Halim Perdanakusuma, dari Simulator Hercules sampai Revitalisasi Bandara
Tak hanya menjadi bandara internasional yang melayani penerbangan komersial, Halim Perdanakusuma juga menjadi Pangkalan Udara TNI AU. Lanud itu juga menjadi markas sejumlah skuadron dan satuan lain di bawah TNI AU.
Sebagian besar warga tentu mengenal Halim Perdanakusuma sebagai bandara internasional yang melayani penerbangan komersial reguler, sewa, ataupun penerbangan orang penting (VIP/VVIP). Namun, tidak semua orang tahu Halim Perdanakusuma juga merupakan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara.
Saat didirikan pada 1924, Bandara Halim Perdanakusuma diberi nama Lapangan Terbang Tjililitan. Tak hanya menjadi lapangan terbang pertama di Batavia (Jakarta), lapangan ini juga menerima penerbangan internasional pertama di Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1950, Lapangan Terbang Tjililitan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan langsung ditetapkan sebagai pangkalan udara militer. Pada 17 Agustus 1952, TNI AU mengganti nama menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Mengutip laman resmi TNI AU, nama Halim Perdanakusuma diambil untuk menghormati jasa dan pengabdian perwira tinggi TNI AU, yakni Komodor Muda Udara Abdul Halim Perdanakusuma. Salah satu peran penting perwira yang lahir di Sampang, Madura, pada 18 November 1922 tersebut adalah menyusun serangan balasan atas peristiwa Agresi Militer I Belanda pada 29 Juli 1947.
Kini, lanud yang memiliki luas keseluruhan 1.700 hektar dan memiliki landasan pacu sepanjang 3.000 meter tersebut menjadi markas dari Wing Udara 1, Skuadron Udara 2, Skuadron Udara 17, Skuadron Udara 31, Skuadron Udara 45, dan Skuadron Teknik 021.
Lanud Halim Perdanakusuma juga merupakan pangkalan terlengkap. Sebab, selain sebuah organisasi Wing, pangkalan ini ditempati lebih dari 20 satuan lain TNI AU, antara lain Markas Komando Operasi TNI AU I, Markas Komando Pendidikan TNI AU, Markas Komando Pertahanan Udara Nasional, serta Dinas Survei dan Pemotretan Udara.
Selain itu, sebagai pangkalan udara, Halim Perdanakusuma juga memiliki fasilitas untuk melatih para penerbang pesawat Hercules. Berbentuk seperti kotak, berwarna putih, itulah penampakan dari simulator C-130 H1. Disokong kuda-kuda besi di empat titik, kotak tersebut dapat bergerak naik dan turun di keempat sisinya.
Seperti yang disaksikan Kompas pada Selasa (22/12/2021), secara berlahan, ”kotak”” tersebut bergerak. Dari posisi diam, salah satu sisi kotak kemudian bergerak ke atas, sementara sisi sebaliknya bergerak turun, seolah kotak tersebut ”mendongak”. Tidak berapa lama, kotak tersebut kembali dalam posisi mendatar meski kemudian sisi-sisi lainnya kembali bergerak.
”Ini adalah full flight simulator untuk pesawat Hercules yang dapat memberikan pengalaman riil sampai 95 persen,” ujar Mayor Penerbang Ulung, Kepala Fasilitas Penerbang di bawah Wing Udara 1 yang bermarkas di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Pengalaman riil yang dimaksud Ulung adalah berlatih di dalam kokpit yang dilengkapi instrumen, seperti pesawat aslinya, kemudian situasi penerbangan yang dapat disesuaikan baik untuk penerbangan pagi, siang, sore maupun malam hari. Selain itu, simulator tersebut dapat diatur untuk mode kondisi berawan, turbulensi, sampai kondisi darurat.
Menurut Ulung, pilot perlu untuk berlatih menghadapi situasi semacam itu agar ketika terbang, mereka mampu mengatasi situasi darurat. Paling tidak pilot tak salah menekan tombol dan bisa berkomunikasi dengan bagian teknisi.
Pada fasilitas tersebut, terdapat dua unit simulator bagi penerbang pesawat Hercules. Simulator itu dibeli dari Kanada sekitar dua dekade lalu, mulai dirakit pada 1999 hingga kemudian dioperasikan pada 2000. Harganya? Dua kali lipat dari harga pesawat asli. Setelah cukup lama mengabdi, pada 2019, simulator tersebut menjalani perawatan peningkatan perangkat lunak dan panel layar.
Masih di Lanud Halim Perdanakusuma, terdapat pula Skuadron Udara 17 yang mengoperasikan pesawat bagi VIP/VVIP. Sebagai skuadron yang bisa dikatakan mengawaki ”air force one"-nya Indonesia, skuadron ini dilengkapi dengan pesawat untuk mengangkut penumpang, seperti Boeing 737-500. Pesawat-pesawat penumpang itu di antaranya digunakan oleh presiden dan wakil presiden untuk melakukan lawatan, baik di dalam maupun luar negeri.
Lanud Halim Perdanakusuma juga menjadi markas bagi Skuadron Udara 2 yang mengoperasikan pesawat angkut, seperti CN-235 dan CN-295. Yang terbaru, Skuadron Udara 2 mengoperasikan pesawat CN-295/A-2910. Pesawat yang dilengkapi dengan perangkat radar tersebut memang merupakan pesawat pengawas maritim. Pesawat yang dapat diawaki tujuh orang tersebut, termasuk operator radar, dapat mendeteksi berbagai aktivitas di permukaan laut.
Pangkalan Udara yang terletak di Jakarta Timur itu juga menjadi markas Skuadron Udara 31 yang mengoperasikan pesawat angkut berat C-130 Hercules. Komandan Skuadron Udara 31 Letkol (Pnb) Anjoe Manik mengatakan, sebagai tulang punggung untuk pengangkutan berat, C-130 telah digunakan untuk berbagai operasi, baik operasi militer perang maupun nonperang, mengangkut pasukan, dan juga logistik.
Baca juga : Hercules pun Digunakan Mudik
Di Indonesia, pesawat angkut C-130 banyak dilibatkan untuk mendukung misi-misi kemanusiaan. Ketika terjadi gempa di Palu, Sulawesi Tengah, pesawat C-130 Hercules menjadi pesawat yang mendarat di sana 6 jam setelah kejadian.
”Skuadron 31 dikenal sebagai quick response. Kesiapan operasi ini yang kita pertahankan. Maka, setiap ada pesawat yang kembali dari tugas akan langsung diperiksa. Total ada 10 pesawat hercules C-130 tipe long body,” ujar Anjoe.
Dalam paparannya kepada awak pers, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, untuk pesawat angkut berat, pemerintah telah menandatangani kontrak pembelian lima pesawat angkut Hercules C-130 tipe J. Jika tidak ada aral melintang, pesawat tersebut akan tiba di Tanah Air sekitar akhir tahun 2022.
Saat ini, kata Fadjar, TNI AU memiliki total 33 pesawat Hercules. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan, tidak ada negara yang mengoperasikan pesawat Hercules sebanyak itu. Namun, alih-alih bicara mengenai kuantitas, yang harus diperhatikan adalah kesiapannya.
TNI AU memiliki total 33 pesawat Hercules. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan, tidak ada negara yang mengoperasikan pesawat Hercules sebanyak itu.
”Tentang jumlah lima pesawat Hercules C-130J yang akan dibeli itu sudah luar biasa. Karena kami sudah merencanakan ada transisi untuk menghentikan operasi Hercules tipe B karena usianya saat ini sudah hampir 40 tahun. Tapi, jangan khawatir, sistem pemeliharaannya kita usahakan optimal demi safety,” ujarnya.
Menurut Fadjar, Hercules merupakan pesawat yang menjadi tulang punggung ketika terjadi bencana. Terkait dengan kesiapannya, hambatan yang dihadapi TNI AU adalah ketersediaan anggaran serta selama beberapa waktu terakhir adalah pandemi Covid-19. Sebab, selama pandemi ini, pengiriman suku cadang pesawat Hercules kerap terkendala.
Dalam bukunya, Plan Bobcat: Transformasi Menuju Angkutan Udara yang Disegani di Kawasan (2021), Fadjar mengatakan, untuk mobilitas udara, TNI AU banyak bertumpu pada pesawat angkut C-130H Hercules, CN-295, CN-235, EC-120 Colibri, NAS-332 Super Puma, dan EC -725 Caracal. Dengan tuntutan misi udara yang semakin dinamis, TNI AU membutuhkan pesawat dan helikopter angkut yang lebih banyak.
”Operasi angkutan udara sangat dibutuhkan di masa damai untuk mendukung pengiriman logistik satuan TNI AU dan satuan dari matra lain yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan juga mendukung banyak misi kemanusiaan dan tanggap bencana,” katanya.
Revitalisasi Halim Perdanakusuma
Sebagaimana telah diberitakan di berbagai media massa, Bandara Halim Perdanakusuma akan ditutup per 1 Januari 2022. Penutupan tersebut dilakukan karena akan dilakukan revitalisasi di Bandara Halim Perdanakusuma, khususnya memperbaiki landasan pacu (runway) secara total.
”Itu adalah perintah Bapak Presiden karena beliau merasakan betul runway-nya itu sudah kasar. Oleh karena itu, beliau memerintahkan perbaikan, utamanya runway yang memang sudah berusia tua. Dan tanah di sekitar Halim itu seperti terjadi penurunan. Akibatnya, runway itu sudah mendekati ambang batas aman,” ucap Fadjar.
Selain perbaikan total landasan pacu, akan dilakukan perluasan apron untuk kepentingan militer. Tidak hanya itu, renovasi juga akan mencakup gedung bagi VIP dan gedung terminal bagi Angkatan Udara. Adapun yang akan memimpin revitalisasi Bandara Halim Perdanakusuma semua adalah Kementerian Perhubungan.
Baca juga : Demi Keselamatan, Bendara Halim Perdanakusuma Siap Direvitalisasi
Menurut Fadjar, penutupan Bandara Halim Perdanakusuma memang membuat banyak pihak keberatan, termasuk operator penerbangan. Sebab, mereka sudah memiliki jadwal yang pasti, termasuk memiliki kontrak dengan pihak lain. Dan tidak hanya operator penerbangan atau maskapai, skuadron udara TNI AU pun harus menyesuaikan diri dengan rencana tersebut.
Untuk Skuadron Udara 17 yang mengawaki pesawat kepresidenan, rencananya akan dipindah sementara ke Bandara Soekarno-Hatta. Di sana telah disediakan tempat seperti hanggar dan terminal khusus bagi Skuadron Udara 17.
Kemudian, untuk Skuadron Udara 2 dan 31 akan dipindah sementara ke Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Demikian pula untuk pesawat yang siap beroperasi juga dipindah ke sana. Demikian pula personel dari kedua skuadron tersebut akan bergantian tugas di sana. Bandara Husein Sastranegara dipilih karena lokasinya tidak terlalu jauh dari Jakarta.
”Kalau kami tidak berkorban memindahkan, tidak akan jalan perbaikan di sini. Tetapi, ini soal safety. Harapannya, dengan perbaikan itu, usia runway bisa digunakan setidaknya untuk 20 tahun ke depan,” kata Fadjar.
Tidak hanya menjadi pangkalan militer TNI AU, peran Bandara Halim Perdanakusuma juga berperan besar untuk penerbangan sipil. Bandara yang terletak di Ibu Kota tersebut juga menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa, termasuk menyaksikan lalu lalangnya orang-orang penting dari berbagai belahan dunia.