Suap Petugas Bea Cukai, MA Perberat Hukuman Importir Tekstil
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (17/12/2021), mengatakan, majelis kasasi MA menilai Irianto, pengusaha impor tektil, terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Agung memperberat hukuman Irianto, Direktur Peter Garmindo Prima yang menyuap petugas Bea Cukai dari tiga tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. Irianto terbukti menyuap petugas Bea Cukai sehingga berdampak pada membanjirnya impor tekstil yang merugikan negara mencapai Rp 1,6 triliun.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (17/12/2021), mengatakan, majelis kasasi MA menilai Irianto telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan,” kata Andi.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan”
Sebelumnya Putusan perkara nomor 4952 K/Pid.Sus/2021 itu dibacakan oleh majelis hakim agung yang terdiri dari Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani. Adapun, kasasi diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut bahwa terdakwa telah memberikan sejumlah uang kepada pejabat bea dan cukai pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam yaitu Mokhammad Mukhlas, Hariyonoadi Wibowo, Dedi Aldrian, dan Kamaruddin Siregar. Mereka adalah pejabat yang memiliki kewenangan mengawasi lalu lintas barang impor tekstil.
Para pejabat ini diberi uang suap senilai Rp 5 juta per kontainer tekstil impor. Total nilai suapnya untuk 390 kontainer impor tekstil senilai Rp 1,95 miliar. Selaku importir, Irianto mendapatkan keuntungan berupa impor tekstil dari negara China melalui Kawasan bebas Batam ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta.
Majelis hakim juga berpandangan, perkara suap impor tekstil ini telah merugikan keuangan negara senilai total Rp 1,6 triliun. Dengan aturan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, majelis menilai terdakwa lebih tepat dikenai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di pengadilan tingkat pertama, Irianto divonis tiga tahun penjara. Adapun, di tingkat banding, vonis itu diperkuat. Kini ditingkat kasasi, hukuman diperberat lebih dari tiga kali lipat menjadi 10 tahun penjara.
Diungkap Kejaksaan Agung
"Kasus bermula dari penemuan 27 kontainer milik PT FIB dan PT PGP di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 2 Maret 2020. Jumlah dan jenis barang dalam container itu tidak sesuai dengan dokumen. Berdasarkan dokumen pengiriman, kain tersebut seharusnya berasal dari India. Padahal, kain-kain itu berasal dari China dan tidak pernah singgah di India"
Sebagaimana diberitakan, kasus suap impor tekstil ini diungkap oleh Kejaksaan Agung. Ada lima terdakwa yang ditetapkan dalam perkara itu yaitu Kepala Seksi Pelayanan Pabean dan Cukai (PPC) pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Batam Haryono Adi Wibowo, Kepala Seksi PPC II KPU Bea dan Cukai Batam Kamaruddin Siregar, dan Kepala Seksi PPC III KPU Bea dan Cukai Batam Dedi Aldrian. Selain itu, juga Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai (PFPC) KPU Bea dan Cukai Batam Mukhamad Muklas, serta pemilik PT Fleming Indo Batam (FIB) dan PT Peter Garmindo Prima Irianto.
Adapun, kasus bermula dari penemuan 27 kontainer milik PT FIB dan PT PGP di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 2 Maret 2020. Jumlah dan jenis barang dalam container itu tidak sesuai dengan dokumen. Berdasarkan dokumen pengiriman, kain tersebut seharusnya berasal dari India. Padahal, kain-kain itu berasal dari China dan tidak pernah singgah di India.
Temuan Kejagung, kapal yang mengangkut container itu berangkat dari Pelabuhan di Hongkong, singgah di Malaysia, dan bersandar di Batam. Dari titik awal yaitu Hongkong, container mengangkut kain jenis brokat, sutra, dan satin. Muatan itu kemudian dipindahkan tanpa pengawasan otoritas berwajib di Batam. Setelah muatan awal dipindahkan, kontainer yang sama diisi dengan kain yang lebih murah yaitu kain polyester. Kontainer kemudian diangkut ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.