MK Buka Peluang Kasasi Putusan Pailit yang Diajukan Kreditor
Kasasi penting karena bisa saja adanya sengketa kepentingan para pihak yang bernuansa ”contentiosa” atau keberpihakan dari hakim yang menangani perkara atau adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim.
Oleh
susana rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi membuka peluang koreksi atas putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga, khususnya yang diajukan oleh kreditor dan tawaran yang diajukan debitor ditolak kreditor. Atas putusan semacam itu, pihak debitor dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Upaya hukum tersebut penting karena tidak tertutup kemungkinan adanya sengketa kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa atau keberpihakan dari hakim yang menangani perkara atau setidak-tidaknya adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim.
”Maka, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan, Rabu (15/12/2021).
MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Direktur PT Sarana Yeoman Sembada Sanglong alias Samad yang menguji Pasal 235 Ayat (1) dan Pasal 293 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal 235 Ayat (1) UU tersebut mengatur, putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun. Pengaturan serupa juga dilakukan di Pasal 293 Ayat (1) UU yang sama.
Pasal-pasal tersebut dinilai menyebabkan kerugian konstitusional mengingat Sanglong tidak dapat mengajukan upaya hukum apa pun atas putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Medan terhadap perusahaannya pada Desember 2020. Ia jadi tidak dapat mengelola harta kekayaannya akibat putusan tersebut, padahal belum tentu putusan itu lahir atas pertimbangan-pertimbangan yang adil dan cermat dalam menerapkan hukum.
Dalam berkas permohonannya, Sanglong menceritakan bahwa perusahaannya telah diajukan pailit hingga empat kali oleh Lie Tek Hok dan para kreditor lainnya sejak 2019. Dalam tiga perkara pertama, majelis hakim menolak permohonan pailit dari Lie Tek Hok tersebut. Baru pada permohonan pailit ke empat, majelis hakim mengabulkan permohonan itu di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan.
”Dengan adanya pembatasan upaya hukum tersebut, jelas celah tersebut potensial dimanfaatkan untuk merekayasa suatu persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui suatu Pengadilan Niaga, bahkan juga berniat jahat menghentikan atau mematikan kegiatan suatu badan usaha yang justru dapat merugikan kepentingan perekonomian negara, persis seperti yang dialami pemohon,” kata pemohon dalam berkas permohonannya.
Esensi perkara kepailitan
Terhadap permohonan tersebut, MK merujuk kembali cikal bakal dari UU No 37/2004, yaitu UU No 4/1998, yang pada dasarnya hanya memberikan hak pada debitor untuk mengajukan permohonan PKPU dengan alasan tidak dapat atau memperkirakan debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Dengan mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan PKPU, debitor dapat bermusyawarah dengan para kreditor tentang cara-cara pembayaran utangnya. Ini dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila diperlukan dan disepakati untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang debitor tersebut.
Namun, UU No 37/2004 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU. Hal tersebut menimbulkan persoalan karena ada ketidaksesuaian dengan tujuan permohonan PKPU, yaitu menjadi instrumen bagi debitor untuk menghindari kepailitan.
Sebenarnya, hak untuk mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas utangnya, maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan permohonan PKPU. Ini dilakukan agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam menyelesaikan utang-utangnya sehingga dapat dihindari adanya kepailitan.
”Oleh karena itu, ’niat baik’ dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan ’terjebak’ dalam keadaan pailit,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo.
MK menggarisbawahi pentingnya kontrol terhadap itikad baik dari kreditor saat mengajukan permohonan PKPU melalui upaya hukum lanjutan, yaitu kasasi.
Dengan demikian, eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha yang turut berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga keberlangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai semangat UU No 37/2004, yaitu memberi perlindungan hukum terhadap pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.