Menyeimbangkan Produktivitas dengan Kualitas Putusan
Produktivitas MA mempercepat penanganan perkara dinilai cukup baik. Namun, publik juga menuntut perbaikan konsistensi dan kualitas putusan. Sebut saja majelis banding yang memangkas hukuman Pinangki, lukai rasa keadilan.

Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin memberikan sambutan saat acara Refleksi Akhir Tahun ”Bersinergi untuk Membangun Kepercayaan Publik” di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (29/12/2021).
Selama dua tahun berturut-turut produktivitas penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) selalu menggembirakan. Prestasi gemilang kecepatan memutus perkara itu idealnya juga diikuti dengan putusan yang konsisten dan berkualitas. Sebab, citra MA di mata publik tidak hanya sebatas kuantitas, tetapi juga putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pada 2020, MA mencetak sejarah dalam hal kuantitas dan kecepatan penanganan perkara. Berdasarkan laporan akhir tahun 2020, MA berhasil memutus 20.562 perkara dari 20.761 total perkara yang masuk. Sisa perkara di tahun 2020 hanya 199 perkara. Artinya, MA berhasil menyelesaikan 99 persen perkara yang masuk.
Sejak kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin yang dilantik pada akhir April 2020, prestasi gemilang memang ditorehkan oleh MA. Pada saat paparan Laporan Tahunan MA Tahun 2020, Rabu (17/2/2021), yang dilakukan secara virtual, Syarifuddin menyebut bahwa penanganan perkara di tahun pandemi itu merupakan yang terbanyak dalam sejarah. Ini merupakan sebuah capaian besar karena saat itu Indonesia sedang dihantam badai Covid-19 yang memukul mobilitas warga.
Bahkan, saat itu, sejumlah hakim dan pegawai MA pun terserang Covid-19. Sebut saja Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, hakim agung MD Pasaribu dan Dudu Duswara meninggal karena Covid-19. Dengan jumlah hakim yang relatif lebih sedikit dari tahun 2019, MA tetap mampu memutus perkara dengan jumlah terbanyak sepanjang sejarah. Padahal, saat itu untuk menyiasati situasi pandemi Covid-19, MA juga memberlakukan sistem kerja secara work from office (WFO) dan work from home (WFH).
Baca juga: Dengarkan Kritik Publik, MA Berjanji Perbaiki Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Prestasi kembali diukir di tahun 2021 ini. Dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2021 ”Bersinergi untuk Membangun Kepercayaan Publik” di Gedung MA, Rabu (29/12/2021). Syarifuddin yang juga guru besar tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini menyebutkan, hingga 27 Desember 2021, MA telah memutus 99,13 persen perkara. Dari total perkara yang masuk, yaitu 19.254, perkara yang sudah diputus 19.087 perkara. Rasio produktivitas penanganan perkara ini jauh melampaui target yang ditetapkan, yaitu 75 persen. MA berhasil melampaui target hingga 24,13 persen dari target awal.
”Jumlah sisa perkara sampai dengan 27 Desember 2021 tercatat 167 perkara. Jumlah itu masih bisa berubah karena sampai saat ini masih ada yang bersidang,” kata Syarifuddin.
Syarifuddin menjelaskan, minutasi atau lamanya perkara diputus sejak diregistrasi di MA juga meningkat. Dari 19.087 perkara yang diputus pada tahun 2021, 97 persen atau 18.514 diputus dengan jangka kurang dari tiga bulan. Bahkan, 21.253 berkas perkara atau 111,54 persen jumlah perkara yang masuk di tahun 2021 sudah dikembalikan ke pengadilan pengaju.
Baca juga: Empat Hari Jelang Akhir 2021, Perkara di MA Tinggal 167 Kasus, Bagaimana Kualitasnya?

Bekas Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Pinangki Sirna Malasari berjalan keluar dari ruang sidang setelah mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (2/12/2020). Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung hari itu kembali menghadirkan sejumlah saksi untuk didengar keterangannya dalam perkara suap fatwa Mahkamah Agung (MA) yang menjerat Pinangki Sirna Malasari. Pinangki diduga menerima hadiah sebesar 500.000 dollar AS atau Rp 7 milliar dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra.
Konsistensi dan kualitas putusan
Prestasi gemilang di bidang produktivitas penanganan perkara ini diharapkan paralel dengan kualitas dan konsistensi putusan yang dihasilkan MA. Sebab, sepanjang 2021, banyak putusan MA ataupun badan peradilan di bawahnya yang mendapatkan kritik tajam dari publik.
Sebut saja putusan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta atas Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari, Juni dan Juli lalu. Keduanya terlibat dalam kasus yang sama, yaitu kasus pengurusan fatwa bebas bagi Joko agar tak perlu menjalani hukuman 2 tahun penjara di Kasus Bank Bali tahun 2009. Oleh majelis banding, Pinangki dipangkas hukumannya dari semula 10 tahun penjara menjadi tinggal 4 tahun penjara. Adapun, Joko dari semula 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun.
Dalam vonis banding Pinangki, majelis hakim yang diketuai Muhammad Yusuf dan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik mempertimbangkan kondisi Pinangki sebagai sebagai perempuan. Menurut hakim, sebagai perempuan, Pinangki dinilai harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil. Padahal, perempuan lain yang juga divonis hukuman penjara tak memperoleh keistimewaan tersebut dari hakim.
Di putusan kasus korupsi dana bantuan sosial bekas Menteri Sosial Juliari Batubara, pertimbangan meringankan yang dipakai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga menggelitik publik.
Baca juga: Eksaminasi Penting untuk Ungkap Kejanggalan Putusan Pinangki
Di putusan kasus korupsi dana bantuan sosial bekas Menteri Sosial Juliari Batubara, pertimbangan meringankan yang dipakai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga menggelitik publik. Putusan yang dibacakan pada Senin (23/8/2021) itu diketuai oleh hakim ketua Muhammad Damis, serta hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo. Majelis menilai Juliari sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat. Padahal, secara hukum, dia belum tentu bersalah karena belum ada putusan pengadilan.
Penderitaan Juliari yang dijadikan pertimbangan meringankan hakim tak pelak mengejutkan publik. Di media sosial, warganet melontarkan sindiran dan membuat beragam meme. Yang paling mengemuka, ke depan, cercaan, makian, dan hinaan pada koruptor harus diganti dengan pujian. Barangkali dengan perubahan itu, majelis hakim akan memberatkan hukuman kepada koruptor.
Syarifuddin menyadari bahwa produktivitas penanganan perkara secara kuantitas juga harus diikuti dengan perbaikan kualitas putusan. Dia juga pernah menyampaikan bahwa peningkatan kualitas putusan dalam perkara yang diadili MA maupun badan peradilan di bawahnya akan berdampak signifikan terhadap citra dan nama baik mereka.
”Saya sampaikan memang mengenai kualitas putusan, kita tidak menginginkan putusan yang tidak bertanggung jawab. Putusan harus dibuat dengan argumentasi hukum yang kuat, pertimbangan yang runtut, jelas, dan mudah dipahami,” kata Syarifuddin.
Syarifuddin juga memerintahkan hakim agung dan jajarannya untuk membuat putusan dengan dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, sepanjang 2021, MA juga telah menerbitakan lima Surat Edaran MA (SEMA) yang di antaranya juga memberikan panduan kepada hakim untuk membuat pertimbangn yang baik. Pertimbangan hukum putusan yang baik mencakup sebab, akibat, dan dampak sehingga putusan dapat dikatakan benar menurut hukum dan logika.
”Putusan hakim sekarang harus berkualitas, jangan sampai terjadi putusan-putusan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Syarifuddin.
Baca juga: MA Hapus Kewajiban Jadi ”Justice Collaborator” untuk Peroleh Remisi

Joko Soegiarto Tjandra, terdakwa perkara dugaan suap pengurusan fatwa bebas MA dan penghapusan namanya dari daftar pencarian orang di sistem imigrasi, mengikuti sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (5/4/2021). Sebelumnya, jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung meminta Majelis Hakim Tipikor menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Tjandra.
Syarifuddin juga tidak berharap ada banyak disparitas putusan yang dihasilkan oleh hakim. Khusus untuk perkara pidana khusus seperti korupsi, sudah diterbitkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Peraturan MA dibuat untuk menghindari disparitas hukuman yang mencolok bagi satu koruptor dengan koruptor lainnya.
Menurut Syarifuddin, tidak ada perkara yang sama persis, karena peran dan tanggung jawab seseorang dalam perkara yang hampir sama pasti berbeda. Hakim juga memiliki prinsip independensi atau kebebasan dalam memutus suatu perkara. Yang menjadi persoalan itu. Lanjutnya, adalah jika disparitas putusan dalam perkara yang mirip terlalu mencolok. Ini bisa disebut sebagai disparitas putusan yang tidak bertanggung jawab karena tidak memuat pertimbangan hukum yang jelas dan bisa dimengerti.
Kepercayaan publik
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting, Kamis (30/12/2021), mengatakan, KY mengapresiasi produktivitas MA dalam percepatan penanganan perkara. Namun, aspirasi publik ternyata menuntut lebih dari percepatan penanganan perkara. Publik juga mendesak perbaikan konsistensi dan kualitas putusan. KY mengapresiasi komitmen dari Ketua MA yang menangkap ekspektasi publik itu.
”Kualitas putusan memang berdampak paralel dengan kepercayaan publik pada pengadilan dan bahkan sistem hukum secara lebih luas,” kata Miko.
Miko menjelaskan, salah satu aspirasi publik terkait kualitas putusan juga telah sampai ke telinga KY. Setiap tahun, KY menerima laporan dari masyarakat yang tidak hanya terkait dugaan pelanggaran perilaku, tetapi juga terkait cara mengadili dan substansi putusan. Namun, kewenangan KY terbatas. KY tak bisa menilai benar atau tidaknya suatu putusan karena bagian dari kemerdekaan hakim.
”Bahkan, MA secara hierarkis pun tidak bisa menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Forum yang berwenang adalah upaya hukum sesuai prinsip res judicata pro veritate habetur,” terang Miko.
Walakin, kata Miko, KY masih berwenang menelusuri dan menindak secara etik apabila dalam putusan hakim ada dugaan pelanggaran perilaku. Tantangannya, substansi putusan tidak cukup untuk menggambarkan pelanggaran perilaku sekalipun dirasakan janggal oleh publik. Dugaan pelanggaran etik perlu dilengkapi oleh bukti-bukti lain yang relatif sulit untuk ditelusuri. Sebab, laporan biasanya diberikan jauh setelah peristiwa terjadi.
Ke depan, KY berupaya menjalankan amanat Pasal 42 UU Kehakiman dan beberapa UU lain untuk melakukan analisis putusan yang berkekuatan hakim dalam rangka mutasi hakim. Putusan yang berkualitas akan dianalisis dan didorong sebagai penghargaan. Dengan demikian, secara tak langsung, KY bisa berkontribusi untuk mendorong konsistensi dan kualitas putusan.
”Reward and punishment”

Hakim Agung Gayus Lumbuun, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo Eddyono, dan peneliti ICW Lola Easter (kiri ke kanan) menjadi narasumber pada diskusi dengan tema bahasan ”Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di Jakarta, Rabu (17/6/2015). Mahkamah Agung didesak melakukan standardisasi hukum acara praperadilan guna memastikan konsistensi ddalam hukum dan memberikan kepastian hukum.
Mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, jika memang ada komitmen serius dari MA meningkatkan konsistensi dan kualitas putusan, hal itu sangatlah bagus. Sebab, akan berdampak pada citra MA dan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. Menurut dia, pada tahun 1967, Ketua MA Soerjadi pernah mengeluarkan beleid Instruksi MA Nomor 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi, Laporan Bulanan, dan Daftar Banding.
Beleid itu mengatur bahwa MA secara rutin dapat melakukan eksaminasi putusan yang dipergunjingkan atau dianggap melukai rasa keadilan masyarakat. Metode eksaminasi ini, menurut Gayus, adalah yang legal menurut hukum karena hakim memiliki prinsip independensi dan kemerdekaan kehakiman. Dengan membuat aturan eksaminasi putusan secara berkala, lanjutnya, MA bisa memeriksa putusan-putusan majelis banding maupun pengadilan tingkat pertama yang meresahkan masyarakat.
”SE atau Instruksi Nomor 1 Tahun 1967 ini mengatur tentang evaluasi MA sebagai pengadilan tertinggi untuk mengevaluasi putusan majelis hakim di tingkat pertama, banding maupun di MA sendiri. Putusan yang kontroversial seperti bebas lepas, atau dianggap tidak berkeadilan memang harus dievaluasi oleh MA,” kata Gayus.
Menurut Gayus, apabila memang ditemukan pelanggaran perilaku atau etik hakim, Ketua MA juga bisa menjatuhkan sanksi berjenjang.
Menurut Gayus, apabila memang ditemukan pelanggaran perilaku atau etik hakim, Ketua MA juga bisa menjatuhkan sanksi berjenjang. Hal itu tertuang dalam Maklumat Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA dan Badan Peradilan di Bawahnya. Di maklumat itu diatur MA bisa memberhentikan hakim secara berjenjang dari jabatannya, apabila ditemukan pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan itu tidak dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.
”Jika itu dilakukan akan menjadi komitmen serius yang tidak hanya diucapkan tetapi juga dilakukan oleh Ketua MA. Ini akan berdampak serius pada perbaikan citra MA dan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan,” kata Gayus.