Jalur Populer Angkat Heroisme Prajurit TNI
Film adalah salah satu cara menyampaikan bahwa negara kita memiliki TNI Angkatan Udara yang sejak awal kelahirannya sudah memiliki peran, seperti Kadet 1947. Barangkali, hal ini tidak banyak diketahui masyarakat luas.
Layar lebar kembali menjadi andalan untuk mengangkat heroisme prajurit TNI Angkatan Udara. Setelah Serigala Langit, kisah para penerbang pesawat tempur diabadikan dalam film Kadet 1947.
Film besutan Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini mulai diputar di bioskop seluruh Indonesia pada 25 November 2021. Diadaptasi dari peristiwa serangan udara pertama yang dilakukan TNI AU, film menampilkan aksi para kadet atau siswa penerbang AU untuk menghancurkan tangsi militer Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga, Jawa Tengah, pada 29 Juli 1947.
Serangan udara 29 Juli 1947 dini hari merupakan aksi balasan untuk Belanda yang melanggar isi Perjanjian Linggarjati dan melancarkan serangan bertubi-tubi dalam Agresi Militer Belanda I. Keberhasilan serangan saat itu membangkitkan moral pejuang di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk terus melawan kedatangan kembali penjajah setelah proklamasi kemerdekaan.
Meski berdasarkan pada fakta sejarah militer, Kadet 1947 bukanlah film perang. Karya yang diproduseri oleh Celerina Judisari dan Tesadesrada Ryza ini merupakan drama yang mengeksplorasi karakter kadet-kadet ketika harus menjalankan misi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia saat masih menjalani pendidikan penerbang AU di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Mereka di antaranya Sutardjo Sigit yang diperankan Bisma Karisma, Mulyono (Kevin Julio), Suharnoko Harbani (Omara Esteghlal), dan Bambang Saptoadji (Marthino Lio).
Baca juga: Tantangan Menjaga Kedaulatan Negara di Udara
Pergulatan empat kadet yang masih berusia 20-an tahun untuk menentukan jalan hidupnya sebagai pejuang ditampilkan dalam film berdurasi 110 menit. Di samping kobaran semangat khas pemuda, mereka juga galau akan kepastian karier, keamanan dan keselamatan diri, hingga persoalan asmara.
”Ini bukan film perang, melainkan tentang perjuangan,” kata Celerina Judisari usai nonton bareng Kadet 1947 bersama rombongan Dinas Penerangan TNI AU dan awak media di Plaza Senayan, Jakarta, Rabu (1/12/2021). Menurut dia, sejarah dan perjuangan merupakan tema yang sulit diterima generasi muda kekinian. Pengemasannya harus dibuat seringan mungkin tanpa mengurangi pesan dan inspirasi yang ingin disampaikan.
Sekalipun bukan tentang perang, film ini memvisualisasikan suasana pertempuran kemerdekaan dengan cukup detil walaupun kesan artifisial masih terasa lantaran keterbatasan teknologi visual.
Sekalipun bukan tentang perang, film ini memvisualisasikan suasana pertempuran kemerdekaan dengan cukup detil walaupun kesan artifisial masih terasa lantaran keterbatasan teknologi visual. Latar utamanya adalah Pangkalan Udara Maguwo yang dilengkapi dengan hanggar, bengkel pesawat, serta asrama kadet. Ada pula hutan-hutan tempat menyembunyikan pesawat serta permukiman warga yang hancur diserang penjajah. Bahkan, sejumlah pesawat tempur dan persenjataan yang digunakan TNI AU pada dekade 1940-an hasil rampasan dari tentara Jepang juga dihadirkan.
Nuansa perang juga terasa dari adegan serangan udara menggunakan pesawat berteknologi terbatas. Ketegangan terbangun ketika para kadet menerbangkan pesawat Hayabusha, Guntei, dan Cureng sambil membawa bom untuk dijatuhkan di markas lawan dengan perlengkapan minim. Ketiga pesawat tidak dilengkapi dengan alat navigasi dan komunikasi, kru hanya membawa lampu senter untuk melancarkan operasi dini hari tersebut.
Baca juga: Daftar Teknologi yang Diinginkan TNI AU
Ketegangan yang terbangun sedikit meluntur dengan menyelipkan humor kekinian. Di tengah misi serangan, ada lelucon khas milenial yang diucap pemuda tahun 1940-an. ”Ayo dong cepet serang, berat nih,” kata salah satu penembak udara yang bertugas memangku bom dalam penerbangan Yogyakarta menuju Salatiga, Ambarawa, dan Semarang itu.
Drama percintaan antara kadet dan kekasihnya juga kerap menjadi pemecah ketegangan sekaligus bulan-bulanan penonton. ”Aduh, pilotnya pacaran melulu, ha-ha-ha,” ujar salah satu penonton.
Dukungan
Setelah pemutaran film, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah mengatakan, film ini murni diinisiasi para sineas. Pihaknya hanya mendukung produksi dengan menyupervisi aspek sejarah peristiwa 29 Juli 1947 yang juga diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU. Selain itu, TNI AU juga memberikan fasilitas Lapangan Terbang Gading, Gunung Kidul, Yogyakarta, yang dibangun menjadi lokasi syuting utama sebagai Pangkalan Udara Maguwo.
”Film adalah salah satu cara untuk menyampaikan bahwa negara kita memiliki TNI AU yang sejak awal kelahirannya sudah punya peran. Barangkali ini tidak banyak diketahui masyarakat luas,” ujar Indan.
Baca juga: Bersiap Hadapi Perang Masa Depan, Mempelajari Strateginya hingga Berpikir Tingkat Tinggi
Meski berada di tengah situasi sulit, tambahnya, kadet-kadet di tahun 1947 mampu mengoptimalkan kemampuan dan pengetahuannya untuk melaksanakan dan menuntaskan misi menyerang markas musuh. ”Kami ingin menginspirasi anak-anak muda zaman sekarang, di usia 19-20 tahun, remaja di tahun 1947 bisa memberikan kontribusi luar biasa. Ini saatnya kita juga memberikan kontribusi yang terbaik untuk negara,” kata Indan.
Selain menginspirasi, kata Indan, heroisme pilot tempur yang difilmkan diharapkan juga bisa menjadi salah satu daya tarik bagi generasi muda untuk bergabung dengan TNI AU. Sebelum Kadet 1947, pihaknya juga mendukung pembuatan film Serigala Langit yang dirilis Agustus lalu. Namun, Indan menegaskan, hal itu tidak berarti bahwa minat masyarakat untuk bergabung ke TNI AU kini menurun.
Heroisme pilot tempur yang difilmkan diharapkan juga bisa menjadi salah satu daya tarik bagi generasi muda untuk bergabung dengan TNI AU.
Sejak dirilis dua pekan lalu, sudah ada setidaknya tujuh acara nonton bareng Kadet 1947. Di antaranya dilakukan para karbol dan kadet Akademi Angkatan Udara (AAU), keluarga tokoh yang diperankan dalam Kadet 1947, serta Ikatan Alumni AAU.
Pemutaran film bersama mahasiswa dan pelajar di sejumlah kota juga dilakukan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam video yang dipublikasikan TNI AU mengapresiasi film Kadet 1947. Latar belakang sejarah perjuangan di masa Agresi Militer Belanda I membuat film ini layak untuk menjadi bahan pembelajaran di sekolah.
Propaganda
Upaya untuk memfilmkan heroisme militer bukan pertama kalinya. Pada masa Orde Baru, hal ini kerap dilakukan sebagai alat propaganda kultural. Namun, tujuannya dipolitisasi, yakni untuk memosisikan tentara sebagai kelompok superior di tengah masyarakat. Oleh karena itu, tema yang disajikan cenderung mengglorifikasi peran militer dalam menjaga kedaulatan negara.
”Sayangnya pascareformasi film bertema militer di Indonesia belum banyak berubah dibandingkan masa Orde Baru,” kata dosen Budaya Populer pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Kunto Wibowo, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (3/12/2021).
Padahal, di negara-negara lain film bertema militer atau perang sudah mampu menyajikan tema yang lebih relevan dengan wacana kekinian. Dunkirk karya Christopher Nolan pada 2017, misalnya, menampilkan betapa perang menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Peran untuk menyelesaikan kekacauan pun bukan hanya menjadi milik tentara, melainkan juga warga biasa.
Di Amerika Serikat, militer bekerja sama dengan Hollywood untuk memopulerkan ketentaraan sejak puluhan tahun lalu. Ini diperlukan karena tingginya penolakan generasi muda untuk bergabung dengan militer, wacana antiperang juga mengemuka di tengah warga. Namun, hal ini belum terlihat signifikan di Indonesia.
Pascareformasi, tugas TNI telah difokuskan untuk menjaga pertahanan dan kedaulatan negara. Pesan ini pula yang perlu diperkuat pada setiap media komunikasi, termasuk film. ”Itu akan menjadi tema yang menarik dan menjadi diskusi panjang bagi anak-anak muda bahwa tugas tentara memang melindungi negara dari serangan luar,” ujar Kunto.