Andika Perkasa Muncul di Bursa Capres Pilihan Publik
Dari 24 capres pilihan responden, tiga teratas diisi oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (25,8 persen), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (22,3 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (17,7 persen).
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei Charta Politika menunjukkan sejumlah nama calon presiden pilihan responden. Serupa dengan jajak pendapat yang dilakukan lembaga-lembaga lain sebelumnya, nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berada pada posisi tiga besar. Namun, kali ini muncul nama baru yang jarang ditemukan dalam survei lain, yakni Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam jumpa pers daring, Senin (20/12/2021), menjelaskan, dalam survei yang dilakukan pada 29 November-6 Desember 2021, terjaring setidaknya 24 nama calon presiden (capres) yang menjadi pilihan responden jika pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan saat ini. Jajak pendapat dilakukan dengan cara wawancara tatap muka dengan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dari 24 capres pilihan responden, tiga posisi teratas diisi oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (25,8 persen), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (22,3 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (17,7 persen). Selain itu, terdapat nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (5,4 persen), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno (4 persen), serta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (2,3 persen).
Di luar nama-nama yang selalu ada dalam survei berbagai lembaga beberapa bulan ke belakang itu, muncul pula nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Di luar nama-nama yang selalu ada dalam survei berbagai lembaga beberapa bulan ke belakang itu, muncul pula nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Elektabilitasnya mencapai 0,9 persen atau di bawah sejumlah tokoh, seperti Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir (1,3 persen), mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (1,1 persen) dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar (1 persen). Meski demikian, elektabilitas Andika lebih tinggi ketimbang Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDI-P Puan Maharani (0,8 persen) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto (0,5 persen).
Selain muncul di bursa capres, Andika juga ada di bursa cawapres. Dari 14 nama yang ada, Panglima TNI itu berada di urutan kesembilan dengan perolehan 2,2 persen. ”Andika Perkasa sedang mendapatkan momentum karena baru dilantik menjadi panglima dan kegiatannya selalu diekspos,” kata Yunarto.
Meski demikian, tambahnya, elektabilitas Andika masih jauh dibandingkan capres pilihan responden lainnya. Kemunculan sosok baru itu belum berpotensi untuk bersaing dengan nama-nama yang sudah ada sebelumnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, kemunculan Andika dalam bursa capres pilihan publik salah satunya disebabkan sindrom siklus sepuluh tahunan latar belakang presiden. ”Setelah Jokowi memimpin selama dua periode, ada kecenderungan publik menginginkan sosok berlatar belakang militer kembali tampil pada 2024, tentu selain Prabowo dan AHY,” katanya.
Selain itu, sepak terjang Andika juga sudah lama menjadi pembicaraan publik. Terutama ketika menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), ia aktif membuat berbagai program yang diapresiasi publik. Andika juga kerap jadi sorotan media.
Catatan Kompas, Andika gencar tampil di media sosial. Selama menjabat sebagai KSAD pada 2018-2021, akun Youtube TNI AD mengunggah lebih dari 1.000 video yang sebagian besar menampilkan kegiatan dan kepribadian Andika.
Menurut Adi, sejumlah sosok capres yang muncul, baik berlatar belakang sipil maupun militer, sama-sama memikul tugas untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia yang berada pada titik terendah beberapa tahun terakhir. ”Ini PR besar bersama bahwa latar belakang capres bukan jaminan bisa menjaga kualitas demokrasi,” ujarnya.
Penegakan hukum terpuruk
Selain capres pilihan responden, survei juga merekam penilaian publik atas kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Secara keseluruhan, kepuasan publik atas kerja pemerintah mencapai 70,1 persen, naik dibandingkan survei pada Juli 2021, yakni 62,4 persen.
Akan tetapi, bidang penegakan hukum mengalami keterpurukan. Sebanyak 48,4 persen responden menilai buruk penegakan hukum di Indonesia.
Akan tetapi, bidang penegakan hukum mengalami keterpurukan. Sebanyak 48,4 persen responden menilai buruk penegakan hukum di Indonesia. Penilaian buruk ini pun cenderung naik sejak awal 2021. Pada survei yang sama pada Januari lalu, penilaian buruk penegakan hukum mencapai 30,8 persen, menjadi 32,2 persen pada Februari, 29,9 persen pada Maret, dan 47,3 persen pada Juli.
Berkebalikan dengan penilaian buruk yang terus naik, penilaian baik publik terhadap sektor penegakan hukum juga cenderung turun. Pada Januari, nilai baik penegakan hukum mencapai 57,2 persen, kemudian turun menjadi 56,8 persen pada Februari, 56,4 persen pada Maret, 49,5 persen pada Juli, dan 50,6 persen pada Desember.
”Ada pekerjaan rumah besar di bidang penegakan hukum. Ini bisa jadi terkait dengan isu putusan pengadilan yang tidak memberikan rasa keadilan, juga berbagai pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum,” kata Yunarto.
Ia menambahkan, keterpurukan juga tampak dari penilaian responden terhadap institusi penegak hukum berkinerja paling baik. Kondisi penegakan hukum masuk kategori baik setidaknya ketika ada lembaga yang mendapatkan poin 30 persen. Namun, dari lima institusi, peringkat pertama ditempati oleh Polri (26,7 persen). Korps Bhayangkara unggul dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (25,6 persen), Mahkamah Konstitusi (10,7 persen), Kejaksaan Agung (8,5 persen), dan Mahkamah Agung (6,9 persen).
Menurut Yunarto, meski saat ini kerap menjadi sorotan publik karena pelanggaran yang dilakukan anggotanya, Polri mendapatkan penilaian baik karena lingkup tugasnya berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, selalu ada dua cara pandang masyarakat terhadap institusi tersebut.
Selain itu, peran Polri juga semakin mengemuka ketika KPK meredup. Hal ini juga terlihat dari jajaran lembaga yang dipercaya publik. Polri saat ini berada di peringkat ketiga setelah Presiden dan TNI, lebih tinggi daripada KPK yang berada pada peringkat kelima.
Kompas telah menghubungi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani untuk meminta tanggapan terkait kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum serta strategi perbaikan yang akan dilakukan ke depan. Namun, hingga Senin malam, keduanya tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan melalui pesan singkat.
Secara terpisah, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, mengapresiasi kerja Polri yang masih mendapatkan kepercayaan publik tinggi di tengah berbagai kritik beberapa bulan terakhir. Hal ini menunjukkan, Polri mampu bersikap responsif menjawab keinginan publik, misalnya dengan menjatuhkan sanksi etik, disiplin, dan pidana bagi personel yang melanggar ketentuan sehingga merugikan masyarakat.
”Pelaksanaan sayembara mural dan orasi publik baru-baru ini juga merupakan bentuk upaya responsif Polri dalam mengelola kebebasan berpendapat dan wujud empati kepada masyarakat,” ujarnya.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, mengapresiasi kerja Polri yang masih mendapatkan kepercayaan publik tinggi di tengah berbagai kritik beberapa bulan terakhir.
Dalam konteks penegakan hukum, kata Yusuf, Polri harus bisa menjadi pelopor untuk menerapkan etika penegakan hukum yang berkeadilan. Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo telah memulainya dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif untuk beberapa jenis kejahatan, contohnya ujaran kebencian. Penerapannya pun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh karena ini merupakan bagian dari pendekatan hukum yang progresif dan berpihak pada kemanusiaan.
Selain itu, Polri juga telah merekrut 44 mantan pegawai KPK dan berjanji untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Pembuktian komitmen ini ditunggu oleh masyarakat sebagai wujud penguatan kembali sektor penegakan hukum yang selama ini dinilai melemah. ”Maka, kita menunggu apakah benar-benar akan ada Korps Pemberantas Korupsi yang sedang direncanakan itu,” ujar Yusuf.