atau proses delegitimasi taktik kekerasan untuk mencapai tujuan politik, penerimaan sosial, dan perubahan ekonomi.
Perubahan umumnya disebabkan oleh kombinasi pengaruh kepemimpinan karismatik dalam organisasi, kebuntuan upaya militer, serta interaksi dengan pihak lain yang memiliki gagasan berbeda secara internal atau ”bujukan” dari otoritas yang berkuasa. Gagasan itu sebenarnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk membangun rekonsiliasi antara kelompok teror dan negara melalui jalur demokrasi.
Namun, ada harga yang harus dibayar mahal seiring dengan transformasi tersebut. Sekalipun bersedia meninggalkan kekerasan, mereka tidak serta-merta bisa menanggalkan pandangan yang intoleran, seperti xenofobia atau misoginis. Hal ini berbahaya karena dapat merusak kohesi sosial, terutama dalam masyarakat multikultural dan multiagama.
Di Indonesia, hal ini bisa memperburuk keterbelahan masyarakat yang dipicu oleh politik identitas dalam pemilu terakhir. Beberapa waktu belakangan, penangkapan tersangka terorisme pun memicu demonstrasi di sejumlah daerah yang membawa narasi negara melawan agama. Dalam waktu bersamaan, narasi yang sama juga disebarkan lewat media sosial.
Dalam konteks JI, cara pikir mereka terus direproduksi melalui sistem pendidikan. Dokumen Putusan Nomor: 308/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim atas terdakwa Para Wijayanto, menyebutkan, terdapat tujuh lembaga pendidikan yang masuk dalam jejaring JI. Namun, data Densus 88 menunjukkan, hingga 2021 ada sekitar 65 lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan kelompok tersebut.
Sementara itu, menurut Visiting Fellow Sir Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Noor Huda Ismail, jumlah lembaga pendidikan yang terkait dengan JI ada lebih dari 150 entitas. Mulai dari level anak balita, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Tak hanya pendidikan, cara pandang yang sama juga disebarkan melalui berbagai aktivitas sosial di tengah masyarakat. Sepanjang 2021, penangkapan 178 anggota JI mengungkap bahwa kelompok ini membangun berbagai lembaga yang memberikan bantuan kepada warga menggunakan dana yang juga dihimpun dari warga dengan berbagai narasi yang dapat menyamarkan identitas mereka sebagai kelompok teror.
Baca Juga: Menerka Metamorfosis Jamaah Islamiyah
Upaya-upaya yang membuat JI tumbuh sebagai kelompok sosial di era demokrasi ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang yang dilakukan sejak Para Wijayanto memimpin JI pada 2009. Selain mempertahankan strategi ”jihad”, JI mengutamakan jalan dakwah tanpa kekerasan. Dalam persidangan, Para Wijayanto yang juga mantan manajer pengembangan sumber daya manusia di sebuah perusahaan di Jawa Tengah mengaku, telah menyusun versi baru panduan JI yang disebut strategi tamkin yang bertujuan membentuk pemerintahan berbasis agama dalam beberapa tahap.

Inspektur Jenderal Argo Yuwono menunjukkan foto amir atau pemimpin Jamaah Islamiyah Para Wijayanto saat menyampaikan keterangan kepada wartawan di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (4/1/2021).
Pertama, Tamkin Siyasi I atau membangun posisi politik yang kuat dengan merebut hati masyarakat lewat cara-cara menyebarkan kebaikan dan menampilkan kekurangan atau kesalahan sistem pemerintahan saat ini. Kedua, Tamkin Siyasi II, yakni mencari pengakuan negara lain baik secara de facto maupun de jure. Tahap terakhir, Tamkin Askari, yaitu memperluas wilayah ke seluruh dunia dengan dakwah yang dikawal kekuatan bersenjata.
Untuk itu, JI mendidik kader-kadernya agar memiliki kemampuan manajerial untuk menempati posisi strategis, terutama pengambil keputusan negara. Dengan begitu, upaya mengubah sistem demokrasi kelak tak perlu menggunakan kekerasan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_21355491_134_0-1.jpeg)
Noor Huda Ismail
Menurut Noor Huda Ismail, ancaman terhadap human security yang terjadi akibat merasuknya cara pandang JI ke berbagai lini kehidupan warga, bahkan pemerintah, ke depan akan terus meningkat. Polarisasi masyarakat berisiko semakin meruncing. Hal ini didukung oleh tingginya semangat purifikasi agama yang menyebar ke berbagai kalangan.
”Berbanding terbalik dengan ancaman state security yang akan terus menurun, karena kejadian global yang memicu serangan teror relatif minim,” ujarnya.
Transformasi JI akhirnya menjadi tantangan baru bagi negara untuk merumuskan langkah lanjutan penanganan terorisme kekinian. Gerak mereka yang selalu mengejutkan kini kian mengarah ke ranah abu-abu di alam demokrasi. Dengan begitu, penangkapan secara masif saja tak cukup. Dibutuhkan strategi lain yang lebih jitu untuk mengatasi hal-hal yang tak bisa dijerat pidana serta lebih banyak melibatkan emosi warga.