Songsong Tahun Politik, Muhammadiyah Ajak Konstruksikan Kembali Demokrasi RI
Demokrasi di Indonesia dianggap telah mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Namun, praktik demokrasi masih sebatas prosedural, bukan substansial.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyongsong tahun politik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak semua pihak untuk merefleksikan perjalanan demokratisasi di Indonesia. Tahun 2022 hingga 2024 diharapkan menjadi awal bagi upaya merekonstruksikan demokrasi yang susbtantif, tidak semata-mata demokrasi prosedural.
Dalam acara refleksi akhir tahun, Rabu (29/12/2021), yang disiarkan secara daring, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Dalam berbagai fase dan dari masa ke masa, penghargaan pada hak asasi manusia (HAM) semakin membaik. Kendati demikian, ada sejumlah catatan yang juga mesti dijadikan perhatian semua pihak.
Pertama, pelembagaan demokrasi prosedural tidak selalu linear atau berbanding lurus dengan demokrasi substantif. Untuk mencapai demokrasi substantif itu diperlukan dua hal, yakni pendewasaan politik dan konsolidasi politik. Pendewasaan politik berkaitan dengan upaya pendidikan politik kepada warga dan elite politik. Adapun konsolidasi politik berkaitan dengan pembenahan sistem politik.
Untuk dua hal ini, menurut Haedar, Indonesia belum mencapai taraf yang baik sehingga masih diperlukan upaya-upaya menuju kedewasaan ataupun konsolidasi politik.
Di sisi lain, dalam mengukur demokrasi di Indonesia, menurut Haedar, parameter universal ternyata tidak sepenuhnya sesuai atau cocok dengan karakter Indonesia. Ada beberapa aspek yang berbeda dengan parameter demokrasi universal. ”Kalau kita mengikuti parameter universal, tidak tahu sampai kapan kita bisa benar-benar sesuai dengan parameter itu, karena ada nilai-nilai yang bersifat khas. Nilai-nilai yang khas itu berkaitan dengan kultur Indonesia,” katanya.
Untuk merekonstruksi demokrasi di Indonesia, Haedar mengingatkan kembali makna dan nilai-nilai demokrasi yang tercantum dalam Pancasila, terutama sila keempat. Setidaknya ada tiga landasan demokrasi yang termaktub dalam sila keempat Pancasila, yakni hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. ”Pertanyaannya, sudahkah ketiga nilai itu mendasari praktik Indonesia dalam berdemokrasi?” kata Haedar.
Fenomena pemilihan, misalnya, masih sentralistik dari pusat ke daerah dengan menggunakan sistem perwakilan. Namun, sistem perwakilan itu ternyata disalahgunakan sehingga memicu porsi kekuasaan yang besar pada eksekutif (executive heavy).
Namun, ketika pola itu diubah menjadi demokrasi individual, demokrasi liberal, dengan setiap orang memiliki suara dari pusat ke daerah, muncul fenomena oligarki politik, yang lagi-lagi membawa situasi pada porsi kekuasaan besar pada eksekutif.
Untuk mencari solusi atas persoalan itu, Haedar berpandangan, penting untuk merekonstruksi kembali demokrasi yang sesuai dengan Indonesia. Caranya, antara lain, dengan memastikan nilai-nilai Pancasila sebagaimana tersirat dalam sila keempat itu dapat diwujudkan.
”Semua dilakukan dalam rangka kembali memasukkan nilai-nilai demokrasi Pancasila untuk memberikan keseimbangan HAM dan toleransi yang ada dalam spektrum Pancasila, yakni dengan mengakomodasi agama dan kebudayaan luhur bangsa,” katanya.
Penting untuk merekonstruksi kembali demokrasi yang sesuai dengan Indonesia, antara lain dengan memastikan nilai-nilai Pancasila sebagaimana tersirat dalam sila keempat itu dapat diwujudkan.
Catatan lain yang diungkapkan oleh Haedar ialah mengenai agama dan cara pandang terhadap agama. Agama akan selalu menjadi isu sensitif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena sejarah bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari agama. Agama secara konstitusional diakui, yakni dalam Pasal 29 dan Pasal 31 UUD 1945. Namun, sejauh mana agama itu dapat masuk dalam kehidupan bernegara, itu yang harus ditilik ulang.
Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menurut dia, adalah tonggak sejarah yang menegaskan negosiasi antara agama dan negara. Namun, masih ada cara pandang yang melihat agama, termasuk Islam, sebagai intoleran dan sumber radikalisme. Pada titik lain, ada fenomena respons agama yang menjadi sangat konservatif ketika melihat modernitas.
”Di satu sisi ada pandangan agama sebagai sumber intoleransi dan radikalisme, dan di sisi lain ada konservatisisme di semua agama di dunia sebagai respons atas globalisasi dan modernitas. Dalam posisi ini, Muhammadiyah mengambil wasathiyah dalam beragama atau moderasi beragama,” katanya.
Pandangan wasathiyah ini multidimensi dalam masyarakat yang majemuk dan tidak sekadar mengenai cara pandang keagamaan, tetapi bagaimana peran Islam dalam berkontribusi pada peradaban masyarakat dan dunia. ”Karena itulah, wasathiyah yang diemban oleh Muhammadiyah ialah wasathiyah berkemajuan. Masyarakat perlu hidup dan maju bersama,” ucapnya.
PP Muhammadiyah juga memberi catatan mengenai kehidupan ekonomi. Ketimpangan ekonomi dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi oleh kelompok tertentu harus diakhiri. Negara dapat berperan dengan melakukan upaya-upaya terobosan dan progresif, misalnya mengharuskan konglomerasi berbagi dengan usaha kecil melalui aturan-aturan ekonomi.
Di bidang budaya, PP Muhammadiyah mendorong agar kebudayaan luhur bangsa terus dipertahankan dan dilestarikan. Upaya itu dapat dilakukan, antara lain, melalui pendidikan.
Sekolah di Australia
Terkait dengan pendidikan, Muhammadiyah mengumumkan beroperasinya Muhammadiyah Australia College (MAC) di Victoria, Melbourne, Australia. Sekolah setingkat SD itu mendapatkan izin operasi dari pemerintah setempat pada 21 Desember 2021. Pembangunan sekolah ini dirintis sejak 2017.
Ketua Tim Pendirian MAC Ahmad Dahlan Rais mengatakan, pendirian sekolah itu merupakan perwujudan dari upaya internasionalisasi Muhammadiyah. Selain itu, pendirian sekolah juga merupakan respons atas banyaknya permintaan dari warga Muhammadiyah yang menetap di Australia.
”Dengan berdirinya sekolah ini, kami berharap masyarakat di Australia yang ingin pendidikan lebih baik, tetapi tidak meninggalkan kultur budaya asal dari Indonesia, dapat bersekolah di sana. Ini penting agar nilai-nilai luhur atau utama tetap terpelihara di mana pun berada,” kata Dahlan.
Secara terpisah, Jaringan Muslim Madani (JMM) mencatat indeks toleransi di Indonesia meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya. Hal tersebut berdasarkan data hasil riset Balai Litbang dan Riset Kementerian Agama pada 2021, indeks kerukunan umat beragama (KUB) rata-rata nasional pada tahun ini berada pada skor 72,39 atau naik 4,93 poin dari tahun sebelumnya sebesar 67,46. Indeks KUB berdasarkan atas tiga indikator, yaitu indeks toleransi (68,72), indeks kerja sama (73,41), dan indeks kesetaraan (75,03).
Koordinator JMM Syukron Jamal mengatakan, capaian ini sesuatu yang baik. JMM mendorong agar konsep moderasi agama dimasukkan pada semua elemen dunia pendidikan dan dunia kerja generasi millenial. Pasalnya, derasnya arus perkembangan dan perubahan dunia digital sebagai bagian dari pesatnya kemajuan teknologi informasi mendorong perpindahan strategi ideologisasi penyebaran paham radikal transnasional.