Sebanyak 92 Persen Peserta Seleksi KPU-Bawaslu Akan Dinyatakan Gugur
Dari 630 peserta yang mengikuti seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu tahap II, hanya 48 orang yang akan lolos ke tahap selanjutnya. Sebanyak 92 persen di antaranya akan dinyatakan gugur.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027 akan mengumumkan hasil seleksi tahap II, Jumat (3/12/2021). Dari 630 peserta yang mengikuti seleksi tertulis dan makalah, serta tes psikologi, pekan lalu, 92 persen akan gugur dan tidak bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya. Timsel hanya mengumumkan nama-nama yang lolos tanpa disertai hasil penilaian.
Anggota Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Timsel KPU-Bawaslu), Hamdi Muluk, Kamis (2/12/2021), mengatakan, hasil penilaian dari tes tertulis dan makalah serta tes psikologi yang dilaksanakan Rabu-Kamis (24-25/11/2021) sudah selesai. Siang ini, Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu melaksanakan rapat untuk membuat berita acara dan merapikan sejumlah dokumen administrasi pendukung. ”Pengumuman akan dilaksanakan besok di Kementerian Dalam Negeri sekitar pukul 10.00,” ujarnya.
Dari 630 peserta yang mengikuti seleksi tahap II, hanya 48 orang yang akan lolos ke tahap selanjutnya. Jumlah itu terdiri dari empat kali jumlah anggota KPU (28 orang) dan Bawaslu (20 orang) yang dibutuhkan saat ini. Dengan demikian, sebanyak 582 peserta atau 92 persen di antaranya akan gugur di tahapan ini.
Sama seperti pengumuman hasil seleksi tahap I atau penelitian administrasi, pengumuman hasil seleksi tahap II juga hanya menyebutkan nama-nama pendaftar yang lolos ke tahap berikutnya. Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu tidak akan membuka nilai tes tertulis dan makalah serta tes psikologi yang menjadi dasar menentukan peserta yang lolos. ”Hanya nama-nama saja,” kata Hamdi.
Ketua Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu Juri Ardiantoro menambahkan, pihaknya juga berkomitmen memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan. Timsel juga telah memasukkan perspektif kesetaraan jender dan inklusivitas terhadap penyandang disabilitas sebagai salah satu kriteria dalam memilih calon anggota KPU dan Bawaslu. Perspektif kesetaraan jender ini tidak hanya harus dimiliki perempuan, tetapi juga laki-laki.
”Timsel memeras pendaftar untuk mendapatkan 48 calon anggota KPU dan Bawaslu. Tidak mudah memerasnya karena yang mendaftar banyak. Tetapi tentu akan kami upayakan untuk minimal 30 persen keterwakilan perempuan,” katanya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, menyayangkan keputusan Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu yang kembali hanya mengumumkan nama-nama yang lolos. Semestinya pengumuman 48 besar juga menyertakan perolehan nilai, minimal kepada peserta yang mengikuti seleksi. Langkah ini mesti dilakukan sebagai bentuk transparansi dan menghindari kesalahan karena banyak yang tidak lolos di tahapan ini.
Timsel memeras pendaftar untuk mendapatkan 48 calon anggota KPU dan Bawaslu. Tidak mudah memerasnya karena yang mendaftar banyak. Tetapi tentu akan kami upayakan untuk minimal 30 persen keterwakilan perempuan.
Selain itu, lanjut Ihsan, sebaiknya ada ruang banding atau keberatan atas hasil seleksi tahap II. Dengan demikian, peserta bisa mengetahui kekurangan yang membuat mereka tidak lolos sekaligus mencegah kesalahan saat pengumuman seperti di tahap I kembali terulang. Sebab, saat pengumuman seleksi tahap I ada satu peserta yang akhirnya lolos sehingga jumlah awal di pengumuman 629 peserta akhirnya menjadi 630 peserta yang lolos.
”Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu harus meyakinkan peserta dan publik bahwa tidak ada unsur subyektivitas dalam memilih peserta yang lolos,” ujarnya.
Ihsan melanjutkan, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu 2024 juga terus mendorong Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu membuka daftar riwayat hidup atau curriculum vitae dari 48 peserta yang lolos. Transparansi diperlukan agar publik bisa mendapatkan informasi lebih banyak dalam menelusuri rekam jejak calon anggota KPU-Bawaslu. Pasokan informasi yang melimpah juga diperlukan publik untuk mengawal 11 kriteria penyelenggara pemilu yang telah ditetapkan oleh Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu dimiliki oleh pendaftar yang lolos.
Apalagi dari penelusuran sementara terhadap 630 pendaftar, setidaknya ada tiga pendaftar yang pernah menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 dan satu orang tercatat masih aktif sebagai anggota parpol lolos tahap administrasi. Padahal, sesuai ketentuan, pendaftar harus mengundurkan diri dari keanggotaan parpol sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftar.
Ihsan berharap, 28 calon anggota KPU dan 20 calon anggota Bawaslu yang akan mengikuti tahap selanjutnya bisa berasal dari beragam latar belakang yang proporsional. Tidak harus semua yang lolos adalah penyelenggara dan mantan penyelenggara pemilu, tetapi harus dibuka ruang untuk akademisi, praktisi, dan kalangan profesional.
Keterwakilan perempuan
Koordinator Maju Perempuan Indonesia Lena Maryana Mukti berharap, anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 bisa memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan. Oleh sebab itu, di setiap tahapan seleksi diharapkan bisa memenuhi afirmasi tersebut dengan meloloskan 30 persen perempuan.
”Kami meminta Timsel Calon Anggota KPU-Bawaslu menyampaikan sebanyak-banyaknya nama perempuan agar ketika kami memperjuangkan perempuan-perempuan calon penyelenggara pemilu di parlemen, kami tidak kekurangan orang. Kalau hanya satu atau dua orang akan sulit mengawalnya. Bahkan, kalau bisa setengahnya adalah perempuan. Dengan affirmative action, penilaian tidak semata-mata kualitas atau nilai saja,” kata Lena.
Jumlah perempuan di lembaga penyelenggara pemilu terus mengalami penurunan dalam beberapa periode terakhir. Pada Pemilu 1999, ada lima perempuan dari 30 orang panitia pengawas (panwas), yaitu Miriam Budiarjo, Zakiah Daradjat, Roesita Noer, Titi Anggraini, dan Ari Purwanti. Jumlah ini kemudian menurun di Pemilu 2004 karena hanya ada dua perempuan di KPU, yakni Chusnul Mar’iyah dan Valina Singka, serta satu perempuan di Bawaslu, yaitu Nurjanah Djohantini.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, keterwakilan perempuan mampu memenuhi afirmasi itu. Pada Pemilu 2009, ada 30 persen keterwakilan perempuan di KPU, yakni Endang Sulastri, Sri Nuryanti, dan Andi Nurpati. Sementara di Bawaslu lebih dari 50 persen, yakni Wahidah Suaib, Wirdyaningsih, dan Agustiani TF Sitorus.
Namun, pada 2014, keterwakilan perempuan kembali menurun. Meskipun panitia seleksi menyiapkan 30 persen perempuan untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan, Dewan Perwakilan Rakyat hanya memilih masing-masing satu perempuan di KPU dan Bawaslu. Kondisi ini kembali terulang pada penyelenggara pemilu periode 2017-2022.