RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tak kunjung dibahas oleh pemerintah dan DPR. Aparat penegak hukum belum banyak menerapkan pasal pencucian uang dalam kasus korupsi.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN/NIKOLAUS HARBOWO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Komisi Pemberatantasan Korupsi Firli Bahuri dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno (kiri) berbincang seusai acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menginginkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan tahun depan. Sebelum disahkan, aparat penegak hukum diminta semaksimal mungkin memulihkan keuangan negara yang dikorupsi melalui penerapan pasal pencucian uang. Perampasan aset koruptor mensyaratkan keseriusan pembentuk undang-undang dan penegak hukum.
”Kita semua menyadari korupsi merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang berdampak luar biasa. Oleh karena itu, harus ditangani secara extraordinary (luar biasa) juga,” tutur Presiden Jokowi dalam pidatonya pada acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021, Kamis (9/12/2021), di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. Acara juga dihadiri sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan seluruh pimpinan KPK.
Sebagai bagian dari cara-cara yang luar biasa, metode pemberantasan korupsi harus terus disempurnakan. Salah satunya, Presiden menyinggung Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. ”Ini juga penting sekali dan terus kita dorong dan diharapkan tahun depan, insya Allah, bisa selesai,” ujarnya.
Sebelum RUU itu disahkan, Presiden mendorong semua aparat penegak hukum agar semaksimal mungkin menerapkan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di setiap perkara korupsi. Dengan demikian, penindakan terhadap koruptor dapat sekaligus menyelamatkan kerugian negara akibat korupsi. Cara itu juga memastikan sanksi pidana yang tegas pada koruptor sekaligus menciptakan efek jera.
Presiden Jokowi memberikan sambutan dalam acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 di Jakarta, Kamis (9/12/2021).
Presiden mencontohkan keseriusan aparat memberantas korupsi seperti dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Kejaksaan telah mengeksekusi para terpidana yang dua di antaranya divonis penjara seumur hidup. Aset sitaan yang mencapai Rp 18 triliun juga telah dirampas untuk negara.
Selain itu, dalam kasus dugaan korupsi PT Asabri, tujuh terdakwa dituntut mulai dari 10 tahun penjara hingga hukuman mati. Uang pengganti kerugian negara yang dituntut untuk dibayarkan para terdakwa mencapai triliunan rupiah.
”Namun, aparat penegak hukum jangan cepat berpuas diri dulu karena penilaian masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi masih dinilai belum baik,” kata Presiden.
Terkait RUU Perampasan Aset, Ketua KPK Firli Bahuri turut mendorong pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkannya. UU Perampasan Aset disebutnya sebagai instrumen hukum penting dalam memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam merampas aset koruptor.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) bersama empat pimpinan KPK lainnya memberikan keterangan kepada wartawan terkait peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (09/12/2021).
”Kalau saja UU Perampasan Aset itu segera terwujud, tentu setiap harta kekayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi berasal dari tindak pidana, apakah itu korupsi, tentu akan bisa dilakukan perampasan,” kata Firli.
Diinisiasi sejak 2008
RUU Perampasan Aset telah diinisiasi penyusunannya oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2008 dan tuntas disusun pada 2012. RUU dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2015-2019. Namun, setiap kali pembahasan Prolegnas tahunan, RUU itu selalu kalah bersaing dengan RUU lainnya.
Saat pembahasan Prolegnas jangka menengah 2020-2024, RUU itu kembali dimasukkan di dalamnya, tetapi hingga kini belum dimasukkan dalam Prolegnas tahunan. RUU harus masuk Prolegnas tahunan untuk bisa dibahas hingga disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, RUU Perampasan Aset merupakan inisiatif pemerintah. Karena itu, jika pemerintah ingin RUU itu segera disahkan, seharusnya pemerintah mengusulkannya untuk masuk dalam Prolegnas tahunan dan menyerahkan draf RUU ke DPR.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana rapat Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Persoalannya, hingga penyusunan Prolegnas tahunan terakhir, yakni Prolegnas 2022, Senin lalu, pemerintah tak mengajukan RUU tersebut. ”Jadi, ditanyakan ke pemerintah, kenapa tak diajukan,” ujarnya.
Jika RUU itu diusulkan masuk Prolegnas tahunan, ia yakin tak akan ada resistensi dari DPR. Begitu pula saat pembahasannya, berpotensi berjalan mulus. ”Biasanya kalau usulan pemerintah, tidak ada penolakan dari DPR, semua akan diterima,” ucapnya.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menilai, tak kunjung tuntasnya RUU Perampasan Aset, bahkan tidak pernah dimasukkan dalam Prolegnas tahunan, menunjukkan pembentuk undang-undang tak serius memerangi korupsi. Tanpa ada payung hukum UU Perampasan Aset, Indonesia belum bisa dibilang serius memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
”Undang-undang itu akan memudahkan kinerja penegak hukum melacak aset kejahatan, terutama yang disembunyikan di luar negeri,” kata Alvin.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung melihat sejumlah mobil mewah aset sitaan pada kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero) di Gedung Asabri, Jakarta Timur, Sabtu (12/6/2021). Kejaksaan Agung melelang aset sitaan 16 mobil mewah dari berbagai merek tersebut, Selasa (15/6/2021).
Ada setidaknya dua poin krusial dalam RUU Perampasan Aset. Aset yang tidak seimbang dengan penambahan kekayaan yang tak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah dapat dirampas. Kemudian, aset dalam perkara pidana yang tak dapat disidangkan atau diputus bersalah pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap juga bisa dirampas untuk memulihkan kerugian negara.
Namun, tak kunjung tuntasnya RUU Perampasan Aset bukan berarti aparat tak bisa memaksimalkan upaya pemulihan kerugian negara, terutama akibat korupsi. Aparat, misalnya, dapat membuat dakwaan hingga tuntutan kasus korupsi dengan TPPU.
Hal ini, menurut dia, belum terlihat dalam banyak kasus korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2020, misalnya, dari 394 kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dan KPK, hanya tiga kasus yang dikenai dengan pasal pencucian uang.