Pelayanan Publik Buruk, Kredibilitas Negara Jadi Taruhan
Hasil penilaian yang dilakukan Ombudsman RI terhadap kepatuhan pemerintah kabupaten pada standar pelayanan publik tahun 2021 menunjukkan, 103 dari 416 kabupaten memiliki tingkat kepatuhan tinggi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepatuhan pemerintah kabupaten di Indonesia terhadap standar pelayanan publik mengalami penurunan. Jika dibiarkan, kondisi itu tidak hanya akan menimbulkan malaadministrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat dan kredibilitas penyelenggara negara.
Hasil penilaian kepatuhan standar pelayanan publik 2021 kepada 587 instansi pemerintah pusat dan daerah yang dirilis Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Rabu (29/12/2021), menunjukkan, jumlah pemerintah kabupaten (pemkab) dengan kepatuhan tinggi terhadap standar pelayanan publik menurun dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Dari 416 kabupaten, 103 atau 24 persen di antaranya masuk kategori zona hijau atau tingkat kepatuhan tinggi, 226 zona kuning (sedang), dan 87 kabupaten masuk zona merah (rendah).
Padahal, pada 2019, kabupaten dengan tingkat kepatuhan tinggi mencapai 33 persen. Selain itu, disparitas nilai antara pemerintah kabupaten dan tingkat kepatuhan tertinggi dengan terendah pun sangat jauh, yakni tertinggi 99,70 dan terendah 4,70.
Sementara pemerintah kota (pemkot), sebanyak 34 atau 34,6 persen dari 98 kabupaten masuk zona hijau. Adapun 61 kota dinilai memiliki kepatuhan sedang dan 3 kota dengan tingkat kepatuhan rendah. Untuk tingkat pemerintah provinsi, dari 34 provinsi di Indonesia, 13 provinsi tergolong memiliki kepatuhan tinggi, 19 provinsi kepatuhan sedang, dan 2 provinsi kepatuhan rendah.
Sedangkan dari 24 kementerian yang dinilai, 17 di antaranya tergolong memiliki kepatuhan tinggi dan 7 kementerian kepatuhan sedang. Sementara dari 15 lembaga, 12 lembaga memiliki tingkat kepatuhan tinggi dan 3 lembaga dengan tingkat kepatuhan sedang. Pada kementerian dan lembaga, tidak ada satu pun memiliki tingkat kepatuhan rendah.
Penilaian kepatuhan dilaksanakan berasaskan pada intergitas, kepatuhan, keadilan, nondiskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Ruang lingkup penilaian meliputi kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik terhadap pemenuhan standar pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penilaian dilakukan berdasarkan atas standar layanan elektonik dan non-elektronik untuk mendukung sistem pemerintahan berbasis elektronik.
Presiden Joko Widodo yang memberikan sambutan secara virtual mengatakan, pelayanan publik merupakan bukti nyata kehadiran negara di tengah masyarakat. Penilaian kepatuhan perlu dilakukan untuk melihat kemampuan, keberhasilan, dan kekurangan dalam proses pengembangan lembaga pelayanan publik agar semakin efektif, akuntabel, dan transparan.
”Pelayanan yang baik akan meninggalkan kesan yang baik. Sebaliknya, pelayanan yang buruk akan meninggalkan persepsi yang buruk, yang jika kita biarkan dapat menurunkan kepercayaan dan kredibilitas penyelenggara negara,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden berharap penyelenggaraan pelayanan publik bisa lebih baik lagi karena tuntutan masyarakat terus meningkat. Menurut dia, tidak akan ada toleransi bagi meraka yang memberikan pelayanan lambat, berbelit-belit, tidak ramah, dan tidak responsif. Oleh sebab itu, penyelenggara negara diminta untuk tidak cepat berpuas diri dengan apa yang sudah dikerjakan selama ini.
”Situasi terus berubah, penyelenggara pelayanan publik tidak bisa bekerja biasa-biasa saja. Harus segera mengubah cara berpikir, cara merespons, dan cara bekerja,” tutur Presiden.
Pelayanan yang baik akan meninggalkan kesan yang baik. Sebaliknya, pelayanan yang buruk akan meninggalkan persepsi yang buruk, yang jika kita biarkan dapat menurunkan kepercayaan dan kredibilitas penyelenggara negara.
Presiden juga menegaskan, pelayanan publik harus berorientasi pada hasil. Bagaimana memberikan pelayanan yang prima untuk memenuhi harapan serta kebutuhan masyarakat dengan cepat dan tepat. Namun, untuk mencapai pelayanan publik yang prima diperlukan komitmen, upaya bersama, sinergisitas antarlembaga, ikhtiar berkelanjutan, disiplin yang panjang, transformasi sistem, transformasi tata kelola, perubahan pola pikir, dan perubahan budaya kerja. ”Mengubah kebiasaan dilayani menjadi melayani,” ujarnya.
Di masa pandemi Covid-19, lanjut Presiden, penyelenggara layanan publik dipaksa bertransformasi dengan memanfaatkan lebih banyak teknologi untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Mereka perlu melakukan digitalisasi layanan untuk mempermudah akses dan memberikan pelayanan yang lebih cepat dan terjangkau. Upaya-upaya transformasi yang telah dilakukan di masa pandemi dapat menjadi modal awal untuk mengembangkan inovasi pelayanan publik demi menciptakan terobosan dan solusi.
”Sudah saatnya kita wujudkan birokrasi berkelas dunia secara merata di semua tingkatan di seluruh Indonesia,” ucap Presiden.
Ketua ORI Mokhammad Najih mengatakan, penilaian kepatuhan standar pelayanan publik telah dilakukan secara rutin sejak 2013. Penilaian dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pelayanan publik dalam mencegah malaadministrasi. Sebab, ketidakpatuhan pelayanan publik dikhawatirkan memicu malaadministrasi.
ORI, lanjut dia, menyoroti masih terdapat ketimpangan tingkat kepatuhan pelayanan publik antara pusat dan daerah. Hal ini patut diperhatikan karena dalam rezim otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi fokus dari penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan perizinan.
”Perhatian khusus diberikan kepada pemerintah kabupaten karena adanya penurunan di tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik. Hal ini berbeda dengan kementerian, lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota yang menunjukkan kecenderungan sebaliknya,” ujar Najih.
Di masa mendatang, menurut dia, survei ini akan ditingkatkan menjadi opini pengawasan pelayanan publik. Perubahan diharapkan bisa lebih berdampak pada tingkat kepatuhan di semua produk layanan dan dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan publik. ORI pun merencanakan advokasi pemerintah pusat agar hasil opini dijadikan basis penentuan dana insentif daerah bidang pelayanan publik di masa mendatang.
”Semoga penilaian kepatuhan standar pelayanan publik menjadi salah satu instrumen mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik dan pencegahan malaadministrasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai mandat konstitusi,” tutur Najih.
Bupati Kampar, Riau, Catur Sugeng Susanto, yang menerima penghargaan sebagai kabupaten dengan tingkat kepatuhan tertinggi mengatakan, penganugerahan ini menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerahnya. Penghargaan tersebut menjadi bukti kehadiran pemerintah daerah di tengah masyarakat dalam rangka peningkatan pelayanan publik.
”Semoga ke depan kami akan mampu mempertahankan pelayanan ini dan terus berinovasi sehingga masyarakat bisa senang dan bahagia,” katanya.
Wakil Wali Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rahmad Ma’ud, yang menerima penghargaan sebagai kota dengan tingkat kepatuhan tertinggi, mengatakan, penghargaan ini menjadi kebanggaan karena merupakan bentuk apresiasi pelayanan publik yang baik. Di sisi lain, penghargaan juga menjadi beban karena mesti mempertahankan dan memberikan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat.