Dua Jurnalis ”Kompas” Menangi Lomba Penulisan Jurnalistik EU4Wartawan 2021
Jurnalis harian Kompas, Kurnia Yunita Rahayu dan Satrio Pangarso Wisanggeni, memenangi lomba karya jurnalistik ”Dampak Teknologi Digital terhadap Hak Asasi Manusia”. Lomba diadakan, antara lain, oleh Delegasi Uni Eropa.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua jurnalis harian Kompas, Kurnia Yunita Rahayu dan Satrio Pangarso Wisanggeni, memenangi lomba penulisan jurnalistik #EU4Wartawan 2021 yang diselenggarakan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan TIFA, Jumat (10/12/2021). Penghargaan kepada jurnalis diharapkan bisa mendorong dan berkontribusi pada jurnalisme hak asasi manusia berkualitas tinggi di Indonesia.
Keduanya bersama tiga jurnalis lain dari Koran Tempo, Liputan6.com, serta Medcom.id mengungguli 70 peserta lain yang mengikuti lomba karya jurnalistik bertajuk ”Dampak Teknologi Digital terhadap Hak Asasi Manusia”. Para pemenang berhak mengikuti pelatihan profesional jurnalistik secara daring di bawah bimbingan RNTC, sebuah pusat pelatihan internasional yang dikelola oleh RNW Media yang berbasis di Belanda.
Kurnia memenangi lomba penulisan jurnalistik melalui tulisannya yang berjudul ”Citra Polri di Pusaran Perang Tagar” yang terbit pada 30 Oktober 2021. Sementara Satrio memenangi perlombaan melalui tulisan berjudul ”Mengenali Dilema Pengenalan Wajah” yang terbit 5 November 2021.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, melalui keterangan tertulis mengatakan, Pandemi Covid- 19 telah mengubah lanskap digital dan mempercepat transisi digital. Akibatnya, teknologi digital semakin tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari karena menawarkan perangkat dan solusi yang sangat berguna.
Namun, di sisi lain, aplikasi teknologi bisa menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap hak asasi manusia. Ancaman seperti doxing dan pemalsuan data biasanya menargetkan kelompok rentan termasuk pembela hak asasi manusia, pelapor, dan jurnalis.
”Para jurnalis memainkan peran kunci dalam menyoroti perkembangan sosial seperti ini. Uni Eropa berharap, Penghargaan EU4Wartawan akan mendorong dan berkontribusi pada jurnalisme hak asasi manusia berkualitas tinggi di Indonesia,” ucapnya.
Piket berharap, karya jurnalistik dapat meningkatkan kesadaran publik dan mendorong masyarakat untuk merenungkan cara supaya bisa mengurangi risiko yang dapat timbul dari teknologi digital terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
Uni Eropa berharap, Penghargaan EU4Wartawan akan mendorong dan berkontribusi pada jurnalisme hak asasi manusia berkualitas tinggi di Indonesia.
Kurnia mengatakan, saat ini media sosial merupakan salah satu media yang paling efektif untuk menyampaikan aspirasi publik. Setiap orang bisa mengemukakan pendapat tentang apa saja. Akan tetapi, perkembangan teknologi informasi dan kehadiran ”pasukan siber” yang dapat memanipulasi media sosial juga dapat mengaburkan suara publik.
Pada peristiwa ”perang” tagar antara #PercumaLaporPolisi vs #PolriSesuaiProsedur, misalnya, keduanya menjadi narasi yang dominan di jagat maya. Namun, jika ditilik melalui social network analysis, ada kecenderungan bahwa tagar #PolriSesuaiProsedur tidak sepenuhnya mewakili aspirasi publik, karena akun-akun yang berperan melambungkan narasi tersebut terindikasi berafiliasi dengan kepolisian. Berbeda dengan tagar #PercumaLaporPolisi yang disuarakan akun-akun organik.
”Kemunculan #PolriSesuaiProsedur secara masif setelah #PercumaLaporPolisi menjadi trending topic juga mengindikasikan ada upaya untuk meredam kritik publik yang tak puas akan kinerja kepolisian,” ujar jurnalis yang bertugas di Desk Politik dan Hukum itu.
Tidak hanya pada kasus tersebut, lanjut Nia, selama pandemi Covid-19, ”perang” tagar juga menjadi kecenderungan negara dalam menyikapi aspirasi publik. Padahal, di negara demokrasi, idealnya negara bisa memelihara ruang publik yang sehat, juga mendengarkan aspirasi publik.
Sementara itu, Satrio berharap karya jurnalistiknya bisa menyadarkan masyarakat terhadap ancaman tersembunyi dari teknologi pengenalan wajah yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah dan sektor swasta pun perlu berhati-hati menggunakan teknologi ini karena menyimpan kekhawatiran yang cukup berbahaya.
Satrio berharap karya jurnalistiknya bisa menyadarkan masyarakat terhadap ancaman tersembunyi dari teknologi pengenalan wajah yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Di satu sisi, penggunaan teknologi pengenalan wajah mempercepat deteksi pelaku kejahatan, tetapi jika salah bisa mengakibatkan pada salah tangkap dan berujung pada pelanggaran HAM. Pemerintah pun jika mau menerapkan harus melihat seluruh keunggulan dan mengantisipasi kekhawatiran yang bisa terjadi.
”Apalagi di negara maju, pemerintah dan swasta sudah bergerak menjauhi teknologi pengenalan wajah otomatis,” ujar Satrio yang sehari-hari bertugas di jurnalis Desk Investigasi dan Jurnalisme Data.