Demokrasi Hadapi Tantangan Kekuasaan Elite Lokal Pasca-Orde Baru
Bukannya menghasilkan demokrasi lokal yang sehat dan inklusif, program deregulasi, privatisasi, dan desentralisasi justru dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh kelompok elite lokal yang predatoris.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana saat sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia, Perempuan Indonesia Anti-Korupsi, BEM SI, dan beberapa perwakilan organisasi lain menggelar aksi di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (9/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan dari munculnya elite politik lokal setelah runtuhnya rezim otoritarian, yakni Orde Baru. Kondisi ini antara lain tergambarkan dari munculnya dinasti-dinasti politik lokal yang menguasai politik daerah hingga sumber daya ekonomi setempat. Fenomena itu antara lain ditemui di Provinsi Banten, yang saat ini kepemimpinan lokalnya dikuasai oleh trah jawara.
Wacana mengenai munculnya elite lokal itu dibahas di dalam buku karya Vedi Hadiz yang berjudul Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme, yang dibedah secara daring, Jumat (17/12/2021). Hadir sebagai pembicara ialah Okamoto Masaaki dari Kyoto University; Lili Romli, profesor riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); dan Ade Irawan, aktivis antikorupsi.
Bedah buku menitikberatkan contoh kasus munculnya elite lokal ini dalam fenomena di Banten. Okamoto yang pernah meneliti Banten sebagai bagian dari kajiannya mengenai transformasi politik lokal di Indonesia mengatakan, buku Hadiz itu merupakan kritik terhadap pola pembangunan yang berorientasi pada good governance. Prinsip-prinsip good governance yang mengacu pada program deregulasi, privatisasi, dan desentralisasi mengandung kelemahan pada desain teknokratis dalam perubahan sosialnya.
Dengan good governance diharapkan lahirnya pemerintahan daerah yang akuntabel, transparan, dan tanpa korupsi. Selain itu, orientasi pembangunan itu juga diasumsikann melahirkan demokrasi lokal yang sehat dan inklusif. Namun, pada kenyataannya, hal itu jauh dari yang diharapkan. Prinsip good governance gagal memasukkan variabel dinamika politik lokal dan perebutan kekuasaan di daerah sebagai salah satu tolok ukurnya.
Diskusi bedah buku Vedi Hadiz ”Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme”, Jumat (17/12/2021).
Bukannya menghasilkan demokrasi lokal yang sehat dan inklusif, program deregulasi, privatisasi, dan desentralisasi itu justru dieksploitasi dan dimanfaatkan kelompok elite lokal yang predatoris. Kekuasaan di tingkat lokal pada kenyataannya memusat pada klan-klan tertentu, baik berdasarkan keturunan maupun afiliasi sosial politik. Mereka yang kini berkuasa di daerah juga bersinergi dengan kelompok oligarki yang tumbuh di era Orde Baru.
”Aktor yang paling menonjol dalam pengembangan kekuasaan di tingkat lokal adalah mereka yang mewakili kekuatan yang telah dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dalam sistem oligarki Orde Baru,” katanya.
Contoh nyata dalam situasi ini ialah politik dinasti di Banten. Menurut Masaaki, kekuasaan lokal di Banten erat dengan perebutan kekuasaan antara trah jawara dan trah kiai atau ulama. Dalam perkembangannya, kini Banten dikuasai oleh trah jawara, yakni anak-keturunan H Chasan Sochib. Bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah putri Chasan Sochib. Demikian pula Tubagus Chaeri Wardana, suami dari bekas Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, adik Atut, yang juga ditangkap dalam kasus korupsi.
Trah Chasan Sochib sampai saat ini pun menguasai politik lokal di Banten karena beberapa anak, cucu, dan menantunya menjadi kepala daerah di kabupaten/kota di Banten. Perebutan kekuasaan di antara klan jawara di Banten ini juga sangat ketat dan persaingan itu memunculkan trah-trah baru, seperti trah Jayabaya, yang kini diteruskan Bupati Lebak Iti Oktavia Jayabaya.
Kompas
Okamoto Masaaki dari Kyoto University, salah satu prmbicara dalam diskusi bedah buku Vedi Hadiz ”Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme”, Jumat (17/12/2021).
Masaaki memberi catatan, kajian mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui apa yang terjadi di era Orde Baru (Orba) dan bagaimana politik lokal pasca-Orba itu berkembang. Pada dasarnya, Chasan Sochib pun sudah memiliki peran kuat sejak era Orba. Hanya saja, pengaruhnya kian menonjol di era pasca-Reformasi.
Menarik pula untuk dilihat respons masyarakat Banten yang terlihat tidak ambil pusing terhadap pertarungan politik lokal di wilayah mereka. Masyarakat cenderung tidak memedulikan dan membiarkan saja praktik itu berkembang.
Dinasti politik adaptif
Lili Romli melihat, elite lokal di Banten mulanya bertarung dengan menggunakan kekerasan politik dan intimidasi. Kini, polanya bergeser dengan lebih banyak menekankan pada politik uang.
Dalam pertarungan ini, masyarakat juga mudah berpindah haluan dan kembali menaruh simpati kepada klan jawara. Misalnya, karena tidak puas atau kecewa dengan pemimpin mereka dari birokrat atau luar klan jawara yang ternyata kualitasnya sama saja saat menjadi pimpinan, akhirnya masyarakat menilai tidak ada yang salah dengan klan jawara dan mereka kembali mendapatkan simpati.
Kompas
Profesor riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, saat menjadi pembicara dalam bedah buku Vedi Hadiz ”Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme”, Jumat (17/12/2021).
Dalam memahami kelompok jawara di Banten ini, Lili mengatakan, kekuatan preman yang dimobilisasi adalah motor dalam politik. Mereka tidak ragu melakukan kekerasan andaikata jagoannya kalah dalam kontestasi politik.
Dalam situasi semacam ini, hadirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan elemen masyarakat sipil yang kritis dan jernih serta dapat menjadi penengah dalam situasi konflik amat dibutuhkan. Sayangnya, pengaruh politik jawara itu sangat kuat sehingga Lili pernah mendapati suatu LSM yang dulunya kritis meneliti praktik keterlibatan jawara dalam politik di Banten ternyata kini malah masuk menjadi tim sukses mereka.
”Dulunya, mereka menceritakan perilaku buruk praktik politik mereka, tetapi kemudian sekarang menjadi bagian dari dinasti dan tim think tank mereka. Ini sesuatu yang ironis,” ujarnya.
Apa yang menjadikan klan jawara ini masih kuat di Banten, menurut Lili, karena kemampuan mereka beradaptasi, terutama melalui pendekatan budaya Banten. Oleh karena itu, sekalipun Ratu Atut dan Wawan ditangkap KPK, saudara dan klan mereka masih banyak terpilih menjadi kepala daerah dan anggota legislatif di pusat ataupun daerah.
Kompas
Ratu Atut Chosiyah menuruni tangga seusai diperiksa dan langsung ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (20/12). Bekas Gubernur Banten itu ditahan terkait kasus suap penanganan sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK).
”Saya memprediksikan, ketika partai-partai politik tidak memiliki kader terbaik di provinsi, kabupaten/kota, maka tetap kelompok dinasti atau oligarki predatoris itu, sebagaimana istilah Vedi Hadiz, yang akan kembali berkuasa,” ucapnya.
Sementara itu, Ade Irawan menilai masyarakat sipil di Banten kondisinya kini hidup segan mati pun tak mau. Dari sekitar 1.000 komunitas masyarakat sipil, yang dinilai berintegritas hanya 15-20 lembaga.
”Selebihnya adalah tukang kampak, yakni yang suka memeras biorkrasi. Yang kami nilai berintegritas pun masih kurang bagus dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia,” katanya.
Lemahnya koreksi dari masyarakat sipil di Banten ini, menurut Ade, juga menjadi salah satu penyebab terus berlanjutnya kekuasaan elite lokal yang predatoris. Di sisi lain, kesadaran politik masyarakat Banten juga masih rendah. Masyarakat mudah dipengaruhi dengan politik uang.