Respons cepat aparat kepolisian kerap muncul setelah satu kasus viral di dunia maya. Warganet menyindirnya dengan sebutan ”delik viral”. Hanya memberikan efek jera dalam jangka pendek, bukan jangka panjang.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Pekan kedua Desember 2021, jagat maya kembali riuh dengan kekecewaan masyarakat pada kerja kepolisian. Seorang warga di Jakarta Timur mengunggah video testimoni yang berisi keluhannya setelah melaporkan perampokan ke Kepolisian Sektor Pulogadung, Jakarta Timur, di media sosial. Laporan warga yang juga korban perampokan itu ”ditolak” oleh polisi. Alih-alih menindaklanjuti pengaduan, aparat justru memarahi pelapor.
Video yang diunggah di Instagram pada Kamis (9/12/2021) itu viral. ”Curahan hati” warga pemilik akun @kumalameta di Instagram menjadi perbincangan warganet beberapa hari kemudian. Narasi itu juga menjadi salah satu topik terhangat di Twitter dalam tagar #PercumaAdaPolisi pada Selasa (14/12/2021) dan masih dibicarakan hingga Rabu (15/12/2021).
Menyusul video dan tagar yang viral, Kepolisian Resor Jakarta Timur meminta maaf atas tindakan personel di Polsek Pulogadung. Pada Senin (13/12/2021) atau empat hari setelah @kumalameta mengunggah videonya, Kepolisian Daerah Metro Jaya memindahkan personel yang menolak laporan dan memarahi pelapor. Dia dipindahkan dari Polsek Pulogadung ke Polres Jakarta Timur untuk pemeriksaan dan pembinaan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, pihaknya mencermati semua tagar yang dikemukakan warganet di media sosial dan menilainya dengan kepala dingin. Kemunculan tagar dan isu yang viral di media sosial merupakan bentuk ekspresi sekaligus perhatian masyarakat pada kinerja kepolisian. ”Itu menjadi masukan bagi Polri untuk memperbaiki kinerja sesuai dengan harapan masyarakat,” katanya, Rabu.
Ia menegaskan, tidak ada pembiaran dalam institusi kepolisian. Personel yang melanggar standar prosedur akan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu, aparat yang melaksanakan tugas dengan baik akan mendapatkan penghargaan.
”Itu sudah menjadi komitmen Polri untuk betul-betul bertugas sesuai dengan ketentuan dan harapan masyarakat,” kata Rusdi.
Viralnya sebuah kasus di media sosial bukan pertama kali memengaruhi kerja polisi. Hal yang sama pernah terjadi sepanjang Oktober lalu. Saat itu, tagar #PercumaLaporPolisi menjadi topik terhangat di Twitter selama tiga hari berturut-turut. Kemunculan tagar dipicu oleh pemberitaan media daring Project Multatuli mengenai penyidikan kasus kekerasan seksual pada anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang dihentikan oleh kepolisian.
Tagar #PercumaLaporPolisi juga memicu kemunculan berbagai video yang menampilkan kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap mahasiswa saat menangani demonstrasi, penganiayaan oleh polisi terhadap pengguna jalan, dan kekerasan yang dilakukan pimpinan polisi kepada bawahannya. Ada pula isu mengenai tidak profesionalnya polisi dalam menangani kasus penganiayaan karena menjadikan korban kekerasan sebagai tersangka.
Merespons tagar #PercumaLaporPolisi, Mabes Polri berulang kali menggelar konferensi pers terkait kasus yang sudah dihentikan tersebut. Beberapa waktu setelahnya, tuntutan masyarakat untuk mengusut kembali dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Luwu Timur juga diakomodasi.
Terkait sejumlah pelanggaran aparat yang viral di dunia maya, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo pun menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8./2021 kepada semua polda pada 18 Oktober 2021. Semua polda diminta mengambil alih kasus kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh polisi dan memastikan pengusutan dilakukan secara transparan. Pelaku harus mendapatkan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Seluruh jajaran kepolisian juga diminta untuk tidak bersikap antikritik.
Menjaga citra
Di tengah sorotan di media sosial, Polri berupaya untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat di media sosial. Kapolri, misalnya, mulai aktif di Twitter dan Instagram melalui akun resmi @ListyoSigitP. Lewat media sosial, ia mengemukakan berbagai kegiatan dan kebijakan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.
Untuk mengakomodasi kritik warga, Mabes Polri mengadakan lomba mural pada akhir Oktober lalu. Lomba berhadiah puluhan juta rupiah itu dimenangi oleh kontestan yang membuat karya bermuatan kritik paling tajam. Hal ini diakui merupakan wujud keberpihakan polisi pada kebebasan berpendapat setelah sebelumnya viral aksi aparat menghapus mural kritik warga terhadap pemerintah di beberapa daerah.
Pekan lalu, Polri menggelar lomba orasi unjuk rasa untuk memperingati Hari HAM Sedunia. Menurut Listyo, lomba orasi ini merupakan momentum untuk mengedukasi masyarakat dan aparat terkait kebebasan berpendapat karena di lapangan sering terjadi perbedaan dalam menanggapi persoalan ini. ”Di satu sisi masyarakat ingin menyampaikan ekspresi, tetapi di sisi lain ekspresi ini dinilai oleh anggota akan berdampak dan ada risiko yang mengganggu stabilitas kamtibmas. Tentunya hal ini yang akan kami edukasi,” katanya.
Merujuk hasil survei Litbang Kompas pada Oktober lalu, kepuasan publik pada kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan serta hukum cenderung turun, yakni dari 77 persen pada April 2021 menjadi 70,8 persen. Meski demikian, 77 persen responden menilai baik citra Polri sehingga menempatkan institusi itu pada peringkat kedua yang paling dipercaya publik di bawah TNI.
Respons cepat aparat dalam menangani kasus setelah viral di media sosial memunculkan istilah baru di kalangan warganet. Warganet kerap menyebutnya dengan ”delik viral” yang bisa mendorong kerja kepolisian.
Menurut peneliti bidang keamanan nasional Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar, saat ini media sosial merupakan alternatif bagi publik untuk menyuarakan aspirasi, termasuk kekecewaan atas penanganan kasus di kepolisian. Wajar jika upaya warga ini direspons oleh kepolisian. ”Namun, menjadi keliru jika baru ada respons ketika sebuah kasus viral,” ujarnya.
Di balik isu yang viral, Polri semestinya menyadari adanya masalah dalam penugasan anggota di lapangan yang kerap tidak sesuai harapan. Terdapat pula masalah pembinaan yang menyebabkan sebagian personel belum memahami prinsip, fungsi, dan tanggung jawabnya secara utuh, yaitu sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat.
Kasus pelaporan warga di Polsek Pulogadung menunjukkan, masyarakat sudah menyadari hal yang perlu dilakukan ketika terjadi kejahatan di sekitarnya. Sayang, hal yang berkebalikan justru ditunjukkan oleh polisi.
Menurut dia, upaya Polri mengimbangi sorotan publik dengan membangun citra di media sosial tidak cukup untuk membangun kepercayaan masyarakat. Hakikatnya, polisi memiliki hubungan yang lekat dengan masyarakat. Maka, kunci untuk membangun kepercayaan publik adalah berperan optimal dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
”Respons menyelesaikan masalah secara cepat ketika sebuah kasus viral pun sebatas memberikan efek jera dalam jangka pendek, bukan jangka panjang,” kata Sarah.