Empat Hari Jelang Akhir 2021, Perkara di MA Tinggal 167 Kasus, Bagaimana Kualitasnya?
Seperti tahun lalu, meski masih pandemi Covid-19, penanganan perkara di MA tetap tinggi. Secara kuantitas, hingga akhir 2021, MA berhasil putuskan 99,13 persen perkara atau kini tinggal 167 kasus. Kualitasnya bagaimana?
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin (tengah) didampingi jajaran pimpinan struktur organisasi dan pejabat eselon I MA menghadiri acara Refleksi Akhir Tahun 2021 ”Bersinergi untuk Membangun Kepercayaan Publik” di Gedung MA, Jakarta, Rabu (29/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun masih dalam suasana pandemi Covid-19, produktivitas penanganan perkara di Mahkamah Agung tetap tinggi. Secara kuantitas, hingga akhir tahun 2021, MA berhasil memutus 99,13 persen perkara atau sebanyak 19.087 perkara dari total 19.254 perkara. MA juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas putusan perkara.
Berdasarkan catatan Kompas, MA pada tahun lalu juga berhasil menyelesaikan 99,04 persen perkara yang masuk pada 2020 dan tinggal menyisakan 199 perkara. Ini merupakan rekor sisa perkara terkecil yang pernah dimiliki MA.
Meski demikian, catatan peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, menemukan banyak putusan di lingkungan peradilan MA dengan pertimbangan yang janggal. Ada putusan yang tidak terkoneksi antara yang dimohon dan yang diputus. Ada pula putusan dengan pertimbangan tidak jelas atau kabur dan putusan dengan pertimbangan yang template.
Dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2021 ”Bersinergi untuk Membangun Kepercayaan Publik” di Gedung MA, Jakarta, Rabu (29/12/2021), Ketua MA M Syarifuddin berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas keputusan guna meningkatkan citra MA dan peradilan di bawahnya. Refleksi itu dihadiri jajaran pimpinan struktur organisasi dan pejabat eselon I di lingkungan MA.
Syarifuddin menyebutkan sudah menjadi tradisi MA untuk menyampaikan capaian kinerja yang telah dilakukan selama setahun. Dalam bidang penanganan perkara, hingga 27 Desember 2021, MA telah memutus sebanyak 19.087 perkara dari total 19.254 perkara. Artinya, MA berhasil menyelesaikan 99,13 perkara yang masuk selama setahun. Rasio produktivitas penanganan perkara ini jauh melampaui target yang ditetapkan, yaitu sebesar 75 persen. MA berhasil melampaui target hingga 24,13 persen dari target awal.
”Jumlah sisa perkara sampai dengan 27 Desember 2021 tercatat sebanyak 167 perkara. Jumlah itu masih bisa berubah karena sampai saat ini masih ada yang bersidang,” kata Syarifuddin kepada wartawan, Kamis.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali melantik lima hakim agung dan tiga hakim ad hoc di Gedung MA, Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Jumlah sisa perkara sampai tanggal 27 Desember 2021 tercatat 167 perkara. Jumlah itu masih bisa berubah karena sampai saat ini masih ada yang bersidang.
Syarifuddin menjelaskan, minutasi atau lamanya perkara diputus sejak diregistrasi di MA juga meningkat. Dari 19.087 perkara yang diputus pada tahun 2021, sebanyak 97 persen atau 18.514 perkara diputus dengan jangka waktu kurang dari tiga bulan. Kinerja minutasi perkara ini meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun lalu. Bahkan, sebanyak 21.253 berkas perkara atau 111,54 persen jumlah perkara yang masuk pada tahun 2021 sudah dikembalikan ke pengadilan pengaju.
Syarifuddin juga menyadari produktivitas penanganan perkara secara kuantitas harus diikuti pula dengan perbaikan kualitas putusan. Sebelumnya, dalam rapat pleno kamar MA di Bandung, Jumat (19/11/2021), MA juga membahas tentang peningkatan kualitas putusan dalam perkara yang diadili MA ataupun badan peradilan di bawahnya. MA menyadari kualitas putusan yang diadili akan berdampak signifikan terhadap citra dan nama baik mereka.
”Saya sampaikan memang mengenai kualitas putusan, kita tidak menginginkan putusan yang tidak bertanggung jawab. Putusan harus dibuat dengan argumentasi hukum yang kuat, pertimbangan yang runtut, jelas, dan mudah dipahami,” katanya.
Lebih jauh Syarifuddin juga memerintahkan hakim agung dan jajarannya untuk membuat putusan dengan dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, sepanjang 2021, MA telah menerbitkan lima surat edaran MA (SEMA) yang di antaranya juga memberikan panduan kepada hakim untuk membuat pertimbangan yang baik. Pertimbangan hukum putusan yang baik mencakup sebab, akibat, dan dampak sehingga putusan dapat dikatakan benar menurut hukum dan logika.
Selain lima SEMA, MA juga mengeluarkan tiga peraturan MA, yaitu tentang pengadaan hakim, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Pengadilan Niaga.
”Putusan hakim sekarang harus berkualitas, jangan sampai terjadi putusan-putusan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Syarifuddin.
ISTIMEWA
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin (tengah) didampingi jajaran pimpinan struktur organisasi dan jajaran pejabat eselon I MA menghadiri acara Refleksi Akhir Tahun 2021 ”Bersinergi untuk Membangun Kepercayaan Publik” di Gedung MA, Jakarta, Rabu (29/12/2021).
Syarifuddin juga tidak berharap ada banyak disparitas putusan yang dihasilkan oleh hakim. Khusus untuk perkara pidana khusus seperti korupsi, sudah diterbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perma dibuat untuk menghindari disparitas hukuman yang mencolok bagi satu koruptor dengan koruptor lainnya.
Menurut Syarifuddin, tidak ada perkara yang sama persis karena peran dan tanggung jawab seseorang dalam perkara yang hampir sama pasti berbeda. Hakim juga memiliki prinsip independensi atau kebebasan dalam memutus suatu perkara. Yang menjadi persoalan, lanjutnya, jika disparitas putusan dalam perkara yang mirip terlalu jauh. Ini bisa disebut sebagai disparitas putusan yang tidak bertanggung jawab karena tidak memuat pertimbangan hukum yang jelas dan bisa dimengerti.
Banyak putusan dengan pertimbangan yang parah. Ada putusan yang tidak terkoneksi antara yang dimohon dan yang diputus. Ada pula putusan dengan pertimbangan tidak jelas atau kabur dan putusan dengan pertimbangan yang template.
”Kami telah membuat pedoman pemidanaan untuk perkara korupsi dengan Perma Nomor 1 Tahun 2020 untuk mengurangi disparitas putusan dalam penanganan perkara korupsi,” kata Syarifuddin.
Sebelumnya diberitakan, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, menemukan banyak putusan dengan pertimbangan yang parah. Ada putusan yang tidak terkoneksi antara yang dimohon dan yang diputus. Ada pula putusan dengan pertimbangan tidak jelas atau kabur dan putusan dengan pertimbangan yang template.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Ngaro (kiri) membacakan surat pemberhentian sementara Kayat, hakim PN Balikpapan, yang diduga menerima suap, pada Senin (6/5/2019) di Jakarta, didampingi Abdullah dari Biro Humas dan Hukum MA.
Arsil juga mengaku banyak menemukan putusan MA dengan pertimbangan yang kurang tepat. Dalam banyak perkara korupsi, dia menemukan ada nuansa prejudice hakim saat memutus. Itulah yang kemudian membuat MA sering melipatgandakan hukuman terdakwa korupsi pada suatu masa.
”Ada pula putusan yang tidak nyambung antara yang dimohon dan yang diputus karena faktor hakim agung tidak membaca memori kasasi,” kata Arsil (Kompas, 16/11/2021).