Baleg DPR Janji Kerja Cepat Rumuskan Landasan Hukum ”Omnibus Law” UU Cipta Kerja
Waktu dua tahun yang diberikan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja merupakan waktu yang singkat. Karena itu, pemerintah dan DPR harus bekerja cepat dan ekstra keras untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LUKAS
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pilihan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinilai logis sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi perbaikan UU Cipta Kerja. Karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat siap mempercepat pembahasan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Zainuddin Maliki, Jumat (3/12/2021), mengatakan, waktu dua tahun yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU merupakan waktu yang singkat. Oleh karena itu, pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR, harus bekerja cepat dan ekstra keras untuk melaksanakan putusan MK terkait UU Cipta Kerja.
”Kalau mengubah UU No 12/2011 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) menjadikan penyusunan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law lebih kuat dasar hukumnya, itu sesuatu langkah yang harus ditempuh. Dengan demikian, penyempurnaan dalam penyusunan perbaikan UU Cipta Kerja dapat dilakukan,” kata Zainuddin.
Kompas/Hendra A Setyawan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/9/2021). Rapat membahas evaluasi program legislasi nasional rancangan undang-undang prioritas 2021.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam wawancara dengan Kompas mengatakan, pekan depan pemerintah akan memasukkan perubahan UU No 12/2011 sebagaimana diubah di UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) daftar kumulatif terbuka.
Hal itu dilakukan sebagai respons pemerintah terhadap putusan MK yang menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan harus diperbaiki pembentukannya dalam dua tahun.
Waktu dua tahun ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena ini waktu yang singkat. Pembentukan UU ini harus diperbaiki sebagaimana putusan MK supaya kita nanti mendapatkan UU Cipta Kerja yang betul-betul memenuhi aspirasi masyarakat dan memenuhi proses penyusunan peraturan perundang-undangan sesuai dengan UU No 12/2011.
Metode omnibus law dengan mengatur berbagai ketentuan dari banyak UU yang berbeda, menurut Zainuddin, memang sesuatu yang baru di Indonesia. Karena itu, diperlukan landasan atau rujukan hukum yang kuat bagi penerapan metode omnibus law dalam penyusunan regulasi di Indonesia. Salah satu caranya dengan mengatur penggunaan metode omnibus law dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesegera mungkin.
”Waktu dua tahun ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena ini waktu yang singkat. Pembentukan UU ini harus diperbaiki sebagaimana putusan MK supaya kita nanti mendapatkan UU Cipta Kerja yang betul-betul memenuhi aspirasi masyarakat dan memenuhi proses penyusunan peraturan perundang-undangan sesuai dengan UU No 12/2011,” ujarnya.
Anggota legislatif dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu menegaskan, Baleg akan menerapkan prinsip partisipatoris dalam merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ataupun UU Cipta Kerja. Baleg DPR akan membuka ruang seluas-luasnya terhadap masukan publik dalam penyempurnaan kedua UU tersebut.
Harus dilaksanakan
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY UNTUK KOMPAS
Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi di DPP PPP, Jakarta, Sabtu (16/3/2019).
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, dengan keluarnya putusan MK itu, memang tidak ada pilihan lain bagi pembentuk UU untuk memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun.
”Itu, kan, sudah menjadi putusan lembaga negara, ya harus dilaksanakan walaupun kami tidak sependapat dengan putusan MK yang mengatakan pembentukan UU itu tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan tidak terbuka. Kalau menurut kami, pembentukan UU itu sudah sesuai dengan koridor yang ada, terbuka, dan menyerap partisipasi publik. Namun, karena diputus demikian oleh MK, tentu harus dihormati dan dilaksanakan,” tuturnya.
Sama dengan pemerintah, DPR juga memutuskan untuk merevisi UU No 12/2011 lebih dahulu sebelum memperbaiki UU Cipta Kerja. Baleg sudah menjadwalkan rapat kerja dengan Menkumham untuk membahas Prolegnas tahun 2022. Direncanakan, perihal revisi UU No 12/2011 dan UU Cipta Kerja juga akan dibahas dalam rapat tersebut.
Baodowi menegaskan, Baleg pada prinsipnya ingin secepat mungkin memenuhi putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Langkah pertama yang diambil ialah dengan merevisi UU No 12/2011 akan dilakukan dalam waktu dekat. Bahkan, jika memungkinkan, pembahasan revisi UU No 12/2011 dilakukan pada masa sidang ini. Namun, jika tidak memungkinkan, revisi UU No 12/2011 akan diusulkan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2022.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto (tengah) diapit Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Agung Laksono (kanan) dan Sekretaris Dewan Pakar DPP Partai Golkar Firman Subagyo (kiri) saat sebelum memberikan keterangan pers seusai Rapat Pleno ke -X Dewan Pakar DPP Golkar kepada DPP Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Jumat (21/7).
Dihubungi secara terpisan, anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, mengatakan, MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, hal itu bukan berarti UU Cipta Kerja tak berlaku. UU itu masih berlaku sampai dengan waktu perbaikannya selama dua tahun.
”Di dalam putusan itu juga disampaikan oleh hakim MK, UU Cipta Kerja ini dianggap inkonstitusional karena kita tidak pernah mengenal namanya omnibus law di UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” katanya.
Pengaturan mengenai omnibus law di dalam UU No 12/2011, menurut Firman, juga penting. Sebab, peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah tumpang tindih sehingga ini dikhawatirkan mengganggu investasi. Metode itu diperlukan untuk menyelaraskan berbagai peraturan yang tumpang tindih tersebut.
”Langkah ke depan yang akan kami lakukan ialah bagaimana sesuatu yang dianggap inkonstitusional menjadi konstitusional. Kami akan merevisi UU No 12/2011. Di dalam UU itu akan kami normakan frasa mengenai omnibus law,” katanya.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, menambahkan, perbaikan UU dengan metode omnibus law harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Pasal-pasal dari berbagai UU tidak boleh asal mengambil, apalagi jika pembahasannya dilakukan secara terburu-buru. ”Pembahasan yang terburu-buru membuat pembentukan UU menjadi tidak cermat,” katanya.