Komitmen Pemerintah Ajukan RUU Perampasan Aset Diragukan
Hingga rapat penetapan Prolegnas tahun 2022 yang digelar beberapa waktu lalu, pemerintah tidak menyodorkan RUU Perampasan Aset kepada Baleg DPR. Keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi pun dipertanyakan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan meninjau ulang Program Legislasi Nasional atau Prolegnas agar bisa mengakomodasi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU tersebut tertunda masuk Prolegnas prioritas tahunan karena pemerintah dan DPR harus mendahulukan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. Komitmen pemerintah untuk menyelesaikan RUU Perampasan Aset tersebut dalam setahun ke depan pun diragukan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat dihubungi di Jakarta, Jumat (10/12/2021), mengatakan, pada tahun lalu, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diusulkan oleh pemerintah agar masuk dalam Prolegnas prioritas. Namun, saat itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR meminta agar RUU tersebut ditunda terlebih dulu.
Yasonna melanjutkan, penundaan berlanjut hingga penetapan Prolegnas tahun 2022, Senin kemarin. Alasannya, pemerintah dan DPR ingin fokus terlebih dulu menyelesaikan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
”Kami akan review (meninjau ulang) nanti Prolegnas setelah prioritas kami untuk menyelesaikan UU Cipta Kerja pasca-keputusan MK. Kami akan komunikasikan dengan Baleg,” ujar Yasonna.
Sebelumnya, dalam acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021, Presiden Joko Widodo menyinggung RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai cara-cara yang luar biasa untuk mengejar aset hasil korupsi. Ia berharap RUU tersebut bisa selesai tahun depan.
RUU Perampasan Aset telah diinisiasi penyusunannya oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2008 dan tuntas disusun pada 2012. RUU dimasukkan dalam Prolegnas jangka menengah 2015-2019. Namun, setiap kali pembahasan Prolegnas tahunan, RUU itu selalu kalah bersaing dengan RUU lainnya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, menilai, RUU Perampasan Aset sangat penting dituntaskan sebagai upaya penegakan hukum. Namun, masalahnya, di bidang penegakan hukum masih mengantre juga sejumlah RUU untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Di Komisi III DPR, misalnya, terdapat empat RUU yang masih mengantre untuk dibahas, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, RUU Narkotika, dan RUU Hukum Acara Perdata. Selain itu, ada pula sejumlah RUU yang telah diusulkan di Prolegnas tahun 2022, tetapi akhirnya tidak bisa masuk, seperti RUU Komisi Yudisial, RUU Jabatan Hakim, dan RUU Advokat.
”Belum lagi, nanti harus ada RUU Perampasan Aset. Jadi, nanti tinggal diatur saja, strategi mana yang didahulukan dan mana yang memengaruhi satu RUU dengan RUU lainnya,” ujar Taufik.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya menambahkan, jika pemerintah serius ingin memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas, itu bisa dilakukan saat evaluasi Prolegnas tahunan pada pertengahan 2022 nanti. Namun, ia justru mempertanyakan keseriusan pemerintah itu. Sebab, dalam rapat penetapan Prolegnas tahun 2022 yang digelar beberapa waktu lalu, pemerintah malah tidak menyodorkan RUU Perampasan Aset kepada Baleg DPR.
”Makanya, kami coba tanya kepada pihak pemerintah, kenapa RUU itu tidak jadi masuk? Kalau pemerintah setuju, kan, biasanya kalau pemerintah usul, kan, cepat. Kalau di DPR, itu terserah di pemerintah saja,” ucap Willy.
Dalam rapat penetapan Prolegnas tahun 2022 yang digelar beberapa waktu lalu, pemerintah malah tidak menyodorkan RUU Perampasan Aset kepada Baleg DPR.
Sementara itu, Anggota Badan Pengarah Publish What You Pay Indonesia, Dadang Tri Sasongko mengatakan, RUU Perampasan Aset sudah berproses lama di pemerintah, yakni sejak pengakajiannya dilakukan oleh PPATK. Namun, pengusulan RUU itu sebagai Prolegnas Prioritas tahunan selalu maju-mundur.
Dadang melihat ada dua hal yang mengakibatkan pengusulan RUU Perampasan Aset ini terlihat berat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, RUU ini termasuk yang banyak menerima resistensi dari kalangan elite politik. Pengesahan RUU ini akan berimplikasi pada terancamnya kepentingan-kepentingan elite politik yang korup dan diduga mneguasai aset-aset tidak halal dari korupsi atau pencucian uang.
”Implikasi dari RUU ini kalau dijalankan akan mengancam kepentingan-kepentingan mereka,” ujar Dadang.
Hal kedua, Dadang yang juga mantan Direktur Eksekutif Tranparency International Indonesia (TII) ini mengatakan, tidak kunjung diusulkannya RUU Perampasan Aset juga menguatkan keraguan publik terhadap komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi. Strategi pemerintah semakin tidak jelas, apakah mau progresif ataukah tidak.
”Katanya mau memiskinkan koruptor. Kalau tidak ada UU Perampasan Aset ini, artinya pemberantasan korupsi tidak progresif lagi karena tidak bisa memiskinkan koruptor. Melalui UU inilah, antara lain, upaya progresif itu dapat dilakukan,” ujar Dadang.
Terkait dengan tidak kunjung diusulkannya RUU ini menjadi prioritas legislasi, jika dikaitkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, menurut Dadang, akan memiliki benang merah. ”Bisa jadi orang akan menghubungkan kedua hal ini. KPK dilemahkan dan pendekatan progresif dalam pemberantasan korupsi tidak didukung karena UU Perampsan Aset tidak kunjung dibuat. Asumsinya, karena UU ini akan menimbulkan kegelisahan di elite politik,” ucapnya.
Dadang mengatakan, wajar saja jika publik meragukan keseriusan pemerintah memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh karena pendekatan progresif itu tidak segera dilakukan.
Secara terpisah, pengajar pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, RUU Perampasan Aset ini sangat penting dalam mendorong pemberantasan korupsi. Itu karena dengan terbitnya UU ini, negara dapat lebih cepat atau merampas harta kekayaan yang diduga hasil korupsi atau pencucian uang. Perampasan aset itu dapat lebih cepat karena penegak hukum berwenang langsung merampas aset tersebut tanpa menunggu proses akhir pengadilan.
”Kalau saat ini, kan, penyitaan hanya dapat dilakukan ketika sudah ada putusan hukum yang mengikat. Sementara proses hukum itu bisa lama. Dan, ketika putusan keluar, nilai aset atau barang itu bisa menyusut sehingga kerugian negara yang dapat dikembalikan nilainya juga semakin kecil,” ujar Fickar.
Dengan UU Perampasan Aset, menurut Fickar, penegak hukum dapat lebih efektif mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat korupsi.
Dengan UU Perampasan Aset, menurut Fickar, penegak hukum dapat lebih efektif mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat korupsi. ”Tanpa putusan hukum, penyidik negara boleh menyita aset itu dalam konteks korupsi atau pencucian uang. Kalaupun mau menggunakan mekanisme menunggu putusan hukum juga bisa, tetapi yang jelas UU ini akan menguatkan posisi negara dalam penyitaan aset yang diduga berasal dari korupsi atau TPPU (tindak pidana pencucian uang),” katanya.
Hal lainnya yang bisa dilakukan dengan UU Perampasan Aset ialah mekanisme penawaran (bargaining), yakni imbal balik bagi seseorang yang asetnya disita. Fickar melanjutkan, bisa saja seseorang tidak dituntut di pengadilan sepanjang asetnya dia serahkan kepada negara.
”Ini harus menggunakan parameter yang tepat. Artinya, penawaran itu dapat diberikan kepada orang yang diduga korupsi dan memiliki aset, tetapi dia bukan pemain kunci, atau perannya kecil. Tetapi, hal itu tidak dapat dilakukan kepada pelaku utama,” kata Fickar.
Seandainya seseorang yang telah dirampas asetnya oleh negara itu keberatan, Fickar mengatakan, dirinya bisa mengajukan keberatan melalui gugatan perdata. ”Nanti dialah yang harus membuktikan bahwa benar aset itu miliknya yang tidak diperoleh dari hasil korupsi atau TPPU,” ucapnya.