Presiden Jokowi: Kemampuan Berkompetisi Menjadi Pilar Menjaga Kedaulatan
Sebagai rumah besar kaum nasionalis dan Marhaenis, Presiden Jokowi memandang Persatuan Alumni GMNI harus menjadi yang terdepan dalam merawat nasionalisme yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah dunia yang semakin terbuka dengan interaksi dan disrupsi yang semakin tinggi, nasionalisme dan kedaulatan bangsa menghadapi tantangan-tantangan baru. Seiring gelombang globalisasi yang tidak terhindarkan lagi, mobilitas fisik antarnegara dan mobilitas barang serta uang menjadi semakin mudah. Mobilitas gagasan dan mobilitas pengetahuan pun makin tinggi melalui ranah digital.
”Konsekuensi globalisasi melahirkan dunia yang hiperkompetisi, dunia yang diwarnai oleh kompetisi yang super ketat. Oleh karena itu, satu pilar utama dalam menjaga kedaulatan adalah memenangkan kompetisi,” ujar Presiden Joko Widodo ketika membuka Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Tahun 2021 secara virtual dari Istana Negara, Jakarta, Senin (6/12/ 2021).
Turut mendampingi Presiden saat menghadiri acara tersebut secara virtual yaitu Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia harus memenangkan kompetisi di pasar global. ”Kita harus lebih unggul dari negara lain dan kita harus mampu mendahului negara lain dalam dunia yang semakin kompetitif sekarang ini. Kedaulatan harus diperjuangkan dengan keberanian untuk menemukan cara-cara baru,” katanya.
Agar bisa menghasilkan lompatan kemajuan, Presiden menyebut dibutuhkan watak sebagai trendsetter atau pencipta tren. Menurut Presiden, untuk mendahului negara lain yang sudah lebih maju, Indonesia tidak boleh melalui ”anak tangga” yang sama yang sebelumnya telah ditempuh negara-negara maju. Kedaulatan negara harus diperjuangan dengan inovasi dan penguasaan teknologi.
”Kita tidak cukup hanya naik tangga. Kita harus melompat. Kalau tidak melompat, ya jangan berharap kita bisa mendahului negara-negara lain yang sudah lebih maju dari kita. Kita harus melakukan lompatan kemajuan, kita harus berwatak trendsetter, bukan watak follower,” kata Presiden.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden juga mengharapkan kontribusi PA GMNI dalam berbagai arena kepemimpinan Indonesia, seperti gelaran presidensi G-20.
”Saya mengharapkan kontribusi Persatuan Alumni GMNI dalam berbagai arena kepemimpinan Indonesia, melahirkan pemikiran-pemikiran yang progresif, melahirkan pemikiran-pemikiran bagi kemajuan bangsa, menguatkan ikatan dan melahirkan gagasan-gagasan untuk menghadapi tantangan global, dan merumuskan strategi besar dalam membangun negara yang berkarakter Pancasila,” ujar Presiden.
Lebih lanjut, Presiden menjelaskan bahwa presidensi Indonesia di G-20 harus dimanfaatkan sebagai momentum menunjukkan kepemimpinan Indonesia di dunia internasional, kepemimpinan Indonesia untuk mewarnai arah dunia, dan kepemimpinan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Menurut dia, perjuangan ini seperti perjuangan Bung Karno ketika mendukung perjuangan negara-negara jajahan untuk merdeka.
”Perjuangan ini seperti perjuangan Bung Karno dalam memimpin negara-negara Asia Afrika. Sekarang ini, kita memimpin negara-negara terkaya dunia untuk membangun dunia yang lebih baik, yang lebih berkeadilan bagi kita semua, bagi masa depan dunia. Sekarang ini kita memimpin negara-negara terkaya dunia untuk membangun dunia yang lebih baik yang lebih berkah bagi kita semua bagi masa depan dunia,” katanya.
Merawat nasionalisme
Sebagai rumah besar kaum nasionalis dan Marhaenis, Presiden Jokowi memandang bahwa Persatuan Alumni GMNI harus menjadi yang terdepan dalam merawat nasionalisme yang setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang selalu memperkuat persatuan dan kesatuan, dan memperkokoh kedaulatan bangsa.
Dalam pidato politik ketika membuka Kongres IV PA GMNI di Bandung, Jawa Barat, Senin (6/12/2021), Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah juga memberikan selamat atas presidensi G-20 yang diemban Indonesia. PA GMNI menyatakan akan mendukung komitmen presiden untuk mengambil langkah strategis guna memperkuat solidaritas dan kerja sama dari negara maju dalam mengurangi ketimpangan ekonomi dunia yang makin melebar antara negara maju dan berkembang.
Ahmad juga memberi apresiasi kepada Presiden Jokowi yang telah melakukan langkah antisipasi terhadap upaya penetrasi ideologi asing. Upaya antisipatif tersebut antara lain telah dilakukan dengan menetapkan Hari Santri Nasional, Hari Lahir Pancasila 1 Juni, dan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
”Kebijakan presiden ini menjadi simbol persenyawaan antara Islam dan kebangsaan sebagaimana kesepakatan awal para pendiri bangsa ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Pembentukan BPIP juga sangat penting. Badan ini menjadi leading sector pembinaan mental ideologi bangsa,’’ kata Ahmad.
Tantangan Ideologi
Dalam kongres bertema ”Nasionalisme Menjawab Tantangan Zaman”, Ahmad menyebut sejumlah tantangan yang dihadapi Pancasila. Konsep ideologi dianggap usang dan tidak relevan. Konsep tentang akhir ideologi ini antara lain dipopulerkan Daniel Bell yang menulis ”The End of Ideology’’ dan Francis Fukuyama yang menulis ”The End of History’’.
Mereka menyatakan pertarungan ideologi sudah berakhir dan liberalisme-kapitalisme menjadi akhir dari sejarah manusia. Filosofi yang mendasari liberalisme yang diklaim sebagai akhir sejarah adalah kebebasan. Di sisi lain, pandangan dan tindakan radikalisme dan ekstremisme yang dikonstruksikan atas interpretasi agama yang sempit juga muncul di tengah masyarakat.
Ekstremisme agama ini lalu melahirkan ”politik anti semua” kecuali pada kelompok dan keyakinan mereka sendiri. ”Mereka menolak dan memusuhi sistem sosial yang multikultural, Pancasila, NKRI, hingga pemerintahan yang menjalankan mandat rakyat yang dipilih secara demokratis. Namun, anehnya, sebagian mereka menerapkan standar ganda memanfaatkan demokrasi, hak asasi manusia, kemajuan teknologi informasi, serta media sosial untuk mewujudkan cita-cita perjuangan mereka,’’ tambahnya.
Kelompok itu dikhawatirkan menggunakan strategi ”kudeta merangkak konstitusional” dengan memanfaatkan hak bicara, berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan yang menargetkan kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Dengan cara meracuni alam pikir bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, dengan paham yang bertentangan dengan Pancasila,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang maju jika bangsa tersebut mampu berpegang teguh pada budaya bangsa itu sendiri. ”Bangsa Indonesia pun akan menjadi bangsa yang maju jika kita tetap berpegang teguh pada falsafah dan budaya bangsa kita sendiri, tentang identitas, kepentingan, serta tujuan nasional sehingga diperlukan hadirnya persatuan nasional yang kokoh di antara semua komponen bangsa agar kita bisa menjawab setiap tantangan zaman,” katanya.
Dia juga mendorong adanya persatuan dan sinergitas nasional yang semakin kokoh terutama antara golongan kebangsaan dan Islam. Dua golongan ini telah mengikatkan diri dalam perjanjian luhur para pendiri bangsa ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945. Dengan kekuatan TNI-Polri yang bersatu dan saling bersinergi, segala tantangan dan ancaman yang datang diyakini dapat diatasi secara bersama.