Dalam peluncuran buku ”Menghidupkan Gus Dur”, jasa Gus Dur memajukan kemanusiaan kembali diceritakan. Pada kesempatan itu, KH Yahya Cholil Staquf disebut sebagai sosok yang bisa menerjemahkan pemikiran Gus Dur.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Sudah lama nama KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dikaitkan dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Apalagi ketika Yahya menjadi juru bicara Gus Dur saat menjabat Presiden ke-4 RI. Ia berada di garis depan memberikan penjelasan, menampik isu, bahkan melakukan serangan balik di tengah gempuran politik hingga Gus Dur dimakzulkan lewat Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001.
Kini, 20 tahun kemudian, Minggu (19/12/2021), beberapa hari menjelang pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU yang akan mulai diadakan pada 22 Desember, Gus Yahya meluncurkan buku tentang Gus Dur. Buku berjudul Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf ini ditulis AS Laksana. Penulisan dilakukan berdasarkan obrolan-obrolan di rumah Gus Yahya sekian tahun yang lalu.
Gus Yahya masih ingat pertemuan pertamanya dengan Gus Dur. Saat itu, tahun 1987, tengah ada acara di sebuah hotel di bilangan Tebet, Jakarta. Yahya muda tengah berada di kamar pamannya, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, saat Gus Dur bertandang. Berhubung Gus Mus permisi ke kamar kecil cukup lama, Yahya pun bercakap-cakap dengan Gus Dur yang telah lama menjadi idolanya.
Kala itu, menurut Yahya, Gus Dur bercerita tentang Yayasan Empati yang banyak mengadakan diskusi tentang demokrasi. Yayasan itu baru dibentuk Gus Dur bersama Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Alwi Shihab, dan beberapa tokoh intelektual Islam pada masa itu. Yahya yang saat itu lugu tentu saja terkagum-kagum saat Gus Dur menunjukkan transkrip diskusi demokrasi tersebut.
Namun, tiba-tiba perhatian Gus Dur tertuju pada cincin akik Gus Mus yang ada di atas meja. Cincin itu segera ia pakai dan berkata kepada Yahya sambil memperagakan ucapannya. ”Ini ada ilmu baru. Kalau cincin ini ditaruh di ujung jari seperti ini, lalu diukur dan pas, itu berarti jodoh,” tukas Gus Dur.
Yahya tentu saja kebingungan dengan arah pembicaraan yang tiba-tiba berubah itu. Tapi, ia hanya bisa manggut-manggut. Sekian tahun kemudian dia baru berpikir, mungkin saat itu Gus Dur tengah menguji kepercayaan Yahya kepadanya. ”Mungkin, loh,” kata Yahya sambil tertawa.
Salah satu Ketua Tanfidziyah PBNU, Saifullah Yusuf, yang menjadi tuan rumah acara itu, mengatakan, Gus Yahya identik, walau tidak sama persis dengan Gus Dur. Dari sekian banyak kader Gus Dur, Gus Yahya adalah sosok yang paling bisa menerjemahkan pemikiran Gus Dur. Sementara moderator Abdul Gaffar Karim, yang juga dosen Universitas Gadjah Mada, mengatakan, memahami Gus Dur bisa dilakukan dengan membaca tulisan dari orang-orang yang pernah menjadi bagian dari Gus Dur.
Sebagai penulis buku, AS Laksana melihat, Gus Yahya di masa mudanya pernah memiliki berbagai kegelisahan. Ia bertanya-tanya tentang bagaimana peran Islam, pesantren, dan Nahdlatul Ulama di tengah perubahan. Jawaban atas berbagai kegelisahan itu ditemukan Gus Yahya pada Gus Dur yang kemudian membawa kapal raksasa bernama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dari pinggiran yang kian signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
PBNU membawa maslahat kepada warga NU. Selain itu, jaringan yang dibuat Gus Dur bertahun-tahun sebelumnya membuatnya fasih dalam mengelola berbagai wacana terkait perkembangan demokrasi.
Laksana secara pribadi melihat Gus Dur itu menggunakan agama Islam untuk membela kemanusiaan. Hal ini membuatnya bisa bergerak ke mana-mana, bahkan menghilangkan sekat-sekat sektarian yang ada. Ini yang membuat masyarakat Indonesia banyak berterima kasih kepada Gus Dur.
Gus Yahya di masa mudanya pernah memiliki berbagai kegelisahan. Ia bertanya-tanya tentang bagaimana peran Islam, pesantren, dan Nahdlatul Ulama di tengah perubahan. Jawaban atas berbagai kegelisahan itu ditemukan Gus Yahya pada Gus Dur.
Sosok Gus Yahya dinilai Laksana sebagai sosok yang beruntung. Ia tidak saja menjadi juru bicara, tetapi juga berada di samping Gus Dur ketika terjadi saat-saat kritis di istana. Watak seseorang yang sesungguhnya akan muncul ketika orang itu berada di masa kritis.
”Gus Dur yang otentik itu muncul dalam bentuk ketika bagaimana dia melihat masalah, mengambil keputusan, dan memaknai realitas,” kata Laksana.
Ipang Wahid, sepupu Gus Yahya, bercerita, ia mengenal Gus Dur, pamannya, tidak sedalam Gus Yahya. Namun, baginya, yang jelas dari Gus Dur adalah humanismenya. ”Sisi kemanusiaan Gus Dur itu yang membuat Islam lebih dicintai banyak orang, bukan hanya umat Muslim, melainkan juga umat-umat lain yang ingin mengenal Islam lebih dalam,” kata Ipang.
Seniman Eros Djarot mengatakan, sebelum ia bertemu Gus Yahya, Gus Dur telah memuji kualitas tokoh muda itu. Dengan bercanda, Eros mengatakan, jadi dosa kebudayaan kalau Gus Yahya tidak melaksanakan tugas-tugas Gus Dur di saat ini.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar juga menilai Gus Yahya sebagai sosok yang bisa memahami dan menyelami pikiran-pikiran Gus Dur. Mereka kerap berdiskusi. Keduanya juga punya keberanian. Yenny Zannuba Wahid, salah satu anak Gus Dur, juga mengucapkan terima kasih kepada Gus Yahya yang tidak saja mendampingi Gus Dur di periode yang sangat penting, penuh nilai sejarah dan momentum, tetapi juga karena telah menuliskan tentang kehidupan Gus Dur dan nilai-nilai yang dipegangnnya.
Bagi Gus Yahya, yang saat ini menjadi Katib Aam PBNU, nilai-nilai Gus Dur masih relevan hingga saat ini. Demikian juga ilmu dan keterampilan politiknya. Oleh karena itu, penting untuk mentransformasi semua itu menjadikan kehadiran Gus Dur dalam bentuk kinerja ”laksana Gus Dur”.
”Dan, tidak ada tempat yang lebih tepat untuk melakukan itu semua selain NU. Gimana membangun NU untuk menjadi wasilah, media untuk menghidupkan Gus Dur,” kata salah satu calon Ketua Umum PBNU ini.