Kesetaraan Jender Terhambat Politik Oligarki dan Fundamentalisme Agama
Dua agenda penting Reformasi 1998, yakni partisipasi politik perempuan dan perjuangan melawan kekerasan, sampai saat ini belum juga tercapai. Oligarki dan fundamentalisme agama ditengarai sebagai sebab.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
Kompas/Yuniadhi Agung
Aktivis memegang poster saat hadir dalam aksi menyambut Hari Perempuan Sedunia di kawasan sekitar Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Senin (8/3/2021). Mereka menyuarakan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan di Indonesia, antara lain, masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan serta ketidaksetaraan dalam berbagai hal.
JAKARTA, KOMPAS — Kesetaraan dan keadilan jender yang merupakan pijakan penting untuk merealisasikan demokrasi terhambat oleh politik oligarki dan fundamentalisme agama. Akibatnya, agenda reformasi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur juga semakin tertinggal.
Direktur Pusat Studi Gender dan Demokrasi (PSGD) LP3ES Julia Suryakusuma, Selasa (28/12/2021), mengungkapkan, saat ini terjadi peningkatan oligarki di Indonesia. Kekuasaan berada di tangan segelintir orang sehingga pemerintah pun sulit menjalankan tugasnya dengan baik.
Tak hanya itu, menurut Julia, sekarang ini terjadi pula peningkatan konservatisme agama. Kondisi itu tak hanya bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga menghambat terwujudnya kesetaraan jender. ”Padahal, tanpa kesetaraan jender, kita tidak akan bisa menciptakan masyarakat adil, makmur, dan kuat,” katanya.
PSGD merupakan institusi baru di LP3ES yang diluncurkan pada Selasa ini. Pendirian PSGD dianggap mendesak karena saat ini terjadi penurunan praktik demokrasi secara global, termasuk di Indonesia.
Dalam acara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM) Kamala Chandrakirana mengingatkan, partisipasi politik perempuan adalah salah satu agenda penting Reformasi 1998. Sama seperti agenda-agenda lain yang berkembang pada tahun-tahun awal, saat ini Kamala melihat aspirasi itu belum tercapai. Salah satunya partisipasi 30 persen perempuan di parlemen yang hingga 23 tahun reformasi belum juga tercapai.
Selain itu, dari sisi substansi, perempuan yang menjadi wakil di parlemen umumnya merupakan hasil dari politik dinasti. Calon anggota legislatif (caleg) perempuan yang otonom dan merupakan bagian dari gerakan perempuan kebanyakan gugur secara sistematis. Menurut Kamala, hal ini menunjukkan bagaimana politik dikuasai elite yang menghidupkan sistem ekonomi politik ekstraktif dan oligarkis.
Tanpa kesetaraan jender, kita tidak akan bisa menciptakan masyarakat adil, makmur, dan kuat.
Agenda kedua, yaitu perjuangan perempuan melawan kekerasan, juga belum terpenuhi. Pada awal reformasi, masyarakat sipil berhasil mendorong pemerintah dan DPR untuk membentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Namun, saat ini perjuangan untuk memiliki undang-undang yang menentang kekerasan seksual masih belum membuahkan hasil. Tidak sedikit kalangan yang menentang pembentukan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang rancangannya sudah selesai dibahas di tingkat Badan Legislasi DPR.
Kolaborasi
Sementara itu, Guru Besar Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Musdah Mulia mengatakan, kesetaraan dan keadilan jender bertujuan untuk membangun manusia yang beradab dan beretika. Ketimpangan jender merupakan persoalan kolektif sehingga harus diatasi dalam bentuk upaya kolaborasi.
Kompas/Yuniadhi Agung
Aktivis memegang poster saat hadir dalam aksi menyambut Hari Perempuan Sedunia di kawasan sekitar Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Senin (8/3/2021). Mereka menyuarakan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan di Indonesia, antara lain, masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan serta ketidakkesetaraan dalam berbagai hal.
Ia menyoroti, ketidakseteraan jender masih sangat masif. Misalnya, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan. Kondisi itu, menurut Musdah, di antaranya disebabkan rendahnya literasi agama karena pelajaran agama lebih banyak difokuskan pada ritual ibadah. Penyebab lain adalah adanya kelompok fundamentalis Islam yang memanfaatkan ajaran agama untuk melegitimasi kekuasaan patriarki sekaligus meminggirkan perempuan dari arena publik.
Musdah mengamati, dua tahun setelah reformasi, politisasi Islam mengalami peningkatan. Sampai saat ini setidaknya ditemukan 400 kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Islam dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek dan menengah. ”Bahkan, hal ini dilakukan partai-partai yang katanya nasionalis,” tuturnya.
Noor Fauzi Rachman, dosen Universitas Padjadjaran, juga menyoroti berbagai sebab belum tercapainya kesetaraan dan keadilan jender. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh banyaknya ketergantungan secara budaya, ekonomi, dan sosial. Selain itu, masih banyak norma-norma yang secara sistemik menurunkan derajat kaum perempuan.