DPD Minta Kampus Kaji Isu Krusial di Wacana Amendemen Konstitusi
Ketua DPD La Nyalla Mattalitti meminta perguruan tinggi mengkaji amendemen kelima UUD 1945. Kajian itu, kata dia, perlu membahas ambang batas pencalonan Presiden, garis besar haluan ekonomi, hingga ideologi Pancasila.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR/DIAN DEWI PURNAMASARI
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti berbicara dalam acara diskusi ”Amendemen UUD 1945 dan Rekonstruksi Sistem Politik di Indonesia” yang diselenggarakan secara daring di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Selasa (7/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia meminta sejumlah kampus untuk mengkaji wacana amendemen kelima UUD 1945. Sejumlah isu krusial yang diminta untuk dikaji di antaranya ialah ambang batas pencalonan Presiden, garis besar haluan ekonomi, hingga ideologi Pancasila.
Salah satu kampus yang diminta untuk mengkaji amendemen kelima UUD 1945 itu adalah Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). UMJ menggelar forum grup diskusi terarah (FGD), Selasa (7/12/2021), yang dihadiri Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Rektor UMJ Ma’mun Murod Al-Barbasy, mantan Ketua Komisi Yudisial Aidulfitriciada Azhari, dan peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.
La Nyalla Mattalitti mengatakan, isi amendemen konstitusi yang terjadi empat kali di kurun waktu 1999-2002 sudah tidak lagi nyambung dengan nilai-nilai dan butir-butir Pancasila, sebagai ideologi bangsa. Sejumlah revisi itu dianggap justru melepaskan bangsa ini dari DNA aslinya.
Misalnya, pendapat di parlemen hanya dihitung secara kuantitas angka melalui voting. Substansi pemikiran bisa dikesampingkan jika kalah suara. Tidak ada lagi kata musyawarah untuk mufakat di parlemen. Adu argumen di parlemen kerap berakhir dengan perdebatan deadlock atau walkout karena tirani mayoritas.
”Begitu pula haluan ekonomi nasional yang telah bergeser dari ekonomi kekeluargaan, gotong royong, soko guru koperasi, menjadi ekonomi pasar bebas yang didominasi swasta nasional dan asing yang sebagian sahamnya bisa dimiliki siapa pun dan di mana pun melalui lantai bursa saham,” kata La Nyalla.
Menurut La Nyalla, sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak perlahan, tetapi pasti diserahkan kepada mekanisme pasar. Impor menjadi jalan keluar termurah dengan dalih efisiensi.
Semua itu dinilai sebagai wajah konstitusi dan produk dari UU negara hari ini. Cita-cita reformasi 1998 telah menjauh dari harapan. Mahasiswa sebagai penggerak reformasi 1998 tak menyadari kalau perubahan konstitusi selama empat tahap itu telah berdampak negatif bagi bangsa.
”Tujuan negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jauh dari harapan. Sistem demokrasi Indonesia telah berubah dari demokrasi Pancasila menjadi demokrasi liberal. Sistem ekonomi Pancasila berubah menjadi sistem ekonomi kapitalis,” kata La Nyalla.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra
Azyumardi Azra mengatakan, amendemen UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat tak perlu alergi dengan amendemen konstitusi apalagi jika dirasa ada hal-hal yang kebablasan dalam sistem ketatanegaraan. Secara pribadi, dia sepakat bahwa konstitusi perlu dikaji kembali secara menyeluruh. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan politik saat ini.
”Konstitusi hasil amendemen ini memang perlu dikaji ulang. Kita sering mendengar bahwa ada campur tangan asing di amendemen UUD 1945. Tidak heran jika akhirnya demokrasi dalam hal-hal tertentu menjadi kebablasan,” kata Azyumardi.
Menurut dia, demokrasi Indonesia saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan sila keempat Pancasila. Fungsi check and balances lembaga negara juga perlu direkonstruksi. Misalnya, fungsi DPD mengalami marjinalisasi. Jika konstitusi diamendemen, keberadaan dan fungsi dari DPD harus diperkuat.
”Arah amendemen UUD 1945 ini harus jelas. Kalau tidak hati-hati kita bisa alami krisis konstitusional. Bisa terjadi kegaduhan dan kekacauan politik,” kata Azyumardi.
Sistem ketatanegaraan saat ini, lanjutnya, disebut sebagai fenomena oligarki politik. Kekuatan politik di luar dan di dalam institusi negara berjalan tidak seimbang dan adil. Di DPR, proses legislasi tidak lazim sehingga melanggar asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Seorang aktivis yang turut bergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia, Perempuan Indonesia Anti-Korupsi, BEM SI, dan beberapa perwakilan organisasi lain menggelar aksi di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (9/11/2021).
UU Sapu Jagat atau omnibus law Cipta Kerja, misalnya, disebut sebagai kesepakatan antara oligarki politik dengan partai politik pendukung Presiden di parlemen. Tidak adanya kekuatan penyeimbang di parlemen, lanjutnya, membuat koalisi pendukung presiden bisa melakukan apa saja.
”Ini menjadi sesuatu hal yang sangat mencemaskan. Bisa saja perpanjangan jabatan Presiden tiga periode atau bahkan seumur hidup jadi penumpang gelap amendemen UUD 1945. Sekarang, rezim bisa melakukan apa saja karena tidak ada kekuatan penyeimbang. Yang bisa membendung agar tidak terjadi hanya kehendak dari Presiden sendiri,” terang Azyumardi.
Karena itu, kata Azyumardi, amandemen UUD 1945 harus jelas disepakati sejak awal pasal apa saja yang akan direvisi. Kesepakatan tidak hanya dilakukan oleh elite politik, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat. Amendemen UUD 1945 hanya bisa dilakukan sesuai dengan agenda yang disepakati elite politik dan masyarakat sipil. Jika aspirasi publik diabaikan, amendemen konstitusi justru akan membuka kotak pandora yang memunculkan banyak masalah.
”Amendemen UUD 1945 harus fokus pada memberikan ruang gerak yang luas pada demokrasi agar tidak kebablasan, merekonstruksi ekonomi politik, dan pengaturan check and balances kekuasaan. Kekuasaan eksekutif tidak boleh menjadi sangat dominan seperti saat era Orde Baru,” kata Azyumardi.
Kekuasaan yang terlalu berat di level eksekutif itu, lanjutnya, seolah membelakangi cita-cita reformasi, yaitu desentralisasi kekuasaan. Jika fenomena resentralisasi dibiarkan, menurut Azyumardi, tak menutup kemungkinan akan memicu gerakan separatisme di daerah.
Azyumardi juga menyebut bahwa jika konstitusi diamendemen, mekanisme ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) harus diatur kembali. Aturan yang ada sekarang dinilai hanya melanggengkan polarisasi di masyarakat. Selain itu, ambang batas parlemen juga harus ditinjau dan dihapuskan karena bisa memunculkan oligarki politik di parlemen.
TANGKAPAN LAYAR/DIAN DEWI PURNAMASARI
Mantan Ketua Komisi Yudisial Aidulfitriciada Azhari berbicara dalam acara forum grup diskusi terarah (FGD) bertema ”Amendemen UUD 1945 dan Rekonstruksi Sistem Politik di Indonesia” di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Selasa (7/12/2021).
Aidulfitriciada Azhari menyebutkan, peran DPR yang terlalu besar harus diimbangi dengan DPD. DPD adalah representasi perwakilan tokoh daerah dan golongan sehingga diharapkan dapat menyalurkan aspirasi konstituen yang tidak tertampung DPR. Dalam proses legislasi, misalnya pembentukan UU Cipta Kerja seharusnya sebelum masuk ke DPR, ada partisipasi masyarakat yang kuat. DPD dapat menjalankan peranan di situ.
Selain itu, mantan Ketua Komisi Yudisial ini juga menyebut bahwa sistem desentralisasi kekuasaan juga harus ditata kembali. Kewenangan daerah tetap dipertahankan, tetapi ongkos demokrasi yang besar seperti pilkada perlu dikaji kembali. Pemilihan kepala daerah, menurut dia, kerap melahirkan dinasti politik baru yang justru merugikan masyarakat. Ini karena partai politik menjadi aktor utama yang mengisi kader untuk sirkulasi elite politik di daerah.