Diskusi Lintas Kepercayaan Penting untuk Perkaya Perspektif HAM
Selama ini, ada anggapan perspektif HAM yang bersumber dari Deklarasi Universal HAM tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai Islam. Padahal, banyak persamaan di antara keduanya.
JAKARTA, KOMPAS — Diskusi lintas kepercayaan dan kultur diperlukan untuk memperkaya dan membangun perspektif hak asasi manusia yang lebih dapat diterima oleh semua penganut kepercayaan dan agama.
Selama ini, ada anggapan perspektif hak asasi manusia (HAM) yang bersumber dari Deklarasi Universal HAM tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai Islam, dan ada kontradiksi di antara keduanya. Padahal, banyak persamaan dan pertemuan yang dapat dibangun dari perspektif HAM universal dengan nilai-nilai dasar Islam.
Hal itu mengemuka dalam International Conference on Islam and Human Rights yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jumat (10/12/2021), di Jakarta.
Pembicara yang hadir dalam konferensi itu ialah Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf; Penasihat Bidang Kebebasan Beragama, Kesetaraan, dan Nondiskriminasi Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM (OHCHR); dan Ketua Bidang Perjanjian Internasional HAM OHCHR Ibrahim Salama.
Baca Juga: Memaknai Toleransi
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya mengatakan, harmonisasi beragama di Indonesia termasuk yang baik di dunia.
Sekalipun demikian, diakui terdapat ancaman dari sikap ekstrem dalam beragama, yang membuat kelompok tertentu merasa pemikiran merekalah yang paling benar, dan pemikiran lain keliru. Sikap demikian ini dapat merusak harmoni hidup antarumat beragama. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengembangkan moderasi beragama.
”Moderasi beragama ini adalah perspektif jalan tengah yang jauh dari sikap ekstrem, sehingga pandangan beragamanya menjadi toleran, antikekerasan, dan memiliki komitmen kuat kepada nasionalisme,” katanya.
Terkait dengan tema konferensi, Yaqut mengatakan, nilai-nilai dasar Islam sangat selaras dengan perlindungan hak asasi manusia. Sumber utama ajaran Islam, yakni Al Quran, menyebutkan secara eksplisit siapa saja yang membunuh seorang manusia lainnya tanpa alasan, dan tanpa adanya keadilan, sama halnya dia telah membunuh semua manusia. ”Ini menunjukkan nilai-nilai dasar Islam sangat selaras dengan HAM,” katanya.
Konsepsi baru
Yahya Cholil Staquf mengatakan, konsepsi HAM baru muncul setelah era Perang Dunia II. Usia Deklarasi Universal HAM itu pun lebih muda daripada Republik Indonesia, karena baru dicetuskan pada 10 Desember 1948. Oleh karena itu, konsepsi mengenai HAM seperti dikenal saat ini merupakan suatu konsepsi baru dan ada beberapa hal yang belum dikenal di dalam wacana klasik Islam.
Merujuk pada tujuan bersyariat Islam, ada lima prinsip yang dikenal dengan maqashid syariah. Lima prinsip itu ialah melindungi agama, melindungi hidup atau jiwa, melindungi akal pikiran, melindungi keturunan, dan melindungi harta atau kepemilikan properti. Kelima prinsip itu mencerminkan nilai-nilai Islam yang menghargai manusia dan lingkup kehidupannya, mulai dari jiwa, akal pikiran, pengelolaan ekonomi, keluarga atau keturunan, hingga kepercayaannya.
”Syariat jelas menghargai HAM. Islam mengakui pemikiran tentang manusia dengan hak yang diberikan sejak dia lahir. Berbagai sumber tertulis, baik Al Quran maupun hadis, dan kesepakatan ulama (ijma), serta pemikiran ulama, menunjukkan pengakuan terhadap HAM,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, pemaknaan terhadap prinsip ini dalam hukum Islam dipengaruhi oleh kerangka sosial dan politik. Oleh karena itu, prinsip perlindungan terhadap agama, misalnya, dalam wacana klasik hukum Islam dimaknai sebagai perlindungan terhadap kepercayaan Islam semata. Adapun bagi mereka yang murtad atau keluar dari ajaran Islam, dapat dijatuhi hukuman mati.
Dalam pemahaman hukum Islam klasik ini, Yahya kembali menegaskan, tidak dapat terlepas dari pemaknaan yang melibatkan kondisi sosial politik dunia Islam. Hal yang mesti dipahami ialah konsepsi kesetaraan dan kebebasan seperti dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM merupakan konsepsi baru, yang di era sebelum Perang Dunia I belum dikenal.
Perang Dunia I muncul karena dunia ketika itu mengerucut pada kompetisi politik identitas yang keras. Terjadi pertentangan antarbudaya, seperti yang dialami Islam dan Kristen, yang berperang selama empat abad. Tidak ada aturan yang berlaku dalam sistem tata dunia yang seperti hutan belantara itu karena yang kuat mengatur yang lemah.
Dunia terus memanas sampai pada pecahnya Perang Dunia II pecah. Setelah perang mengerikan itu, barulah muncul kesadaran untuk membangun tata dunia baru. Munculnya Deklarasi Universal HAM pascaperang dunia, menurut Yahya, juga adalah buah dari kesadaran untuk membangun konsensus tata dunia baru itu.
Konsepsi HAM yang baru itu pun tidak sepenuhnya dapat diterima oleh komunitas Islam, karena pandangannya dinilai cenderung mengadopsi pengaruh Judeo-Kristiani, daripada pengaruh Islam. Oleh karena itu, untuk memahami perspektif HAM melalui tradisi klasik hukum Islam diperlukan keluasan hati untuk berbagi nilai dan kesamaan, serta kesediaan untuk berdialog.
Diakui oleh Yahya, jika tradisi klasik itu dipertahankan, sebagaimana respons sebagian komunitas Islam terhadap deklarasi tersebut, sama halnya dengan meminta agar diskriminasi diteruskan, seperti terhadap hak-hak perempuan, diterapkannya hukuman mati kepada orang yang dianggap murtad, dan diskriminasi kepada penganut agama lain.
Membuka diskusi
Melihat situasi itu, lanjut Yahya, yang dapat dilakukan saat ini ialah berdiskusi dengan melihat konsekuensi realistik dari apa yang akan terjadi jika sikap semacam itu dipertahankan. Jika ingin hidup damai, yang diperlukan ialah toleransi satu sama lain. Tanpa itu, dunia akan kembali hancur, dan kedamaian semakin jauh dari harapan.
”Apa yang harus kita diskusikan ialah bagaimana kita bisa menemukan kerangka yang sama untuk bisa hidup berdampingan satu sama lain. Yang harus dilakukan pertama kali ialah mengidentifikasi nilai-nilai apa yang kita miliki, walau ada perbedaan dalam latar belakang primordial. Contohnya kita berbagi nilai kejujuran, keadilan, dan kasih-sayang,” ujarnya.
Nilai-nilai yang sama itulah yang harus diperkuat dan diakui, sedangkan untuk perbedaan yang ada harus bisa diterima dengan toleran. Adapun dari perspektif klasik hukum Islam, Yahya menilai, harus pula mengadopsi kerangka pemikiran yang dapat bekerja bersama dengan nilai-nilai HAM universal tersebut. ”Kerangka pemikiran yang mengakui kesetaraan HAM dan menjunjung martabat manusia tanpa kecuali,” ungkapnya.
Ibrahim Salama mengatakan, Deklarasi Universal HAM sebenarnya telah mengadopsi nilai-nilai kultur secara spesifik. Artinya, tradisi dan lokalitas penerimaan terhadap HAM itu diakui. Namun, tradisi itu, termasuk agama, tidak dapat menafikan begitu saja HAM. Sebaliknya HAM juga tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan tradisi yang spesifik tersebut.
Titik tengah berusaha dicapai antara nilai-nilai HAM universal dengan pemahaman tradisi dan agama. ”Tidak tepat juga jika ada yang mengganggap deklarasi HAM ini adalah produk Kristen dan Yahudi karena semua peradaban berkontribusi pada lahirnya wacana ini,” katanya.
Prinsip di dalam maqashid syariah, menurut Ibrahim, adalah suatu perspektif yang menjawab persoalan yang kerap membenturkan Islam dengan HAM. Prinsip itu menjelaskan nilai-nilai dasar Islam yang selaras dengan semangat deklarasi HAM.
Baca Juga: Jalan Panjang Merawat Toleransi
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam sambutannya mengatakan, Komnas HAM mendukung inisiatif Indonesia yang mendukung dunia Islam dalam perkembangan HAM.
”Indonesia harus menjadi model keterbukaan bagi wacana dan praktik Islam Nusantara, dan berperan penting dalam peradaban modern yang menjunjung nilai kemanusiaan, keadilan, keterbukaan, dan kesetaraan,” katanya.