Digitalisasi di lembaga pemasyarakatan memungkinkan narapidana memeriksa remisi serta sisa masa tahanan. Diklaim memudahkan petugas dan narapidana, sekaligus menekan potensi pungutan liar.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Sebuah mesin kotak berbentuk seperti anjungan tunai mandiri (ATM) diletakkan di halaman muka blok Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta. Andina, seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP), meletakkan telunjuknya di sudut kanan mesin. Setelah sidik jarinya terbaca oleh mesin, beberapa detik kemudian, data pribadi dan haknya sebagai tahanan tampil di layar monitor.
”Dengan adanya sistem database pemasyarakatan (SDP) ini, saya jadi lebih mudah mengetahui hak-hak saya tanpa harus datang ke bagian registrasi. Hak-hak saya terlihat jelas, terutama berapa pengurangan hukuman dan sisa masa tahanan. Kapan saja mau mengecek bisa,” tutur Andina, yang divonis hukuman 17 tahun penjara, Jumat (3/12/2021).
Sejak tahun 2017, Lapas Perempuan Kelas II A Jakarta ini sudah menerapkan sistem self service bagi narapidana dan terpidana untuk mengecek hak-haknya melalui SDP. Alat itu diletakkan di halaman muka atau bagian aula blok, sebelum masuk ke sel dan kamar-kamar tahanan. Lokasinya persis berada di depan pos jaga petugas sipir penjara. Pihak lapas mengklaim, kapan pun warga binaan ingin mengecek hak mereka, diperbolehkan.
Andina, misalnya, memanfaatkan SDP untuk mengecek jatah pengurangan hukuman (remisi) dari tahun ke tahun. Dari situ, dia bisa memperkirakan kapan bisa keluar dari sel besi yang dingin itu. Dia juga bisa mengetahui berapa lama hukuman yang sudah dia jalani. Apakah sudah setengah, sepertiga, atau dua pertiga masa tahanan.
”Saya mendapatkan remisi 35 bulan. Sekarang, saya sudah menjalani pidana 6 tahun tiga bulan. Jika vonis saya 17 tahun, nanti estimasi selesainya itu sekitar 2030,” kata Andina.
Warga binaan lain, Fitri Meliana juga merasakan manfaat yang sama dari SDP. Perempuan yang terjerat kasus hukum narkoba itu mengaku kerap memanfaatkan SP untuk mengecek masa remisi. Selain mendapatkan remisi Hari Kemerdekaan, dan hari besar keagamaan, Fitri juga mendapatkan remisi pemuka. Remisi pemuka diberikan karena dia memiliki keahlian menari kontemporer. Fitri sudah menang beberapa kompetisi yang diadakan pihak swasta. Dia juga pernah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
”Sekarang, kalau mau mengecek remisi yang baru saja turun tidak harus pakai bon (izin keluar) dengan petugas lapas. Tidak harus mengantre di kantor lapas. Jadi lebih praktis,” kata Fitri.
Fitri sudah mendekam di penjara selama tujuh tahun. Jika tidak mendapatkan pengurangan hukuman, dia diperkirakan akan keluar dari penjara lima tahun lagi pada 2026. Namun, karena ada pengurangan hukuman kemungkinan dia akan keluar lebih cepat.
Kepala Lapas Perempuan Kelas II A Jakarta Herlin Candrawati mengatakan, pelayanan self service SDP adalah program dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
”Ketika SK (Surat Keputusan) remisi sudah turun, mereka bisa langsung mengecek di SDP. Mereka bisa melihat langsung di situ hak-hak mereka,” kata Herlin.
Selain membantu WBP, menurut Herlin digitalisasi data pemasyarakatan itu juga memudahkan pekerjaan pengelola lapas. Dulu, saat belum ada SDP, mekanisme pengusulan pembebasan bersyarat misalnya, diproses dengan sistem manual. Warga binaan harus bertanya langsung kepada petugas lapas kapan tanggal bebas mereka. Kemudian, setelah itu baru mengajukan lagi secara manual kepada petugas lapas. Dengan sistem digitalisasi yang ada saat ini, semua pihak dimudahkan.
”Pengelola lapas secara berkala menyetor data ke SDP yang dikelola Ditjen Pemasyarakatan. Ini merupakan inovasi pelayanan publik yang dihadirkan kepada warga binaan pemasyarakatan,” kata Herlin.
Semua lapas menggunakan
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti, saat dihubungi, Kamis (9/12), mengatakan, pilot project SDP sudah dikembangkan sejak 2003 dengan nama aplikasi Sistem Informasi Pemasyarakatan (Sipas). Sistem kemudian dikembangkan lebih baik pada 2008 dengan Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan.
Salah satu klausulnya adalah kerja sama dengan lembaga nirlaba The Asia Foundation (TAF) untuk mendorong agenda pembaruan sistem pemasyarakatan. Kerja sama itu di antaranya ialah pembaruan sistem database penghuni dengan istilah Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).
Menurut Rika, pada 2012, sebanyak 546 unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (UPT) sudah menggunakan sistem digitalisasi ini. Kini, pada 2021, semua UPT pemasyarakatan, yaitu 679, baik di lembaga pemasyarakatan, rumah penyimpanan barang sitaan negara (rupbasan), maupun badan pemasyarakatan, sudah menggunakan SDP.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly kepada Kompas, Rabu (1/12), mengatakan pihaknya memang berkomitmen melakukan revolusi digital dalam pelayanan publik di Kementeriannya. Dia menyebutkan, birokrasi digital dengan e-government adalah sebuah keniscayaan pada era perkembangan teknologi informasi.
Salah satu program itu adalah digitalisasi di lembaga pemasyarakatan. Walaupun dianggap sulit, tetapi pemerintah tetap mencoba untuk menghadirkan revolusi digital itu di tengah pelayanan publik.
”Kami sudah mendapatkan banyak penghargaan dari program aplikasi digital ini. Memang, yang masih membuat pusing ini cuma lapas. Tetapi, pelan-pelan kami ubah itu, supaya ada perubahan lebih baik,” terang Yasonna.
Transparansi
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengapresiasi sistem digitalisasi di lembaga pemasyarakatan. Menurut dia, sistem digitalisasi di Ditjen Pemasyarakatan adalah program yang muncul dari inisiatif internal kementerian.
Namun, Adrianus yang kerap mengunjungi lapas dan rutan di banyak daerah di Indonesia itu juga mengkritik keandalan mesin SDP. Menurut pantauannya, karena mesin SDP membutuhkan daya listrik yang besar, terkadang tidak semua lapas terus-menerus menyalakan mesin tersebut. Banyak alat yang dimatikan di rutan/lapas karena tegangan listrik di lokasi yang naik-turun. Alat sengaja dimatikan agar lebih awet digunakan.
”Kalau alat lebih sering dimatikan daripada dihidupkan, lalu apa gunanya untuk warga binaan pemasyarakatan? Alat menjadi tidak maksimal fungsinya, kan,” kata Adrianus.
Rika Aprianti menyadari anggaran perawatan dan pengembangan server pusat untuk SDP belum memadai. Selain itu, perubahan aturan perundang-undangan, seperti ketentuan pemberian hak narapidana, juga harus terus disesuaikan dengan proses integrasi daring di SDP. Kendala lain adalah masalah sumber daya manusia.
Belum semua operator SDP maksimal baik di tingkat pusat maupun daerah. Adapun untuk perawatan jaringan SDP, saat ini Ditjen PAS bekerja sama dengan pihak ketiga. Anggaran diambil dari DIPA internal Ditjen PAS untuk keperluan perawatan sarana dan prasarana SDP.
Menghapus pungli
Adrianus menyarankan kepada pengelola rutan/lapas untuk memperbaiki kontinuitas operasional SDP. Menurut dia, SDP memang dibutuhkan warga binaan. Mereka perlu melihat hak-hak mereka yang ditampilkan secara digital di komputer.
Jika memang rutan/lapas belum siap dengan instalasi kelistrikan dan jaringan internet, tak perlu dipaksakan dengan sistem self service, seperti mesin ATM. Justru sistem bisa dibuat di komputer pengelola rutan/lapas. Jika warga binaan ingin melihat, mereka bisa diberi kesempatan seminggu sekali mengecek data.
”Upaya yang bagus untuk memastikan transparansi pelayanan di lapas harus tetap dipertahankan. Namun, jika ada kendala di lapangan, seperti daya listrik dan internet, harus diubah dan disesuaikan lagi, dong,” kata Adrianus.
Adrianus berharap dengan perbaikan transparansi pelayanan publik di lapas, warga binaan lapas tidak lagi bergantung pada petugas untuk mengecek data administratif. Dihilangkannya ketergantungan warga binaan pemasyarakatan terhadap petugas lapas itu diharapkan juga mengurangi pungutan liar yang kerap ditemui di lapas. Sudah menjadi rahasia umum, katanya, pungutan liar ditemukan di lapas. Sistem ini diharapkan pelan-pelan menghapuskan persoalan itu. Semoga saja….