Tindak Lanjuti Putusan MK, Asas Pembentukan Perundang-undangan Jangan Diabaikan
Perbaikan UU Cipta Kerja mesti memperhatikan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik, terutama keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Jika diabaikan, UU Cipta Kerja berpotensi diuji kembali ke MK.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LUKAS
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang direncanakan pemerintah hendaknya tidak mengabaikan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik. Ini karena putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja memuat pesan penting tentang perlunya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memperhatikan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik, bukan sekadar perbaikan prosedur dan metode perumusan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam wawancara dengan Kompas, Rabu (1/12/2021), mengatakan, pekan depan pemerintah akan mengusulkan perubahan di UU No 15/2019 tentang perubahan kedua UU No 12/2011 yang mengatur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) daftar kumulatif terbuka.
”Ini terlebih dahulu karena metode omnibus law tidak dikenal dalam UU PPP. Padahal, tidak dilarang, tetapi saya tidak mau berdebat dengan hakim konstitusi,” kata Yasonna (Kompas, 2/12/2021).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyerahkan dokumen pandangan pemerintah mengenai disahkannya Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang kepada Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Setelah revisi UU PPP, selanjutnya pemerintah akan bergerak simultan merevisi UU Cipta Kerja. ”Kita akan bergerak secara simultan. Yang typo-typo pasti diselesaikan, yang substansi kami lihat dan akan kami perbaiki,” tuturnya.
Menanggapi langkah pemerintah, akademisi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, mengatakan, hal itu memungkinkan dilakukan. Sebab, putusan MK menganggap tata cara dan pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak baku atau tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU PPP.
Metode pembentukan UU itu tidak sesuai standar antara lain karena belum ada dasar hukum mengenai omnibus law. Di samping itu, penyusunan UU Cipta Kerja juga tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Kendati demikian, menurut Oce, MK dalam pertimbangannya menegaskan, teknik atau metode apa pun yang dipilih oleh pembentuk UU bukanlah isu konstitusional. Artinya, boleh saja cara penyusunan UU dilakukan dengan metode apa pun sepanjang sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kompas/Haris Firdaus
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril memberi keterangan pada media terkait penolakan terhadap revisi UU No 30/2002 tentang KPK, Rabu (11/9/2019), di kantornya di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Oce menyatakan menolak revisi UU KPK karena revisi itu akan melemahkan KPK secara kelembagaan.
Cara menindaklanjuti putusan MK pun diserahkan kepada pembentuk UU. Jika pembentuk undang-undang masih menghendaki UU Cipta Kerja dirumuskan dengan metode omnibus law, mekanismenya harus diatur dulu di dalam UU PPP. Setelah diatur, barulah UU Cipta Kerja dapat diubah sesuai ketentuan omnibus law di dalam UU PPP.
”Kalau ternyata pembentuk UU tidak lagi memilih metode omnibus law dan mau memecah-mecah lagi UU itu satu per satu, UU PPP tidak perlu diubah. Artinya, pembentuk UU membuat UU lagi dari awal dengan memperbaiki satu per satu UU sebagaimana mekanisme yang sudah diatur di dalam UU PPP,” katanya, Kamis (2/12/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Namun, besar kemungkinan pemerintah dan DPR tidak akan memecah UU Cipta Kerja. Hal ini setidaknya terlihat dari rencana pemerintah mengusulkan perubahan UU PPP ke dalam prolegnas. Skema ini, menurut Oce, bisa saja dilakukan dan pertimbangan mengenai perlunya dasar hukum dalam metode omnibus law itu sebenarnya ada di putusan MK.
Namun, Oce mengingatkan, MK tidak mengadili persoalan teknis dan metode pembentukan UU. MK menitikberatkan pada aspek pemenuhan asas-asas dan proses pembentukan UU yang baik. Salah satu yang ditekankan ialah aspek partisipasi dan keterbukaan. Oleh karena itu, sekalipun UU PPP telah direvisi, bukan berarti UU Cipta Kerja otomatis konstitusional. Sebab, UU Cipta Kerja harus diperbaiki mengikuti kaidah pembentukan UU yang baik.
”Sekalipun UU PPP direvisi, dalam perbaikan UU Cipta Kerja nantinya harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Utamanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan keterbukaan. Kalau ternyata dalam pembentukan UU Cipta Kerja itu belum diterapkan partisipasi dan keterbukaan, MK bisa saja membatalkan kembali UU itu atas pengajuan uji formil masyarakat,” katanya.
Landasan hukum
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, berpandangan, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law itu bermasalah karena tidak ada landasan hukumnya. Karena itu, langkah pemerintah merevisi UU PPP dinilai tepat.
”Perbaikan UU Cipta Kerja selanjutnya akan mengacu pada UU PPP karena di dalamnya akan diatur bagaimana perbaikan dengan metode omnibus law itu dilakukan,” katanya.
Kompas
Didie SW
Opsi lain sebenarnya juga dapat dilakukan pemerintah tanpa mengubah UU PPP. UU Cipta Kerja dibentuk kembali melalui mekanisme yang sudah diatur dalam undang-undang, tetapi dalam ketentuan peralihan perlu diberi keterangan bahwa ketentuan-ketentuan yang masih diatur dalam undang-undang lain dinyatakan tidak berlaku.
Keputusan pemerintah untuk merevisi UU PPP ternyata sejalan dengan skema yang direncanakan oleh Badan Legislasi DPR. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, perubahan UU PPP itu adalah langkah pertama yang akan dilakukan DPR bersama pemerintah.
UU PPP mengatur, sebuah rancangan undang-undang dapat diajukan masuk daftar kumulatif terbuka pada prolegnas prioritas sebagai tindak lanjut atas adanya putusan MK. Hal itu terutama jika menyangkut uji materi atas pasal per pasal dari sebuah undang-undang. Namun, untuk perbaikan atas pembentukan undang-undang sebagaimana putusan MK tentang UU Cipta Kerja belum diatur di dalam UU PPP.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/2/2019) sore.
”Mekanisme perbaikan pembentukan UU ini kan baru dan belum diatur di dalam UU PPP. Oleh karena itu, tata cara perbaikan UU ini harus diatur dulu di dalam UU sebagai tindak lanjut atas putusan MK,” katanya.
Selanjutnya, perbaikan UU Cipta Kerja dapat dilakukan dengan berdasar pada perbaikan UU PPP. Menurut rencana, Baleg akan menggelar rapat dengan Menkumham, Senin pekan depan, guna membahas prolegnas. Bahkan, jika memungkinkan, dengan sisa waktu yang ada sebelum reses, 16 Desember 2021, DPR dan pemerintah dapat merevisi UU PPP.
”Bisa saja direvisi pada masa sidang ini untuk UU PPP dan untuk UU Cipta Kerja di masa sidang berikutnya. Walau kurang beberapa hari, katakanlah dua hari saja itu (revisi UU PPP) bisa dilakukan. Ini kan harus cepat karena waktunya hanya dua tahun,” kata Baidowi.
Namun, jika tidak memungkinkan, revisi UU PPP dapat diusulkan untuk masuk Prolegnas 2022.
Sekalipun UU PPP direvisi, dalam perbaikan UU Cipta Kerja nantinya harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Utamanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan keterbukaan. Kalau ternyata dalam pembentukan UU Cipta Kerja itu belum diterapkan partisipasi dan keterbukaan, MK bisa saja membatalkan kembali UU itu atas pengajuan uji formil masyarakat.
Substansi
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan, persoalan dalam UU Cipta Kerja bukan hanya soal prosedur, melainkan juga substansi. Oleh karena itu, perbaikan itu menjadi wajib dilakukan.
Namun, ia mengingatkan, metode omnibus law yang menurut pemerintah akan mengefisienkan pembahasan dan pelaksanaan UU menunjukkan adanya kelemahan. Kelemahan itu ditemui dalam proses harmonisasi pembuatan undang-undang dan juga kedisiplinan pemerintah dalam merumuskan regulasi turunannya.
”Kedua, metode ini tidak mempertimbangkan konstruksi UU asalnya yang diubah oleh UU Cipta Kerja. Akibatnya, UU asalnya tidak lagi memiliki ruh asal muasal pembahasannya atau pencabutan pasalnya menyebabkan korelasi satu pasal dengan pasal lain di UU asalnya jadi hilang,” ujarnya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Akademisi hukum tata negara, Zainal Arifin Muchtar (kanan) dan Bivitri Susanti (kiri), hadir sebagai ahli dalam sidang Pengujian Formil Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, putusan MK tidak meminta pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU PPP. ”UU PPP memang sejak lama harus diubah, tetapi tidak untuk memasukkan UU Cipta Kerja. Jangan sampai lagi menggunakan cara pandang, ada perilaku yang melanggar aturan, tetapi bukan perilakunya yang diubah, melainkan peraturannya yang diubah,” tuturnya.
Menurut dia, respons terhadap putusan MK seharusnya dilakukan pembentuk UU dengan mengulang penyusunan UU Cipta Kerja dari awal. Sebab, pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan UU itulah yang menjadi fokus dari putusan MK.