Heru Hidayat dituntut hukuman mati atau yang terberat di antara para terdakwa kasus Asabri yang tuntutannya telah dibacakan. Tuntutan mati bisa menuai dukungan publik, tetapi belum tentu bisa menurunkan kasus korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR/NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Tuntutan hukuman mati atas terdakwa kasus korupsi seperti dikenakan jaksa penuntut umum pada terdakwa kasus korupsi PT Asabri (Persero), Heru Hidayat, belum tentu efektif untuk memberantas korupsi. Kasus korupsi merupakan kejahatan bermotif ekonomi, langkah yang lebih ideal adalah memiskinkan koruptor dan tuntutan maksimum pidana penjara.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, saat dihubungi, Selasa (12/7/2021), mengatakan, hingga kini belum ada satu pun literatur ilmiah yang mengaitkan atau membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Bahkan, jika melihat indeks persepsi korupsi yang setiap tahun dirilis Transparency International, negara-negara di peringkat teratas atau dianggap masyarakatnya paling bersih dari korupsi telah menghapus hukuman mati.
”Maka, ICW menganggap hukuman mati bukan pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi. Lagi pula kejahatan korupsi itu akar permasalahannya adalah ekonomi sehingga orientasi hukumannya idealnya pemenjaraan yang maksimal dan perampasan aset hasil kejahatan yang juga maksimal atau sederhananya pemiskinan pelaku korupsi, bukan justru menghukum mati koruptor,” jelasnya.
Sebelum Heru Hidayat, jaksa pernah menuntut Direktur Utama PT Brocolin International Dicky Iskandardinata hukuman mati dalam perkara pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,2 triliun oleh perusahaan Grup Gramarindo di tahun 2002-2003 pada 2006, Kompas (7/6/2006). Namun, majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara, Kompas (21/6/2006). Setelah tuntutan hukuman mati itu, korupsi tak berkurang, justru sebaliknya, masih masif terjadi.
Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, melihat, dalam situasi masyarakat yang sudah marah karena korupsi yang terus terjadi, tuntutan pidana mati dalam kasus korupsi akan mendapatkan dukungan publik. Namun, ia meminta masyarakat untuk kritis. ”Jangan sampai dengan menuntut pidana mati seakan-akan sudah menunjukkan itikad baik pemerintah dalam perang melawan korupsi,” katanya.
Ia juga sepakat dengan Kurnia bahwa korupsi merupakan kejahatan bermotif ekonomi. ”Maka, bentuk pemidanaannya harus dapat memiskinkan melalui perampasan aset hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset inilah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi. Namun, sayangnya, terus ditolak DPR dan pemerintah,” ujar Zaenur.
Hancurkan wibawa negara
Tuntutan hukuman mati atas Heru Hidayat dibacakan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung dalam sidang lanjutan kasus Asabri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (6/12/2021) malam. Selain itu, Heru dituntut membayar uang pengganti Rp 12,6 triliun.
”Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang,” kata salah satu jaksa penuntut umum saat membacakan tuntutan Heru.
Tuntutan berat tersebut dijatuhkan karena Heru bersama dengan sejumlah terdakwa lain dalam kasus itu dinilai telah merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun. Khusus Heru disebut telah menikmati uang hasil korupsi dari pengelolaan dana investasi Asabri mencapai Rp 12,6 triliun.
Tak hanya itu, jaksa menilai, dari 2016 hingga 2019, Heru telah ”mencuci uang” hasil korupsi di perbankan, baik atas nama dirinya maupun atas nama orang lain serta perusahaan. Uang hasil korupsi juga dibelanjakan dengan mengatasnamakan orang lain, antara lain untuk membeli apartemen, tanah, dan bangunan.
Kerugian negara yang ditimbulkan plus uang hasil korupsi yang dinikmati Heru dinilai jaksa di luar nalar kemanusiaan dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Terlebih, Heru juga telah dinyatakan terbukti bersalah dalam perkara korupsi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun. Dalam kasus ini, Heru yang telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup terbukti menikmati uang Rp 10,7 triliun.
Selain itu, menurut jaksa, skema kejahatan yang dilakukan Heru dinilai sebagai kejahatan yang rumit karena dilakukan dalam periode yang panjang, dilakukan berulang serta menggunakan banyak skema. Perbuatan itu pun dinilai telah menimbulkan korban, baik langsung maupun tidak langsung, yang sangat banyak dan bersifat meluas.
Heru juga dinilai telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi dengan sindikasi kejahatan yang tidak pandang bulu. Sementara, Heru dinilai tidak memiliki empati dengan tidak mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela dan tidak pernah menunjukkan perbuatan yang dilakukannya itu salah, termasuk tidak menunjukkan rasa bersalah dalam persidangan.
Tak ada di dakwaan
Atas tuntutan hukuman mati itu, kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, menilai berlebihan, mencederai rasa keadilan bahkan menyalahi aturan.
Pasalnya, hukuman mati dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur di Pasal 2 Ayat (2). Adapun di dakwaan Heru, jaksa hanya mendakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 3 dan Pasal 4 UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang.
”Bagaimana mungkin JPU (jaksa penuntut umum) menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan di luar dakwaan ini jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang jaksa penuntut umum atau bisa dianggap sebagai abuse of power,” kata Kresna.
Selain itu, syarat dari penjatuhan hukuman mati hanya ketika korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Syarat itu dinilai Kresna tak terpenuhi dalam perkara Heru, tak terkecuali alasan jaksa bahwa Heru melakukan pengulangan tindak pidana. Ia menegaskan, dakwaan korupsi oleh kliennya pada kasus Asabri terjadi pada 2012-2019 atau sebelum Heru dihukum dalam kasus Jiwasraya.
Terdakwa lain
Selain Heru Hidayat, jaksa membacakan pula tuntutan enam terdakwa lain dalam kasus Asabri dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Keenam terdakwa itu, Direktur Utama (Dirut) Asabri 2011-2016 Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri, Dirut Asabri 2016-2020 Letjen (Purn) Sonny Widjaya, Direktur Keuangan Asabri 2008-2014 Bachtiar Effendi, serta Direktur Asabri 2013-2014 dan 2015-2019 Hari Setianto. Dua lainnya, Dirut PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi dan Direktur Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo.
Tak seperti Heru, mereka dituntut hukuman penjara 10-15 tahun dengan tuntutan pembayaran uang pengganti berkisar Rp 17,9 miliar (Adam) hingga Rp 1,3 triliun (Lukman).
Nama para terdakwa ini disebut pula oleh jaksa penuntut umum turut menerima aliran dana terkait Asabri, dalam tuntutan jaksa atas Heru.
”Berdasarkan keterangan saksi-saksi serta didukung laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, terdapat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur penempatan dana dengan beberapa dan 13 perusahaan manajer investasi pada penempatan saham dan reksa dana tanpa mempertimbangkan risiko, padahal saham-saham tersebut merupakan saham berisiko sehingga pada akhirnya tidak memberikan keuntungan kepada PT Asabri,” ujar jaksa.
Adapun seorang terdakwa lainnya dalam kasus Asabri, yakni Benny Tjokrosaputro, belum dibacakan tuntutan pidananya karena agenda sidang Komisaris PT Hanson International tersebut masih pada tahap pemeriksaan saksi. Sama seperti Heru, Benny telah divonis bersalah dan dihukum penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya.